New normal atau kenormalan baru menjadi happening belakangan ini karena erat kaitannya dengan pandemi Covid-19. Apa sebenarnya makna kenormalan baru; Â bagaimana kita menyiapkan langkah strategis dalam memasukinya?
Kenormalan baru, sejatinya, bukanlah hal yang aneh. Setiap orang dapat mengalaminya dalam bentuk yang berbeda.
Misalnya, seseorang mengalami kecelakaan patah kaki,  lalu berobat  hingga sembuh. Setelah itu, tentu saja dokter berpesan agar ia melakukan sejumlah hal dengan disiplin; agar ia berhati-hati dalam menggunakan kakinya.
Sebab, meskipun telah dinyatakan sembuh, dia tidak benar-benar back to normal, kembali normal seperti kondisi sebelumnya karena trauma penyakitnya berpeluang hadir kembali ketika ada persyaratan yang dilanggar.
Demikian juga halnya dengan new normal (kenormalan baru)  yang  telah diwacanakan pemerintah  sebagai fase yang harus dimasuki  pasca pandemi Covid-19.  Tentu saja perlu persiapan dan langkah strategis agar masyarakat siap menyikapinya.
Bagaimana tidak, saat terjadi pandemi, kita telah 'dipaksa' keadaan untuk membentuk kebiasan baru, seperti: menggunakan masker, rajin cuci tangan, jaga jarak fisik, berjemur, juga diminta untuk stay at home, belajar dan beribadah di rumah saja.
Bahkan kemudian dilakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai ganti terminologi lokcdown atau karantina wilayah yang enggan digunakan oleh pemerintah.
Secara tiba-tiba, masyarakat Indonesia yang gemar berkumpul, mengobrol, guyub, bersilaturahim, harus menghentikan kebiasaan tersebut selama beberapa lama.
Pusat perbelanjaan dan hiburan ditutup, perkantoran buka dengan jam operasional terbatas, angkutan publik pun dibatasi guna memutus mata rantai persebaran Covid-19.
Nah, saat dinyatakan kita memasuki kenormalan baru, apakah kita akan tetap disiplin dan penuh kehati-hatian terhadap protokol kesehatan atau kita akan kembali pada kebiasaan 'normal' lama sebelum 'patah kaki'?
Maka, tak berlebihan kalau banyak pihak yang secara kritis mempertanyakan, apakah pemerintah saat mewacanakan diberlakukannya kenormalan baru, telah mengkalkulasi dengan baik perangkat kesehatan dan daya dukungnya serta mengecek kondisi kesiapan masyarakat? Kita perlu menyikapi wacana new normal yang terlalu dini dengan pendekatan penuh kehati-hatian (cautious approach).