Penulis menawarkan perspektif baru mengenai manfaat dan fungsi bermain tidak hanya bagi anak, tetapi juga bagi orang tua dan/atau orang dewasa masa kini – yang aktif, skeptis, dan naif memandang kesibukan sebagai suatu pencapaian.
Terinspirasi dari berbagai tokoh psikologi dan filsafat yang buah pikirnya mengenai manfaat bermain bagi perkembangan otak manusia tak hengkang oleh waktu, seperti Bowlby, Ainsworth, Vygoztsky, dan Elkind; penulis berkeyakinan bahwa aktivitas bermain memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk mengintegrasikan tiga watak bawaan tersebut (bermain, bekerja, dan mengasihi) dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi versi diri yang terbaik.
3B: Bermain – Belajar – Berkembang
Anak memiliki pikiran, perasaan, dan karakteristik kepribadiannya secara mandiri dan terpisah dari orang tua[1]. Hal ini perlu dipahami dan direnungkan secara pribadi sebagai orang tua dan/atau orang dewasa yang kadang merasa paling mengerti kebutuhan dan ‘yang terbaik’ bagi anak. Nyatanya, seringkali justru orang tua menyuarakan kebutuhan anak sesuai dengan kebutuhan dirinya sendiri,
“Ini anak saya capek tadi pulang sekolah, lalu masih harus les dulu. Jadi dia nggak kerjain tugas untuk terapinya, tolong dimaklumi ya. Dibantu juga, tolong, kak…”
- Orang tua, 2018-2020 (Praktik Psikologi)
Penulis menyadari bahwa dalam kasus di atas tidak hanya anak yang lelah, namun orang tua pun sebagai penyedia kebutuhan anak dan ‘pembaca pikiran’ anak tentu juga kelelahan secara fisik dan mental. Belum lagi mayoritas orang tua yang memandang bekerja sebagai tanggung jawab utama sehingga tidak mengizinkan diri untuk bermain dan mengeksplorasi kasih dalam waktunya bersama keluarga.
Adanya keyakinan bahwa ‘bermain hanya untuk anak-anak’ kerapkali membuat orang tua lupa bahwa bermain mengandung daya kreativitas, imajinasi, dan kekuatan yang luar biasa sebagai sumber energi mental dalam menjalani hidup dan keseharian.
Menjadi orang tua sering kali membuat diri memisahkan antara kerja dan bermain (Elkind, 2007; Runcan, Petracovschi, Borca, 2012). Bagi banyak orang, kerja adalah hal yang dilakukan sebagai sarana mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan – dan hal ini menyebabkan kerja dipandang memiliki kontribusi yang kecil terhadap perkembangan kreativitas dan kepuasan emosional.
Memasuki usia dewasa, hubungan pernikahan dan keluarga menjadi fokus pemenuhan kebutuhan untuk mengasihi. Meski didasarkan oleh kasih, relasi jangka panjang memerlukan kerja – adaptasi terhadap kebutuhan dan keinginan pasangan, anak, dan keluarga besar; dan pembelajaran mengenai diri sendiri serta orang lain.
Relasi tersebut juga memerlukan kesenangan dan selera humor sehingga semua orang yang terlibat dalam hubungan tersebut dapat menikmati dan berkembang dengan lebih optimal. Kehadiran anak di tengah hubungan suami-istri membuat dorongan kasih berkaitan erat dengan kerja dan kebahagiaan pengasuhan.