"Pengunjung yang tadi ada di sebelah kita tadi, belum pulang. Hape kakak ada di dekat mereka. Kayaknya mereka nungguin yang punya balik lagi ke sini." Itu yang aku sampaikan, begitu aku berada di dalam mobil.
"Haduuuuh.. Koq, ga sempat tanya nomor hape, ya? Kan, kapan-kapan bisa ngajak ngopi bareng?" hatiku berujar. Tidak ada yang menjawab. Maka ujarku kutitipkan pada ingatan.
Udara dalam mobil berubah. Uap pekat cemas, menguap. Udara senja menggantikannya. Lega. Teduh.
***
Bertemukah kau dengan sang puas? Benar senangkah rasa hatimu? Bertemukah kau dengan sang puas? Benar senangkah rasa hatimu? Â Di bawah basah langit abu-abu, kau dimana? Di lengangnya malam menuju Minggu, kau di mana? Di bawah basah langit abu-abu, kau dimana? Di lengangnya malam menuju Minggu, kau di mana? Kau di mana?Â
Dulu, aku sempat berkata, kalau aku ingin dia selalu bahagia. Dia berkata, dia selalu mengharapkan kebahagiaanku, karena kebahagiaanku adalah segalanya untuk dia. Kini, aku menyadari, mungkin saja kami masing-masing adalah kebahagiaan bagi yang lainnya.
Pada jarak dulu dan kini, kami tidak bisa memahami apa itu bahagia. Mencarinya dari hidup orang lain, tanpa menyadari kami tidak menjalani kisah kami sendiri dengan definisi bahagia yang seharusnya hanya milik kami.
***
Dalam perjalanan pulang ke rumah, -kali ini, benar-benar pulang ke rumah- lagu sudah berganti. Bulatan jingga menyentuh ujung cakrawala. Pendaran jingga menebar dan menyebar. Aku tersenyum pada jingga. Dan kekuatannya yang magis yang sanggup membuat takjub setiap mata yang melihatnya.
Dalam ruang rindu yang jauh di lubuk hati, masih terdengar suara Tulus.
Di bawah basah langit abu-abu, kau dimana? Di lengangnya malam menuju Minggu, kau di mana? Di bawah basah langit abu-abu, kau di mana? Di lengangnya malam menuju Minggu, kau di mana? Kau di mana?