Cinta takkan salah. Begitu dendang Band Kahitna. Begitu yang aku percayai.
Kau tertawa? Kenapa? Kau tak percaya? Baiklah akan kuceritakan kepadamu kisahku dan silakan kau tanggapi. Mungkin cerita ini tak menarik buatmu. Aku tak menuntutmu untuk tertarik. Aku hanya ingin mengeluarkan isi dadaku saja. Maukah kau mendengarnya?
Masa Depan
Jadi begini rasanya sulitnya mengambil keputusan. Ragu-ragu. Dari setengah jam tadi sudah kepencet-pencet tuts ponselku mengakses daftar kontak. Dan namanya pun sebenarnya berada di puncak daftar. Tinggal menekan dan segera tersambunglah aku padanya. Atau kalau mau tambah repot, aku bisa saja memencet nomornya yang aku hapal di luar kepala sejak lima tahun yang lalu.
Tapi aku memang tipe orang yang ragu-ragu untuk bertindak. Harus memikirkan dalam-dalam sendiri. Dari dulu begitu. Dan itu dia tahu persis. Seperti dia tahu persis kepribadianku sampai sedetil-detilnya.
Masa Kini
Pembicaraan SMS.
Dia: Lagi nonton 500 days of summer. pantes kamu suka.
Aku: Iya, ma'am. Sinematografinya bagus. Aktingnya meyakinkan.
Dia: ah, bukan itu sebabnya. You're a mellow fellow. Of course u like it.
Aku: me? mellow? really?
Dia: Def. mellow. pasti sampai sekarang kamu belum bisa lupain pacarmu yg dulu :P
Touche!
Memang belum bisa lupa. Macam aku ini terjebak di labirin masa lalu yang bolak-baliknya selalu kembali ke square one. Dan square one itu tidak enak. Semua hal bisa menjadi pemicu ingatan pada si sial-pembuat-galau-tapi-nggak-mau-pergi-dari-hati-dan-pikiran. Dan si sial itu adalah Via. Yang akun facebooknya masih aku sambangi tiap hari. Yang kelas-kelasnya sedapat mungkin aku ikuti. Yang fotonya masih terpajang di layar ponselku. Yang nomornya masih terdaftar sebagai "hunny bunny" di ponselku. Yang walau pun sudah berendeng-rendeng dengan si kadal-muka-gembil-tapi-dia-cinta-mati di seantero kampus, tapi celakanya aku masih tahan menerawangi asyik masyuk mereka di plaza gedung F. Arrrghhh.
SMS baru masuk.
Dia: Kok nggak dibales? Teringat mantan yaaaaa...:D
Tahu aja dia. Benar-benar keturunan cenayang. Baru kali ini aku mendapati seseorang yang bisa menebak sifatku dengan tingkat akurasi yang tepat sasaran. Selain mamiku tentu saja. Kalau mami sih pasti mengerti luar dalam sifat anak-anaknya, wong sembilan bulan sepuluh hari plus dua puluh satu tahun lamanya mengurusi aku. Jangan-jangan dia semacam 'mami' baru buatku?
Aku: Enggak kok, Bu. Ini baru di jalan.
Sent.
Aduh, asal banget alasanku. Tapi apa boleh buat. Aku paling segan bicara yang pribadi-pribadi begini. Pribadi! Artinya hanya untuk konsumsiku sendiri. Teman-teman dekat saja belum tentu tahu soal beginian. Ya mereka tahu soal Via, tapi soal bagaimana aku berdarah-darah begini dan tenggelam dalam masa lalu itu urusan dalam negeriku. Kalau teman-teman dekat saja tidak tahu, masak dia harus tahu. Tapi kemampuannya menebak sifatku yang ala cenayang itu cukup mengesankanku.
Masa Depan
Aku menghirup napas dalam-dalam. Sudah cukup setengah jam ragu-ragu. Sudah cukup pula lima batang rokok putih kuhirup, walaupun tak sampai tuntas. It's now or never. Lima tahun sudah cukup panjang untuk beragu-ragu.
Kupencet namanya dalam daftar kontak.
Tersambung. Berdering. Tidak ada lagi jalan kembali. This is it.
Dia: Halo.
Hm, aku hapal nadanya yang ini. Nada dingin, impersonal. Nada yang dia gunakan kalau nomor pemanggil tidak dikenalinya. Tentu saja dia tak mengenali nomor ponselku. Waktu lima tahun tentu tidak pendek dan banyak yang telah terjadi selama itu sehingga nomorku pun pasti tak disimpannya. Lagian siapa sih aku ini sehingga membuat dia harus menghabiskan jatah kontak di ponselnya?
Aku: Halo.
Dia: Eh, Abang! Apa kabar?
Hm, dia masih ingat suaraku. Dan panggilan khususnya kepadaku. Abang. Nama panggilan yang diberikannya sejak pertama kami bertemu dulu.
