Mohon tunggu...
neshaputri
neshaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Psikologi UIN Jakarta

psychology for better life

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mind of A Killer! : Menyelami Dunia Batin Remaja Pelaku Pembunuhan

20 Desember 2024   00:27 Diperbarui: 20 Desember 2024   00:27 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibalik wajah polos seorang remaja, tersimpan rahasia gelap yang mengerikan. Mengapa seorang anak tega membunuh orang tuanya sendiri? Kasus pembunuhan orangtua oleh remaja berusia 14 tahun ini mengungkap sisi gelap psikologi remaja yang jarang terungkap.  Melalui lensa psikologi, Artikel ini akan mengupas teori psikologi di balik tindakan ekstrem ini, dengan menggabungkan berbagai perspektif psikologis, Mari kita coba merangkai puzzle kompleks yang memicu terjadinya tragedi ini.

1.  Perkembangan Psikososial

Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya Emiliza, T. (2019). Menurut teori Erikson, remaja usia 14 tahun berada pada tahap Identity vs Role Confusion. Pada fase ini, kegagalan dalam pembentukan identitas dapat menghasilkan kebingungan peran yang ekstrim. Penelitian Kroger (2017) menunjukkan bahwa krisis identitas yang tidak terselesaikan dapat memicu perilaku destruktif sebagai bentuk penegasan diri. Mereka mencoba berbagai identitas untuk menemukan yang paling cocok. Remaja yang mengalami krisis identitas yang tidak terselesaikan memungkinkan terlibat dalam perilaku berisiko seperti tindakan kekerasan.

2. Dampak Teori Attachment 

Teori attachment dijelaskan oleh Bowlby (dalam Pimienta, 2023) sebagai perilaku yang memungkinkan individu untuk membentuk dan mempertahankan ikatan afeksi dengan individu lain. Attachment dibentuk sejak masa bayi melalui interaksi dengan pengasuh, seperti orang tua. Pengalaman interaksi tersebut akan memberikan attachment style pada individu. Penelitian longitudinal oleh Thompson et al. (2019) mengungkapkan bahwa gangguan attachment di masa kanak-kanak berkorelasi kuat dengan perilaku kekerasan di masa remaja.

3. Trauma dan Kekerasan

Model Trauma-Informed menurut van der Kolk (2015) menjelaskan bagaimana pengalaman traumatis dapat mempengaruhi perkembangan otak remaja dan kemampuan regulasi emosi. Trauma kompleks dapat menghasilkan respons fight-or-flight yang tidak proporsional.

4. Psikologi Abnormal dalam Konteks Remaja

DSM-5 mengidentifikasi berbagai gangguan yang mungkin berkontribusi, termasuk Conduct Disorder dan early-onset personality disorders. Penelitian Moffitt (2018) menunjukkan bahwa perilaku antisosial yang muncul di usia remaja awal memiliki prognosis yang lebih serius.

5. Analisis Psikodinamika

Teori psikodinamika modern menekankan peran mekanisme pertahanan dan konflik tidak sadar. Kernberg's Object Relations Theory (2016) menjelaskan bagaimana splitting dan proyeksi dapat mendasari tindakan kekerasan terhadap figur attachment.

6. Perspektif Kognitif

Model kognitif-behavioral mengidentifikasi distorsi kognitif spesifik yang sering muncul pada remaja pelaku kekerasan. Penelitian Beck Institute (2020) menemukan pola pikir rigid dan kesulitan dalam problem-solving sebagai faktor risiko signifikan.

         

 7. Sistem Keluarga

Teori Sistem Keluarga Bowen menekankan pentingnya melihat individu dalam konteks sistem keluarga yang lebih luas. Penelitian Minuchin Foundation (2021) mengidentifikasi pola-pola disfungsional yang berkontribusi pada eskalasi kekerasan dalam keluarga.

sumber : https://images.app.goo.gl/ojdc2tY3s9QzfagTA
sumber : https://images.app.goo.gl/ojdc2tY3s9QzfagTA

Bayangkan sebuah gelas yang terus diisi air. Setetes demi setetes. Hingga suatu hari... CRASH! Gelas itu meledak, menghancurkan segalanya. Begitulah jiwa remaja kita. Setiap bentakan, setiap pengabaian, setiap luka yang tak terlihat - semua terakumulasi dalam diam. Hingga suatu hari, ledakan itu terjadi dalam bentuk kekerasan yang mengerikan.

Ini bukan tentang 'anak nakal' atau 'remaja bermasalah'. Ini tentang jeritan minta tolong yang tak pernah didengar. Tentang tangisan yang tersembunyi di balik senyum. Tentang trauma yang terselubung dalam tawa. Kita, sebagai masyarakat, harus membuka mata dan telinga lebih lebar. Karena setiap remaja yang 'hilang' dalam kekerasan adalah satu masa depan yang dirampas dari dunia.

Mari kita ubah narasi ini. Dari mencari siapa yang salah, menjadi bagaimana kita bisa membantu. Dari menghakimi, menjadi memahami. Karena setiap remaja yang kita selamatkan hari ini adalah satu tragedi yang kita cegah di masa depan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun