Menurut Wikipedia Indonesia, Indonesia merupakan negara kepulauan paling besar di dunia dengan 17.504 pulau dan sekitar 300 kelompok etnis.Â
Beragamnya suku bangsa, budaya, dan bahasa daerah di Indonesia, memberikan satu lagi poin tambahan dalam daftar keunikan Indonesia sebagai suatu bangsa.Â
Semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua, tentu sudah sangat akrab di telinga kita. Namun sesungguhnya, semboyan ini belum seluruhnya dapat dihayati dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Kesadaran dan pemahaman masyarakat Indonesia mengenai multikulturalisme masih sangat minim.Â
Oleh karena itu, masih sangat dibutuhkan edukasi yang lebih dalam mengenai apa itu multikulturalisme dan mengapa multikulturalisme menjadi suatu keunikan tersendiri di Indonesia yang harus di pertahankan.
Salah satu cara edukasi multikulturalisme yang tergolong sebagai cara yang efektif adalah live in. Live in adalah kegiatan menetap sementara di suatu lingkungan baru yang umumnya berbeda dengan lingkungan tempat tinggal asal seseorang. Dewasa ini, kegiatan live in sering sekali dimasukkan ke dalam program kegiatan suatu sekolah, universitas, maupun instansi. Biasanya, lokasi yang dipilih sebagai lokasi live in adalah kota atau daerah dengan lingkungan, situasi, dan kondisi sosial budaya yang sangat berbeda dengan daerah asal sekolah, universitas, maupun instansi penyelenggara live in. Dalam kegiatan ini, peserta dituntut secara tidak langsung, untuk berbaur dan menjalani hidup sebagaimana masyarakat setempat di lokasi live in. Dengan ini, para peserta live in akan semakin mendalami kebudayaan di lokasi live in, dan semakin sadar akan keunikan dan kelebihan dari kebudayaan tersebut. Kesadaran akan keunikan dan kelebihan budaya lokasi live in ini kemudian akan menuntun peserta pada kesadaran akan indahnya menjadi bagian dari masyarakat multikultur.
Kegiatan live in ini menjadi salah satu kegiatan pilihan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya untuk memberikan edukasi kepada mahasiswa/i-nya mengenai multikulturalisme sekaligus menanamkan nilai-nilai intinya, yaitu nilai-nilai KUPP (Kristiani, Unggul, Profesional, dan Peduli) kepada para mahasiswa/i untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Sejak kegiatan pengenalan kampus untuk mahasiswa/i baru, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya sudah menggalakkan edukasi mengenai KUPP dan multikulturalisme, dan dalam mata kuliah Pengembangan Diri, Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UNIKA Atma Jaya kembali memberikan edukasi mengenai kedua hal tersebut.Â
Namun kali ini, lebih dari sekedar tayangan slidepower point dan ceramah di ruang kelas, mahasiswa/i UNIKA Atma Jaya diberi kesempatan untuk secara langsung mengalami dan melaksanakan langsung nilai-nilai KUPP sekaligus memperluas wawasan tentang multikultiralisme di Indonesia dan mengalami langsung kebudayaan lain melalui kegiatan Live in yang dilaksanakan selama 5 hari, yaitu pada tanggal 19-23 Oktober 2018 (2 hari perjalanan, 3 hari di desa) di Desa Sendangmulyo, kecamatan Minggir, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagai salah satu mahasiswi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, saya merasa beruntung bisa mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan live in ini.Â
Dalam menyambut live in, selama 2 pertemuan, kami diberi sosialisasi mengenai kegiatan live in yang akan kami laksanakan. Kami diberi tahu dimana dan kapan kami akan melaksanakan live in, serta biaya dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk kegiatan live in.Â
Kami-pun ditantang untuk mencari sendiri dana live in kami dan tidak meminta kepada orang tua. Hal ini dilakukan oleh kepala program studi kami, Ibu Dr. Christiana Farah Dharmastuti dan Tim Dosen penyelenggara live in sebagai langkah awal mempersiapkan kami menjadi pribadi yang mandiri.
Pada hari Jumat, tanggal 19 Oktober 2018, kami, seluruh mahasiswa/i program studi manajemen UNIKA Atma Jaya dari Semanggi dan BSD berangkat bersama dengan 5 bus Big Bird. Saya sendiri berangkat dari UNIKA Atma Jaya Semanggi.Â
Kami yang berangkat bersama dari Semanggi berkumpul di Hall Gedung B (Gedung Karol Wojtyla) pada pukul 12.00 WIB -- 14.00 WIB untuk absen dan pembekalan awal sebelum berangkat menuju Sleman, Yogyakarta.Â
Perjalanan kami dimulai pukul 14.30 WIB dan belangsung selama kurang lebih 14 jam. Kami tiba di Desa Sendangmulyo pada hari Sabtu, 20 Oktober 2018 pukul 04.00 WIB dan langsung berkumpul di Balai Desa Sendangmulyo.Â
Selanjutnya, kami mengikuti acara pembukaan live in yang dilanjutkan dengan sarapan bersama sebelum kami di evakuasi ke rumah induk semang kami masing-masing. Sedikit mengenai Desa Sendangmulyo, Desa ini terdiri dari 16 pedukuhan yang terdiri dari Prapak Kulon, Mergan, Prapak Wetan, Sembuhan Kidul, Sembuhan Lor, Sumber, Slarongan, Blimbingan, Dondongan, Klepu Kidul, Klepu Lor, Jetis, Kwayuhan, Krompakan, Sragan dan Diro.Â
Kami dibagi ke beberapa dukuh, dan kebetulan saya bersama beberapa teman sekelas saya mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Dukuh Prapak Wetan.
Dalam kegiatan live in ini, kami dibagi ke dalam beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua sampai tiga mahasiswa/i yang akan tinggal di rumah induk semang yang sama. Evakuasi ke rumah induk semang dilakukan dari rumah kepala dukuh tempat kami tinggal, yaitu rumah Bapak Nyono. Saya berkesempatan untuk tinggal di rumah Mbah Atemo bersama dengan teman satu rumah saya yaitu Inka.Â
Mbah Atemo dulunya bekerja sebagai petani, tapi kini beliau sudah tidak bekerja lagi. Rumah Mbah Atemo tidak terlalu besar, kami tidur di ruang tengah yang sudah difasilitasi dengan dua buah matras. Setiap malam, Mbah Atemo tidur di rumah anaknya yang masih tinggal di dukuh tersebut, dan sehari-hari Mbah Atemo juga jarang berada di rumahnya.Â
Sehingga, saya dan Inka hanya berdua saja di rumah Mbah Atemo dan berinisiatif mencari kegiatan sendiri. Si Mbah mempunyai tujuh anak (lima tersebar di area Jabodetabek, dan dua masih tinggal di Desa Sendangmulyo) dan 11 cucu.
Dalam acara ini, dilakukan arak-arakan gunungan dan warga yang mengenakan berbagai macam kostum keliling wilayah Desa Sendangmulyo. Malam harinya, kami diajak untuk menonton pertunjukan wayang.Â
Di hari pertama ini, saya tertegun dengan betapa indah dan asyiknya tradisi budaya di desa ini. Saya merasakan bahwa warga desa sangat antusias dengan acara Kirab Budaya dan pertunjukan wayang, seluruh warga desa dari berbagai kalangan usia sangat bersemangat untuk berpartisipasi, terutama anak-anak.Â
Anak-anak di Desa Sendangmulyo sangat antusias dan ceria dalam berpartisipasi di acara kirab budaya, baik berpartisipasi dengan menjadi salah satu anak yang mengenakan kostum dan mengikuti pawai maupun hanya menjadi penyemarak acara dengan ikut berkeliling desa dengan menggunakan sepeda. Sangat berbeda dengan anak-anak yang ada di perkotaan, yang keceriaannya notabene identik dengan materi seperti gadget, PlayStation, dan mainan-mainan mahal yang saling dilombakan dengan teman-teman sebayanya.
Pada hari kedua, saya dan Inka mencari kegiatan sendiri, kami memutuskan untuk berkunjung ke rumah yang ditinggali rekan kami, rumah tersebut adalah rumah keluarga Ibu Ida.Â
Di sana, kami menemani Mbah Katiyem mencuci baju ke sungai. Jalan menuju ke sungai tempat Mbah Katiyem mencuci baju cukup berliku. Sungai tersebut memiliki arus yang cukup deras dan air yang sangat jernih tidak seperti sungai-sungai yang kami temui di Jakarta. Namun sayang, banyak sekali ranting-ranting pohon tumbang yang sudah mengering di sungai tersebut, sehingga tampilan sungai tersebut terkesan kurang rapi.Â
Kegiatan kami selanjutnya adalah membantu rekan-rekan kami memasak makan siang di rumah Ibu Ida, induk semang mereka. Selama memasak bersama, saya merasakan suasana kekeluargaan yang sangat hangat. Keluarga Ibu Ida menyambut kami dengan sangat baik dan hangat, kami tertawa dan bersenang-senang bersama.Â
Tadinya, saya dan Inka berniat untuk ikut melihat proses pembuatan besek, namun karena satu dan lain hal, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke rumah Mbah Atemo. Kegiatan kami hari itu dilanjutkan dengan kunjungan ke Gua Maria Sendang Jatiningsih.Â
Kami berkumpul di balai desa dan kemudian berangkat bersama dengan salah satu bis kami, ke gua maria untuk berziarah, hingga pada malam harinya, sekitar pukul 18.00 WIB kami pulang ke rumah induk semang kami masing-masing dan beristirahat.
Hari ke tiga kami di Desa Sendangmulyo (Senin, 22 Oktober 2018), saya dan Inka mengikuti kegiatan kerja bakti di balai desa. Sepulang dari balai desa, kami bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta dan membantu Mbah Atemo menjemur padi.