Masa Lalu
Semester baru saja mulai hari ini, tapi aku sudah terlibat masalah. Baru dua mata kuliah yang kudapat dari jatah delapan mata kuliah yang harusnya aku ikuti. Sistem registrasi mata kuliah yang menyebalkan dan tidak efisien serta jumlah dosen yang tidak banyak membuat banyak mahasiswa bernasib sama sepertiku: belum dapat kelas. Tampaknya yang berlaku setiap registrasi adalah homo homini lupus alias orang-orang saling menerkam macam serigala saja. Siapa kalah cepat, sudah pasti tidak dapat kelas.
Ada SMS masuk. Dari Dea, ketua Senat Mahasiswa (SEMA) fakultasku. Isinya mengabarkan bahwa ada kelas yang baru dibuka untuk mata kuliah Academic Writing. Diajar oleh Ibu Rena. Dia mengajakku untuk datang ke pertemuan pertama pagi ini jam 9.
Hmm, Ibu Rena. Aku belum pernah mengambil mata kuliah apa pun yang diajarnya. Tapi dari berita-berita di luaran, dosen yang satu ini ketat dan berat. Sudah beberapa teman yang curhat kepadaku memberitakan bahwa mereka mesti bekerja ekstra keras untuk bisa mengikuti tugas-tugasnya yang 'ajaib-ajaib'. Bahkan Via, mantanku, pernah menangis-nangis kepadaku menceritakan bahwa dia hanya mendapatkan nilai B sedangkan rekan satu kelompoknya yang lain mendapatkan nilai A. Padahal menurut Via, dia sudah bekerja mati-matian menyelesaikan tugas-tugasnya.
Tapi aku tidak punya pilihan lain. Ini bukan saatnya pilih-pilih. Aku harus mendapat kelas. Titik. Kalau tidak, uang kuliah untuk delapan mata kuliah akan sia-sia sebagian kalau aku cuma dapat dua kelas. Aku melangkah ke laboratorium komputer di gedung perpustakaan di mana kelas akan diselenggarakan.
Di depan lab, kujumpai para aktifis Lembaga Kemahasiswaan (LK). Mereka semua masih menunggu Ibu Rena datang. Tampaknya mereka semua bernasib sama denganku, belum mendapat mata kuliah yang diinginkan.
"Eh, Ucok, belum dapat kelas juga ya?" sapa Dea, si ketua SEMA.
"Iya nih, baru dua. Terpaksa ikut kelas ini."
"Terpaksa? Kok terpaksa?"
"Iyalah. Dengar-dengar Ibu Rena orangnya ketat kan?"
"Ah, kamu salah info, Cok. Mbak Rena itu orangnya enak banget dan pengertian banget." bantah Dea. Hm, Mbak Rena? Mbak? Akrab sekali Dea menyebut dosen satu itu. Macam teman saja.
Pikiranku terpotong dengan kehadiran Ibu Rena. Seperti biasa, lubang telinganya ditutup headphone dan kepalanya bergoyang-goyang. Rupanya dia sedang mendengarkan musik lewat headphone. Tampaknya dia tak hirau dengan sekelilingnya. Sejak pertama masuk kuliah, aku lihat memang dosen satu ini agak 'nyeleneh'. Salah satunya ya soal headphone itu. Dan salah lainnya adalah soal pakaian. Belum pernah aku melihat dia berpakaian formal. Seperti kali ini, dia cuma mengenakan kaos polo hijau tua, celana jeans yang sudah pudar, dan sepatu kets. Cuma sekali aku melihat dia mengenakan batik resmi dosen dan celana kain ketika kami semua dilantik menjadi fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan dan dia menjadi koordinator bidang kemahasiswaan dua minggu yang lalu. Buat orang-orang yang belum kenal siapa dia, pasti mengira dia adalah seorang mahasiswa dan bukan dosen. Tapi memang wajahnya awet muda, dengan ekspresi wajah yang mencerminkan usia sekitar 30-an tahun. Dan masih membujang pula. Sehingga masih pantas bergaya ala mahasiswa.
Dia melaju begitu saja melewati kami, dengan gaya berjalannya yang memang buat kami luar biasa cepat. Lalu membuka pintu lab dan menuju ke meja dosen. Kami buru-buru masuk dan mencari tempat duduk yang kosong. Sementara itu, Ibu Rena langsung mengeluarkan laptop dari tas ransel hitamnya. Sejenak kulihat dengan cueknya dia berjongkok di lantai menyambungkan kabel power, LCD, dan jaringan ke panel listrik di bawah meja. Alamak, memang cuek sekali dosen ini!
