Mohon tunggu...
Roneva Sihombing
Roneva Sihombing Mohon Tunggu... Guru - pendidik

Penyuka kopi, gerimis juga aroma tanah yang menyertainya. Email: nev.sihombing@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Toh, Kelak Akan Sendirian

3 Maret 2023   22:49 Diperbarui: 3 Maret 2023   22:51 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi tadi, aku tanpa sengaja melihat dengan Rina, seorang kenalan yang lama tak berjumpa. Aku agak ragu; apakah wanita yang tampak punggungnya olehku itu adalah kak Rina atau hanya seseorang yang terlihat seperti dia. Untuk memastikan dugaanku, aku bangkit dari dudukku dan berjalan perlahan menghampirinya.

"Kak Rina.." panggilku.

"Kak Rina." Sekali lagi. Kak Rina berhenti berjalan. Berbalik. Menatapku. Mengernyitkan kedua alisnya.

"Kak Rina, kan?" aku memastikan. Kak Rina mengangguk.

Aku semakin mendekat, menuntunnya ke tepi, menjauhi lalu lintas pejalan kaki. Sesaaat setelah kami berdiri berhadapan, tanpa bisa ditahan, aku sesenggukan di depannya. Bahuku terguncang hebat, dan air mata menderas di pipiku. Terdengar suara ratapan yang sangat menyayat dari bagian belakang teggorokanku.

"Dari mana kepedihan dan kesesakan ini datang?" aku membatin tanpa bisa menghentikan tangisan. Aku teringat pada Nilam, orang yang kami berdua kenal dengan sangat baik; orang yang dengannya kami menjalin pertemanan dan persahabatan. Nilam, yang membuat kami saling kenal satu dengan yang lain. Sekalipun kedekatan kami tidak sedekat antara kami masing-masing pada Nilam. Nilam, yang berpulang lebih dulu.

***

Kak Rina dan Nilam pernah menjadi rekan sekerja di sebuah perusahaan percetakan keluarga. Usaha ini tidak besar. Namun, sejumlah kerabat dari pemilik usaha menjadi pekerja di sana. Sebagian besar yang bekerja di sana sudah ada di sana selama bertahun-tahun, sebagian lagi bekerja di sana seumur hidup mereka. Ya, ga selama itu juga. Kurang lebih, ada juga yang bekerja di sana selama itu. Itulah sebabnya kak Rina dan Nilam menjadi sangat dekat.

Kak Rina adalah anak sulung dari 4 bersaudara. Sepanjang masa mudanya, dia bekerja sangat keras untuk menghidupi dirinya sendiri dan ketiga adiknya. Sejak kedua orang-tua mereka berpulang, kak Rina yang bertanggung-jawab atas uang sekolah dan merawat mereka. Besarnya tanggung jawab membuatnya keras terhadap diri sendiri. Adik-adiknya sangat mengasihi kak Rina.

Kak Rina menikah ketika dia telah melewati usia empat puluh tahunnya. Suaminya, 10 tahun lebih tua. Pernikahan mereka dihadiri banyak kerabat dan keluarga. Setelah menjalani 9 tahun pernikahan, suami kak Rina berpulang, usai menjalani rawat inap hampir sebulan.

Kenyataan tersebut menghantam kuat kak Rina. Sebulan lebih, kak Rina mendampingi suaminya yang dirawat di rumah sakit. Setiap hari, kak Rina berharap suaminya mengalami rasa sakit yang tidak lebih kuat dari hari sebelumnya. Namun, doa-doanya tidak terjawab seturut dengan keinginannya.

***

Dalam perjalanan menuju halte setelah percakapan singkatku dengan kak Rina, aku masih teringat kalimat yang disampaikan kak Rina. "Aku sendirian lagi, dek. Aku sendirian lagi. Setelah menikah hampir 10 tahun, aku sendirian lagi."

Apakah karena kesendirian lagi tersebut, kak Rina menyesal telah memutuskan menikah? Atau, kesendirian ini justru membuatnya bersyukur telah sempat menjalani kehidupan pernikahan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggantung dalam benakku.

"Kau tahu, sekalipun sekarang aku janda, aku pernah menikah. Aku sudah merasakan kehidupan pernikahan. Orang-orang tidak perlu meributkan statusku lagi. Dulu, aku muak dan bosan mendengar pertanyaan mereka kapan aku menikah. Aku menikah. Sudah menikah."

Aku menatapnya lekat. Apa maksud pernyataan-pernyataan itu? Nada apa yang terdengar olehku itu?

"Tidak seperti waktu masih lajang dulu. Seolah-olah, semua orang menyayangkan usiaku yang sudah tua namun belum nikah. Menyadang predit perawan tua itu berat."

Kemenangan? Kebanggaan? Atau kelegaan?

"Masih lebih baik janda dibandingkan perawan tua. Aku masih beruntung, ku rasa. "

Dan, dari manakah pemikiran datang, bahwa dia beruntung setelah mengalami keadaan ini?

***

Apakah hidup harus seperti itu? Biarlah menjalani satu fase tertentu kemudian ditinggalkan pergi?

Apakah setiap orang harus melewati fase hidup yang sama? Harus melewati masa sekolah, menikah, punya anak, menua? Apakah setiap orang akan melewati fase hidup yang sama?

Apa harus membandingkan diri dengan seseorang yang tidak mengalami apa yang kita sudah alami? Apa merasa bangga karena berhasil menjalani kehidupan seperti yang dijalani orang-orang terdekat? Mau sampai kapan perlombaan membandingkan diri ini selesai? Sampai kapan kriterianya berhenti untuk  semakin panjang? Sudah punya itu, sudah punya ini? Sampai kapan perlombaan membandingkan kehidupan satu dengan yang lain akan berakhir?

***

Kak Rina, termasuk salah satu yang tahu ketika Nilam telah dirawat beberapa waktu di rumah sakit. Kak Rina sempat kecewa karena baru mengetahuinya setelah hari ke-2 Nilam dirawat. Selama Nilam dirawat, Kak Rina mengunjunginya nyaris setiap hari.

Ketika Nilam masuk lagi ke rumah sakit, diantara teman-teman terdekatnya, akulah yang paling terakhir tahu. Ketika aku mengunjungi Nilam di ruang rawatnya, kami bercerita banyak tentang teman-teman terdekat kami. Kak Rina adalah salah satu dari teman terdekat Nilam yang ada dalam percakapan kami. Kami menyadari lebih lagi kedekatan hubungan Nilam dan kak Rina. Aku tersenyum hangat melihat sinar mata Nilam yang bersemangat.

Siapa mengira jika Nilam pergi meninggalkan kami lebih dulu. Entah dengan siapa lagi aku akan bercerita tentang teman-teman terdekat kami. Dan, merasakan hangat dalam hati untuk setiap cinta kasih pada persahabatan yang kami masing-masing miliki. Ternyata, kami bersahabat ketika kami masih hidup. Namun, sekalipun kematian memisahkan kami, Nilam menghadapi kematian seorang diri. Begitulah hidup.

Kedekatanku dengan kak Rina karena kami memiliki seorang yang sama-sama kami kenal dan karib, Nilam.

***

"Kurasa aku beruntung dibandingkan mereka yang masih belum menikah bahkan sampai di usiaku menikah, 10 tahun lalu. Aku beruntung, dibandingkan mereka yang belum menikah sampai di usiaku saat ini."

Pikiranku entah sunyi, entah beku.

"Aku beruntung karena masih sempat menikah. Sayangnya, aku belum punya anak. Bertahun-tahun pernikahan, tanpa anak." Kak Rina menarik nafas panjang. Sekali lagi. Lalu, sekali lagi. Nada sedih terdengar di suaranya.

"Yang penting aku sudah menikah. Sekalipun keadaanku tidak berubah banyak."

Kak Rina menarik nafas panjang. Sekali lagi.  Kemudian, sekali lagi. Nada putus asa terdengar dari nafasnya.

"Sebelum menikah, aku sendiri. Sekarang, setelah suamiku meninggal, aku kembali sendiri. Sendiri. Dan, sendirian."  

Entah lajang, entah menikah, toh kita menjalani hidup ini sendiri. Toh, kita akan sendirian. Tentu saja bukan sendirian seperti seorang diri di sebuah pulau kecil yang tak berpenghuni. Bukan sendirian yang sendiri seperti itu. Tetapi, sendiri yang diri sendiri. Tentu saja. Lahir sendiri. Menjalani hidup dengan kebebasan, perasaan dan pemikiran milik diri sendri. Kelak, berpulang, menghadap Sang Pencipta pun, sendiri. Sendiri mempertanggungjawabkan apa-apa saja yang telah dilakukan dan dijalani oleh diri ini.

"Toh, kelak akan sendiri."

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun