Selanjutnya, kami mengikuti acara pembukaan live in yang dilanjutkan dengan sarapan bersama sebelum kami di evakuasi ke rumah induk semang kami masing-masing. Sedikit mengenai Desa Sendangmulyo, Desa ini terdiri dari 16 pedukuhan yang terdiri dari Prapak Kulon, Mergan, Prapak Wetan, Sembuhan Kidul, Sembuhan Lor, Sumber, Slarongan, Blimbingan, Dondongan, Klepu Kidul, Klepu Lor, Jetis, Kwayuhan, Krompakan, Sragan dan Diro.Â
Kami dibagi ke beberapa dukuh, dan kebetulan saya bersama beberapa teman sekelas saya mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Dukuh Prapak Wetan.
Dalam kegiatan live in ini, kami dibagi ke dalam beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua sampai tiga mahasiswa/i yang akan tinggal di rumah induk semang yang sama. Evakuasi ke rumah induk semang dilakukan dari rumah kepala dukuh tempat kami tinggal, yaitu rumah Bapak Nyono. Saya berkesempatan untuk tinggal di rumah Mbah Atemo bersama dengan teman satu rumah saya yaitu Inka.Â
Mbah Atemo dulunya bekerja sebagai petani, tapi kini beliau sudah tidak bekerja lagi. Rumah Mbah Atemo tidak terlalu besar, kami tidur di ruang tengah yang sudah difasilitasi dengan dua buah matras. Setiap malam, Mbah Atemo tidur di rumah anaknya yang masih tinggal di dukuh tersebut, dan sehari-hari Mbah Atemo juga jarang berada di rumahnya.Â
Sehingga, saya dan Inka hanya berdua saja di rumah Mbah Atemo dan berinisiatif mencari kegiatan sendiri. Si Mbah mempunyai tujuh anak (lima tersebar di area Jabodetabek, dan dua masih tinggal di Desa Sendangmulyo) dan 11 cucu.
Dalam acara ini, dilakukan arak-arakan gunungan dan warga yang mengenakan berbagai macam kostum keliling wilayah Desa Sendangmulyo. Malam harinya, kami diajak untuk menonton pertunjukan wayang.Â
Di hari pertama ini, saya tertegun dengan betapa indah dan asyiknya tradisi budaya di desa ini. Saya merasakan bahwa warga desa sangat antusias dengan acara Kirab Budaya dan pertunjukan wayang, seluruh warga desa dari berbagai kalangan usia sangat bersemangat untuk berpartisipasi, terutama anak-anak.Â
Anak-anak di Desa Sendangmulyo sangat antusias dan ceria dalam berpartisipasi di acara kirab budaya, baik berpartisipasi dengan menjadi salah satu anak yang mengenakan kostum dan mengikuti pawai maupun hanya menjadi penyemarak acara dengan ikut berkeliling desa dengan menggunakan sepeda. Sangat berbeda dengan anak-anak yang ada di perkotaan, yang keceriaannya notabene identik dengan materi seperti gadget, PlayStation, dan mainan-mainan mahal yang saling dilombakan dengan teman-teman sebayanya.
Pada hari kedua, saya dan Inka mencari kegiatan sendiri, kami memutuskan untuk berkunjung ke rumah yang ditinggali rekan kami, rumah tersebut adalah rumah keluarga Ibu Ida.Â
Di sana, kami menemani Mbah Katiyem mencuci baju ke sungai. Jalan menuju ke sungai tempat Mbah Katiyem mencuci baju cukup berliku. Sungai tersebut memiliki arus yang cukup deras dan air yang sangat jernih tidak seperti sungai-sungai yang kami temui di Jakarta. Namun sayang, banyak sekali ranting-ranting pohon tumbang yang sudah mengering di sungai tersebut, sehingga tampilan sungai tersebut terkesan kurang rapi.Â