Begitu laptop menyala, terdengarlah alunan lagu dari pengeras suara laptop. Hmm, aku kenal lagu ini. Ini Stupify milik grup band Disturbed. Wah, gila, musik rock yang dipilihnya. Dan di awal kuliah. Yang bener aja! Rupanya untuk membunuh waktu sementara dia menyiapkan bahan-bahan mata kuliahnya, dia memperdengarkan lagu untuk mahasiswa. OK, naik satu poin nilai dia di mataku.
"Good morning, Everyone." sapanya memulai kelas.
"Good morning, Ma'am." Beberapa menjawab dengan nada asal-asalan.
"OK, ada dua alasan mungkin mengapa Anda memilih kelas ini. Satu, Anda tidak mendapat kelas dengan dosen lain sehingga Anda terpaksa masuk kelas saya." Mendengar ini beberapa teman tertawa kecil, termasuk aku. Tahu saja dia!
"Atau alasan yang kedua, Anda terlalu cinta pada saya." Kali ini seluruh kelas tertawa. Wah, selera humornya boleh juga. Naik lagi satu poin nilai dia di mataku.
"Tapi yang lebih penting adalah, dalam kelas saya, saya akan mengajari Anda tidak hanya bagaimana menulis untuk keperluan akademis. Saya akan mengajari Anda tentang kehidupan di luar sana. Kalau Anda sudah dengar di luaran kalau saya ini ketat dengan deadline, saya sengaja membuatnya begitu karena di luar sana ketika Anda telat datang ke bandara, Anda akan ketinggalan pesawat. Tidak perduli bahwa Anda membayar harga tiket bisnis yang termahal sekali pun. Kecuali kalau Anda adalah Barrack Obama, tentu saja." ketawa kecil terdengar lagi di sana sini.
"Kalau tugas-tugas saya banyak, itu karena saya tidak percaya tes pilihan ganda. Dalam hidup Anda akan diserahi tugas dan tidak akan disuruh memilih jawaban pilihan ganda. You will be given a task, and it's up to you how you're going to do it. Terserah bagaimana caranya. Dan kalau Anda bertanya pada saya mana jawaban yang tepat, saya tidak akan memberikan jawaban saya, karena ada banyak variasi dan solusi atas setiap tugas. Tidak ada satu jawaban pun yang benar mutlak, karena dalam hidup ada banyak variasi dan solusi atas satu permasalahan. Semua jawaban bisa benar, apabila itu menyelesaikan masalah. Jadi walaupun jawaban Anda mungkin tidak sama dengan jawaban saya, saya tidak akan menilai jawaban Anda jelek. Kalau jawaban Anda bisa menjawab tugas, saya akan tetap menilai jawaban Anda itu berdasarkan kualitas dari proses Anda mendapatkan jawaban Anda itu. " Kelas menjadi hening, menyimak 'petuah'nya. Aku seperti mendapat pencerahan akan hidup di luar sana. Hidup di luar sana memang penuh variasi dan serba tak seragam, dan terkadang solusi suatu permasalahan bisa bermacam-macam.
"OK, let's talk about the syllabus of this class. So, please open the document in your computer..." dan kelas pun dilanjutkan dan kami tenggelam dalam pembahasan silabus.
Usai kelas, beberapa fungsionaris LK menemuinya. Baru kali itu aku melihat seorang dosen yang tampak begitu santai dan tidak canggung berada di sekitar mahasiswanya. Dia memperlakukan teman-teman fungsionaris layaknya teman sebaya, begitu akrab. Aku seperti rama-rama tertarik pada sinar lampu, tak sadar melangkahkan kakiku ke kelompok mereka.
"Eh, siapa namanya? Anak LK juga?"Sapanya ketika aku mendekat.
"Ini anak hilang di LK, Mbak, soalnya jarang ngumpul. Maunya menyendiri melulu karena patah hati." Belum-belum Dea sudah menyerocos mengomentariku. Sialan betul, aku belum-belum sudah kena skak mat di depan dia.
"Oh, gitu. Siapa namanya?"
"Ucok, Bu."
"Oh, dari Medan ya? Kok namanya Batak sekali?"
"Tidak, Bu, dari sini saja. Tapi memang orang tua dari sana."
"Ah, kamu ini cocoknya dipanggil Abang Ucok saja, soalnya pembawaanmu kayak abang-abang gitu."
"Bukannya karena kayak abang becak, Mbak?" Timpal Dea menggodaku, ditimpa tawa teman-teman.
"Bukan dong, masak cakep-cakep dibilang kayak abang becak sih, Dea. Ini lho, Ucok ini pembawaannya kalem dan kakak sekali. Terus melankolis juga ya kayaknya. Kamu tadi bilang dia sedang patah hati ya, Dea?"
"Iya, Mbak, dia ini udah diputusin dari kapan hari tapi patah hatinya nggak sembuh-sembuh sampai sekarang."
"Ya kalau lihat si Abang ini memang dia tipe yang sulit melupakan kalau sudah cinta. Ya nggak, Abang?"
