Sudah pernah mengunjungi pulau Bangkakah? Atau, sudahkah mengunjungi Museum Kata di pulau Belitung? Pulau Bangka dan pulau Belitung bukanlah terdiri dari 2 buah pulau belaka. Masih ada pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bangka dan Belitung. Dua pulau tersebut sering disingkat dengan Babel (Bangka & Belitung).Â
Beberapa tahun lalu, pulau Bangka dan pulau Belitung merupakan bagian provinsi Sumatra Selatan dengan ibukota Palembang. Namun, sejak beberapa tahun lalu, Kepulauan Bangka dan Belitung menjadi sebuah provinsi dengan ibukota Pangkal Pinang. Babel adalah sebuah provinsi pemekaran dari provinsi Sumatra Selatan.
Suatu kali, beberapa tahun lalu, aku merencanakan hendak mengunjungi Belitung. Beberapa tahun sebelumnya, buku Laskar Pelangi, film Laskar Pelangi dan lagu "Laskar Pelangi" menciptakan euphoria luar biasa terhadap pulau Belitung.Â
Buku tersebut begitu laris sehingga harus dicetak ulang berkali-kali. Melihat fenomena buku Laskar Pelangi, dibuatlah film Laskar Pelangi. Film inipun mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa. Selain telah dicetak berkali-kali, buku Laskar Pelangi pun telah diterbitkan dalam lebih dari 20 bahasa asing.Â
Andrea Hirata, penulis buku Laskar Pelangi, tumbuh dan besar di Belitung bahkan telah mendirikan Museum Kata di sana. Selain lokasi tempat pengambilan gambar untuk film Laskar Pelangi dan pantai Manggar, Museum Kata pun menjadi tujuan kunjungan para pelancong. Namun, sebelum ke Belitung, aku harus mampir dulu ke Bangka.
Â
Ke Bangka
Pelabuhan yang digunakan untuk berangkat dari pulau Bangka ke pulau Belitung tidak sama dengan pelabuhan di Bangka, tempat tibanya jetfoil dan ferry dari Palembang.
Dari Palembang, aku naik ferry dari pelabuhan Tanjung Siapi-api ke Bangka. Tiba di pelabuhan Tanjung Kalian, Bangka sekitar jam 5 sore. Menunggu giliran ferry sandar, petang datang dengan penuhnya permukaan air laut dengan warna jingga yang kilau mengalahkan lampu stadion sepakbola.. :)
Tanjung Kalian berada di kota Muntok. Jika pelabuhan yang kita tuju dari Palembang ke Bangka adalah Tanjung Kalian, maka pelabuhan yang digunakan transportasi laut menuju pulau Belitung berada di sisi terjauh Muntok, yaitu pelabuhan Pangkal Balam. Sore itu, tidak ada lagi bus menuju Pangkal Pinang, lokasi pelabuhan Pangkal Balam. Sehingga aku memutuskan menginap semalam. :)
Beberapa mil laut mendekati Muntok, terlihat mercusuar. Berdiri menjulang di tepi pantai. Setelah ferry sandar, dan kerabat yang ditunggu tiba, kami berjalan menuju tepi pantai dekat mercusuar berdiri. Ada bebatuan besar di tepian pantainya yang terlihat landai. Warga lokal terlihat menikmati suasana sore di pantai ini.Â
Beberapa penjual makanan kecil lalu lalang di dekat kami. Aku ditawari otak-otak khas Bangka dengan sambal cocolnya yang sangat khas. Pedas dan manis. Makan pempek kulit dengan sambal cocol pedas manis di pinggir pantai adalah pengalaman pertamaku menikmati kuliner berpadunya pempek dan sambal. Biasanya, teman akrab pempek adalah cuko.
Sudah terlalu sore untuk masuk ke lingkungan bangunan mercusuar. Gelap sudah turun ketika kami dan beberapa pengunjung pantai Tanjung Kalian meninggalkan pantai. Ketika menoleh sekali lagi ke arah mercusuar, dia tampak sungguh tersendiri.
Aku berangkat ke Pangkal Pinang keesokan harinya. Tiba di pelabuhan Pangkal Balam pada siang hari, namun jetfoil Express Bahari sudah berangkat. Dua hari kemudian, aku kembali ke Muntok.
Kembali ke Tanjung Kalian
Siang baru meninggalkan teriknya, ketika aku sudah tiba di pelabuhan Tanjung Kalian, Muntok, setelah menghabiskan 2 hari di Pangkal Pinang. Hari ini, aku pulang ke Palembang. Aku memutuskan naik ferry terakhir, jam 5 sore. Masih ada waktu untuk mengunjungi mercusuar yang letaknya tak jauh pelabuhan Tanjung Kalian.Â
Berjalan kaki sejauh 5 menit dari pelabuhan, aku tiba di lokasi bangunan mercusuar yang dibangun pada masa Belanda masih menguasai beberapa bagian wilayah di negeri ini. Ada tembok yang mengelilingi areal bangunan mercusuar.Â
Dan, gerbang untuk menjadi batas bagi pengunjung sebelum memasuki lokasi bangunan mercusuar. Ada bangunan rumah sederhana dengan jendela kayu seperti kaca nako terbuka sedikit tak jauh dari mercusuar tersebut. Aku membayar 5000 rupiah sebelum menaiki mercusuar, menitipkan ransel, tas dan oleh-oleh, Â lalu memasuki bagian mercusuar, Â kemudian menyusuri tangga melingkar di bagian dalam mercusuar.
Semakin tinggi, jarak anak tangga satu dengan lainnya semakin lebar, memanjang dan jauh. Pada ketinggian tertentu ada jendela kaca berbentuk bulat dengan mengarah ke laut. Nafasku, makin lama semakin terdengar kuat dan kasar, sesekali terdengar dari nafasku yang kelelahan lagu "..ku 'tak bisa jauuuh, jauuh darimu.." Hahaha. Tanda-tanda kelelahan.
Baca juga: Senja di Perairan Muntok
Kaki mulai gemetaran, namun anak tangga masih juga belum berakhir. Mata sudah mulai berkaca-kaca. Di sekitar kepala terlihat gemintang berdansa memutar.. ;) Setelah beberapa kali berhenti untuk beristirahat, mampir ke kaca-kaca bulat yang terlihat sambil menatap laut, setelah berpikir untuk turun saja, dan meninggalkan tangga melelahkan ini tetapi sudah berjalan naik selama beberapa menit, akhirnya cahaya terang dari luar masuk melalui pintu di lantai puncak. Â Â
Dari tempat tertinggi yang bisa dicapai oleh pengunjung, birunya perairan terlihat sampai titik terjauh. Sampai lengkung cakrawala di jauh sana. Jauuuh. Aku memutari balkon mercusuar yang dibatasi oleh pagar. Puncak mercusuar dari balkon masih ada beberapa meter lagi tingginya. Sejauh mata memandang, tampak birunya laut; di sisi lain terlihat rumah-rumah, jalan-jalan, kendaraan yang bergerak dalam ukuran yang sangat kecil.
Di bawah sana, tak jauh dari mercusuar (setiap hal yang dilihat dari ketinggian, tampak saling berdekatan), aku melihat bangkai kapal yang diletakkan tak jauh dari batu-batu besar yang menjaga bibir pantai dari gelombang air laut. Bangkai kapal tersebut menjaga pantai agar tidak terkena abrasi. Bebatuan besar menolong pantai terlihat lebih ramah. Karena tak jauh dari pantai, laut dalam bisa terlihat.
Setelah puas melihat kota Muntok, setelah merekam banyak jejak birunya lautan dalam ingatan dan kamera, setelah tak sanggup lagi menahan kaki yang makin gemetar setiap mellihat ke bawah sana, aku memutuskan untuk turun.
Meninggalkan lokasi bangunan mercusuar, aku berbelok ke kanan. Di sana ada beberapa kuburan. Itu adalah kuburan para penumpang kapal yang bangkainya bisa terlihat dari balkon. Ada yang bercerita, kapal itu berisi para dokter dan perawat. Lokasi kuburan tersebut terasa sejuk dengan pepohonan yang ditanam berjarak. Sangat teduh sehingga dijadikan tempat berteduh para pengunjung yang datang sore hari, ketika itu.
Ah, mestinya segera kucatat info berharga itu. Puluhan purnama sudah berlalu. Kalau pergi lagi ke sana, kelak, aku mesti cari tahu ceritanya lebih lengkap.
Â
Waktunya pulang...
Jam digital  di telepon genggam sudah menunjukkan waktu pukul 5 kurang seperempat jam. Aku bergegas meninggalkan lokasi bangunan mercusuar menuju pelabuhan. Lalu membeli tiket, berjalan menuju dermaga, memasuki ferry dan mencari tempat duduk yang mercusuar dalam ruang pandang.
Ferry meninggalkan dermaga sekitar pkl 1730. Bergerak menjauh, perlahan. Ketika melihat mercusuar lagi, di belakang sana bulatan jingga manyala sedang memancar. Aku menatap dengan takjub. Berkali-kali, aku memotret pemandangan menakjubkan itu. Cahaya matahari sore memberikan jejak memanjang di perairan. Belum lagi sejam meninggalkan pelabuhan, aku sudah merindukan pemandangan mercusuar dengan pendar-pendar jingga di langit dan permukaan perairan.
Note:
Kepulauan Bangka Belitung memiliki beberapa mercusuar di beberapa pulaunya. Penempatan mercusuar di pulau-pulau ini tentu sangat menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Kisah yang diteruskan dari generasi ke generasi mengungkapkan bahwa leluhur orang Bangka merantau langsung dari negeri China (sekarang menggunakan diksi Tiongkok). Mercusuar-mercusuar ini adalah salah satu pandu mereka tiba di pulau Bangka setelah berlayar melintasi samudra.
Bukan nenek moyangku saja yang seorang pelaut, ternyata.. (RS)
***
#sicaper
#seri catatan perjalanan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H