Padi yang sudah diratakan Mbah Atemo di pekarangan rumahnya kami garuk dengan menggunakan garpu tani agar terjemur secara merata. Padi yang sudah kering nantinya akan di giling dengan mesin penggiling padi berjalan (portable) yang biasanya dibawa berkeliling dukuh.Â
Siang harinya, sekitar pukul 13.00 WIB kami berpamitan dengan Mbah Atemo sekaligus memberikan tanda kasih berupa sembako sebagai ucapan terima kasih. Kami kemudian berkumpul di balai desa untuk acara penutupan kegiatan live in dan pulang kembali ke Jakarta. Pada hari terakhir kami di Desa Sendangmulyo ini, beberapa dosen dan perwakilan mahasiswa/i juga berkunjung ke SDN Jonggrangan untuk menyerahkan sumbangan buku dari mahasiswa/i UNIKA Atma Jaya kepada siswa/i di sekolah tersebut.
Melalui apa yang saya lihat dan alami selama live in di Desa Sendangmulyo, saya menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari, saya masih kurang bersyukur dan masih kurang menghargai nikmat yang telah saya terima.Â
Saya juga masih terlalu berorientasi ke atas dan jarang sekali melihat kebawah sehingga saya hampir tidak menyadari betapa beruntungnya saya. Ketidaksadaran ini membuat saya terkadang kurang menghargai apa yang sudah saya miliki. Saya masih terus mencari dan meminta lebih.
Dari hasil pengamatan saya, masyarakat Desa Sendangmulyo sangat akrab dengan tetangga/masyarakat di sekitar lingkungan mereka. Hubungan antar masyarakat sekitar bisa begitu akrab, lain dengan masyarakat kota yang terkadang gengsi dan menjauhkan diri dari sekitarnya karena faktor status sosial, maupun faktor-faktor lainnya.Â
Saya juga menyadari bahwa terkadang saya masih terlalu sering menutup diri saya dari masyarakat di sekitar saya karena saya takut dinilai buruk oleh orang lain karena kesalahan tindakan maupun ucapan saya, disaat saya seharusnya membuka diri dan mencoba untuk sebisa mungkin menyesuaikan diri, bersikap baik dan bertutur kata baik dengan sesama saya. Kebudayaan di Jogjakarta khususnya Desa Sendangmulyo juga masih sangat kental, seluruh anggota masyarakat masih sangat menjunjung tinggi dan menghargai kebudayaan, serta tidak pernah lupa menunjukkan rasa syukur mereka kepada Tuhan atas segala nikmat yang mereka terima (seperti kesuksesan panen, dan lain-lain).Â
Selain itu, saya juga semakin sadar bahwa potensi alam di Indonesia sangat besar, hanya saja kurang disadari oleh masyarakat sekitar. Jika potensi ini dikembangkan, Indonesia dapat semakin menjadi destinasi wisata favorit para wisatawan domestik maupun mancanegara.
Setelah kegiatan live in ini, saya akan mengembangkan diri saya lebih baik lagi, dengan lebih mengakrabkan diri saya dengan sesama, lebih sering melihat kebawah untuk membantu yang membutuhkan dan mensyukuri segala nikmat yang telah saya terima dalam kehidupan saya, menghargai uang, barang, dan segala yang saya miliki baik materil maupun non-materil.Â
Saya akan lebih mengarahkan diri saya untuk membantu yang membutuhkan dan merasa bahagia dengan apa yang sudah saya miliki. Saya-pun tidak akan terlalu berorientasi ke kebudayaan luar negeri karena saya semakin sadar bahwa kebudayaan Indonesia begitu indah dan kaya dan sangat perlu dilestarikan oleh generasi muda. Pertunjukan wayang dan Kirab Budaya yang saya saksikan saat live in begitu membuat saya takjub dengan kebudayaan Indonesia.Â
Semua hal diatas saya lakukan karena dengan mengikuti kegiatan live in ini saya semakin sadar bahwa untuk merasa bahagia itu sangat mudah, hanya dengan bersyukur dan menghargai diri kita, apa yang sudah kita capai, dan apa yang sudah kita terima.
Kegiatan live in ini sungguh membuka mata saya akan hal-hal yang masih perlu saya perbaiki dan saya kembangkan. Menurut saya, kegiatan live in yang diselenggarakan UNIKA Atma Jaya ini bisa dibilang berhasil dalam misinya menanamkan nilai-nilai KUPP ditambah dengan sentuhan nilai-nilai kemandirian, toleransi, sopan santun, dan kemampuan menyesuaikan diri serta berinteraksi dengan masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda, sekaligus memperkenalkan salah satu kebudayaan yang dimiliki Indonesia sebagai negara multikultur.Â
Semoga di tahun-tahun yang akan datang, UNIKA Atma Jaya dapat terus melaksanakan dan mengembangkan pelaksanaan kegiatan live in ini agar dapat terus memberi manfaat dan tambahan wawasan untuk mahasiswa-mahasiswinya.
Ditulis Oleh,
Nessa Mathea
Management C, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Semanggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H