Dan sejak saat itu, buatnya aku selalu si Abang...
Masa Depan
Di depan rumahnya. Masih rumah yang sama tempat dulu aku dan teman-teman LK sering bertandang. Rumah kuno model tahun 70-an dengan jendela besar-besar dan tembok tinggi. Rumah bercat hijau dengan sebatang pohon rambutan besar menaungi halamannya. Di depan ada teras dengan kursi-kursi kayu model Jepara dikelilingi pot-pot tanaman suplir. Di teras itu kami semua sering mengobrol dengannya tentang segala hal: kuliah, film, buku, LK, dan tentu saja curhat teman-teman tentang pacar-memacar.
Berapa tahun yang lalu aku terakhir menginjakkan kakiku di rumah ini? Aku tak pernah lagi berkunjung setelah dia harus pergi ke Amerika untuk studi S3 lima tahun yang lalu. Aku waktu itu masih kuliah tahun ketiga. Aku ingat kami mengadakan pesta perpisahan untuknya, dua minggu sebelum dia berangkat. Kecil-kecilan saja, cuma teman-teman fungsionaris, ditemani satu krat teh botol dan gorengan serba sederhana. Kami menghabiskan lima jam, bicara segala hal, berkelakar sana sini, dan berjanji untuk berkabar. Namun janji itu tak terlalu ditepati. Kami semua sibuk dengan urusan masing-masing. Apalagi setelah kami semua lulus, kami seperti daun yang tertiup angin ke segala arah, melanjutkan hidup kami masing-masing. Dan lupalah kami untuk berkabar, kecuali sesekali meninggalkan komentar di dinding facebook satu sama lain.
Yang mungkin teman-teman LK tidak tahu adalah aku kembali lagi ke rumah ini dua hari setelah acara pesta perpisahan itu. Entah apa yang menggerakkanku untuk melajukan motorku di sore itu ke rumahnya. Mungkin saat itu tanpa sadar aku sudah terpikat olehnya.
Masa Kini
"Eh, Abang. Tumben sore-sore. Sendiri?"
"Iya, sendiri, Bu. Maaf aku mengganggu."
"Oh, enggak kok. Duduk sini."
Dan beberapa menit kemudian aku terdiam. Tidak tahu mau omong apa, karena aku sendiri tak tahu kenapa motorku bisa begitu saja melaju kemari. Lalu dia mulai bicara, dan aku menjawab, menimpali, tertawa pada leluconnya, terinspirasi oleh idealismenya. Dia bicara soal musik yang digemarinya, soal puisi-puisi yang ditulisnya, soal buku-buku yang dibacanya, soal proyeknya mengajar anak-anak desa, soal politik negeri ini, soal mimpinya membuat perpustakaan keliling. Aku bicara soal film yang kusukai, soal kuliahku yang mentok entah kemana, soal proyek penulisan naskah dramaku yang macet, tentang perjalanan-perjalanan yang kulakukan di masa lalu ke berbagai kota dengan mengendarai motor. Dan tentang keluargaku, ayahku si perantau yang tak segan-segan merotan anak-anaknya yang nakal, ibuku yang lembut hati dan selalu khawatir kalau aku naik gunung atau pulang larut, tentang adik-adikku yang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Dan tentang kisahku dengan Via yang hingga kini aku masih tetap terluka. Soal film, kuliah, proyek menulis naskah, dan perjalanan mungkin adalah hal-hal yang aku anggap wajar untuk kuceritakan, terlebih untuk mengatasi kekakuan pembicaraan dengannya. Tapi entah kenapa, aku ringan saja berbagi tentang keluargaku. Dan rasanya nyaman saja bicara dengannya soal Via.
Enam jam berlalu secepat angin. Hingga tengah malam.
Masa Depan
Aku menginginkan dia. Tak pernah ada yang lain sejak pertemuan terakhir kami. Dan malam ini aku akan menyatakan bahwa aku mencintai dia. Bukan sebagai Ibu Rena, tetapi sebagai Rena saja. Perempuan yang kukagumi. Perempuan yang mengertiku. Perempuanku.
Malam ini akan kuakhiri segala keragu-raguan yang kujalani selama lima tahun belakangan. Aku bahkan tak perduli kalau perasaanku tak berbalas. Itu urusan belakangan. Mungkin jawaban dia tak akan sama dengan jawabanku, tapi itulah hidup, sebagaimana dia katakan di kelas pertamanya denganku.
Aku tahu kau pasti berpikir bahwa aku telah gila. Ada jarak umur sepuluh tahun di antara kami. Belum lagi kau pasti mendebatku bahwa tak seharusnya seorang bekas mahasiswa mencintai dosennya. Tapi aku tak perduli.
Cinta takkan salah. Begitu dendang Band Kahitna. Begitu pula kumempercayainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H