Mohon tunggu...
Nicodima Wigonesti Murani
Nicodima Wigonesti Murani Mohon Tunggu... Administrasi - Living in paradise : Indonesia

Pekerja kantoran yang suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Napak Tilas ke Curug Batu Templek di Bandung Timur

5 Agustus 2019   13:22 Diperbarui: 5 Agustus 2019   18:26 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Curug Batu Templek saat kecil dan remaja

Orang Bandung mah ga punya pantai, punyanya gunung. Sejak kecil kalo di ajak jalan-jalan ya ke gunung, kebetulan rumah saya di daerah Cicaheum dekat Terminal Bus Cicaheum, daerahnya agak naik sedikit, kalo mau ke gunung tinggal trekking dari belakang rumah. 

Eiittt jangan salah trekkingnya bisa berkilo kilo meter. Sampe SMA saya masih suka jalan-jalan ke gunung bersama anak-anak tetangga. Kalo teman sekolah saya main dan nongkrongnya di mall atau caf ,  saya mainnya ke alam. Biasanya hari minggu pagi kita trekking, waktu itu belum ada HP jadi kalo nyamper pake batu kecil di lempar ke jendela kamar.

Lokasi yang di tuju biasanya ganti-ganti kadang ke Caringin Tilu, sekarang ada tambahan destinasi  dekat Caringin tilu yaitu Bukit Moko, dan salah satu lokasi yang kami suka adalah Curug Batu Templek. Curug artinya air terjun. 

Batu templek sendiri bekas penambangan batu dengan dinding batu yang bentuknya seperti berlapis. Rute yang dilalui biasanya lewat sawah-sawah yang viewnya berubah-ubah, kadang sedang di bajak, kadang padinya masih hijau, sekali waktu padinya sudah menguning lalu merunduk sampai ke tanah dan siap di panen.

Ada cerita lucu ketika kami melewati sawah yang sedang di bajak, tiba-tiba ada anak kerbau mendekati kami seperti akan menyeruduk, otomatis semua bubar lari ke segala penjuru, saking paniknya malah lari ke tengah sawah yang sedang di bajak yah malah ga bisa lari yang ada kita jadi kaya kerbau berkubang penuh lumpur. 

Kata bapak petani harusnya ga usah lari, lompat saja ke pematang sebelahnya, jadi antara pematang sawah yang satu dan lainnya biasanya kan ada saluran air, nah kalo kita lompati saluran air itu kerbau udah ga bisa ngejar kan dia ga bisa lompat, yaah bapak telat ngasih taunya, si bapak hanya tertawa melihat wujud kita yang udah kaya kerbau abis berkubang.

Untungnya rute yang kita lalui setelah sawah adalah sungai yang jernih dengan batu-batu alamnya, banyak ibu-ibu dan mbak-mbak mandi, mencuci baju dan anak kecil bermain air. Akhirnya kita ikutan mandi di sungai untuk menghilangkan lumpur yang menempel di badan dan pakaian. Setelah mandi seadanya kami nongkrong di pinggir sungai berjemur untuk mengeringkan badan sekaligus baju yang menempel. Kalo orang kan berjemurnya di pantai, lah ini mah di sungai.

Kalo trekking kita ga pernah bawa air minum karena sepanjang jalan biasanya kita akan menemukan mata air. Airnya dingin dan seger banget.

Tidak hanya sawah dan sungai, semakin keatas kita akan melihat banyak perkebunan seperti kol, tomat, jagung, cabai dengan latar belakang view Kota Bandung dari atas, cantik sekali.

Setelah lulus SMA saya sudah tidak pernah trekking lagi, sibuk kuliah lalu bekerja dan mulai jadi anak mall.

Curug Batu Templek 2019

Tanpa sengaja melihat instagram teman berfoto di Curug Batu Templek. Tampak lebih cantik dengan tambahan jembatan gantung di depan air terjunnya. Masa kecil dan remaja saya seperti flashback berputar ke masa lalu membuat kerinduan untuk trekking kembali ke Curug Batu Templek muncul. Tepatnya rindu dan penasaran, seperti apa Curug Batu Templek sekarang? ingin rasanya mengenang masa-masa melawati sawah, sungai dan perkebunan sayuran, masih adakah?

Berdasarkan informasi yang saya dapat ada rute yang lebih pendek menuju Curug Batu Templek yaitu melalui Jalan Pasir Impun hanya sekitar 2,6 KM dengan jarak tempuh berjalan kaki 1-1,5 jam. Rute ini dari rumah saya harus naik angkutan kota (angkot) dengan ongkos 3000 rupiah saja, cukup dekat. 

Sedangkan rute yang dulu sering saya lalui yaitu melalui Jalan Jatihandap dari belakang rumah dengan jarak lebih jauh yaitu 6-7 KM.  Supaya tidak penasaran saya akan mencoba kedua rute. Untuk pergi menggunakan rute pendek yang belum pernah saya lalui  yaitu Jalan Pasir Impun dan pulang akan menggunakan rute nostalgia yaitu Jalan Jatihandap.

Hari Minggu pagi tanggal 04 Agustus saya memulai trekking dari Jalan Pasir Impun. Jalan yang dilalui melewati perumahan penduduk, tidak ada pemandangan sawah, sungai  apalagi perkebunan sayuran, jalannya pun tidak terlalu menanjak, seingat saya hanya satu tanjakan yang lumayan tinggi yang bikin ngos-ngosan, Jalanannya pun mulus beraspal. 

Mendekati pintu masuk Curug Batu Templek sedikit saya melihat view bukit-bukit. Sedikit kecewa dengan viewnya tapi terobati setelah memasuki area Curug Batu Templek. 

Pemandangannya tidak berubah banyak terutama dinding-dinding batu dan air terjunnya, sayang saya datang saat musim kemarau jadi debit airnya tidak banyak. Saya punya foto saat kecil dan remaja di Curug Batu Templek tapi entah dimana fotonya sekarang, harusnya bisa untuk pembanding Curug Batu Templek dulu dan saat ini.

Curug Batu Templek sekarang sudah mulai menjadi destinasi alam yang di datangi turis bukan hanya dari Kota Bandung saja, saya lihat sudah ada mobil berplat luar kota terparkir. Dulu masuk lokasi free dan tidak ada pengelola, sekarang sudah di kelola dan ada retribusi tiket masuk dan ada objek wisata jembatan gantung di depan air terjun.

Jembatan gantung di depan Curug Batu Templek  | dokpri
Jembatan gantung di depan Curug Batu Templek  | dokpri

Rute pulang adalah rute yang membuat saya penasaran apakah masih sama seperti dulu? Perjalanan pulang lebih menantang karena jalannya lebih menanjak dengan jalan yang sudah lumayan bagus dan beraspal. Sepanjang perjalanan saya bisa melihat perkebunan kol dan jagung (senangnya) dan banyak rumah-rumah villa. 

Tiba di titik tertinggi ada sebuah kafe cantik namanya Omah Putih dengan bangunan hingga pagar semua bercat putih. Menurut saya caf ini ada di pucak tertinggi karena setelah melewati caf, jalan akan turun terus hingga tiba di rumah. Dari caf ini kita bisa melihat view kota Bandung tanpa ada halangan, cantik sekali. Datanglah sore hari untuk melihat view yang berbeda ketika lampu-lampu di kota sudah menyala.

Cafe Omah Putih | dokpri
Cafe Omah Putih | dokpri

Seperti yang saya bilang setelah caf ini jalanan mulai menurun dan kanan kiri jalan kita bisa melihat perkebunan yang tidak dipagari seperti tomat, kol, lemon dan cabai. Karena tanpa berpagar kita bisa masuk ke kebun untuk foto-foto, hati-hati ya saat berfoto jangan sampai menginjak tanaman. Ada pemandangan yang sedikit berbeda sekarang lebih banyak villa dan ada beberapa penginapan yang disewakan. 

Kebun sayur yang dilalui salah satunya kebun tomat | dokpri
Kebun sayur yang dilalui salah satunya kebun tomat | dokpri

Mulai turun ke bawah saya melewati sungai yang dulu sering saya lalui dan pernah mandi karena di kejar kerbau. Sungainya tidak kotor tapi sudah tidak bisa digunakan untuk mencuci apalagi mandi dan tidak ada lagi anak-anak yang bermain di sungai, sedih rasanya. Saya masih bisa melihat sawah tapi tidak banyak seperti dulu, mungkin karena sudah berubah jadi perumahan penduduk.

Pemandangan sudah tidak seperti dulu lagi, tapi saya tetap senang dan kerinduan terobati, masih ada yang tidak berubah seperti perkebunan dengan udara pegunungan yang masih segar dan view Kota Bandung yang cantik dari atas.

Wisata alam di Bandung tidak hanya Lembang, Ciwidey atau Kawah Putih, ada Batu Curug templek dengan view yang masih alami. Tidak hanya trekking tapi banyak juga yang bersepeda ke sini. Untuk yang menggunakan kendaraan jalannya pun sudah nyaman.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun