Pohon natal merupakan ikon penting dalam dekorasi perayaan natal di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur secara khusus di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Hampir tidak pernah ditemukan, orang-orang merayakan natal tanpa pohon natal.
Umumnya pohon natal terbuat dari bahan-bahan seperti batang pisang, batang pohon, bambu, cemara hutan dan sejenisnya. Bahan dasar seperti ini dihiasi dengan pernak-pernik natal seperti lilin, kembang api, balon dan sebagainya untuk menambah estetika.
Saat ini, ada juga yang membuat pohon natal dari sampah seperti botol bekas. Botol bekas yang digunakan diberi pewarna dan lampu hias sebagai pemanis. Pembuatan pohon natal dari sampah ini adalah anti-mainstream dengan tujuan memberikan pelajaran dalam mengelola sampah.
Pada tahun ini, salah satu Gereja di Pulau Timor membuat pohon natal anti-mainstream. Gereja yang terletak di Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan ini membuat pohon natal kontekstual dari pangan lokal atoin meto di Kabupaten TTS.
Foto pohon natal ini diupload oleh seorang Vicaris (calon pendeta) di akun facebooknya yang cukup menarik perhatian netizen.
Bahan-bahan yang digunakan adalah bonsai kelapa, buah kelapa kering, pisang dan jagung. Kemudian dihiasi dengan sebuah kerajinan tangan (tobe') atoin meto dan lilin dengan susunan dan penataan yang menarik di pandang mata.
Sejak dulu hingga kini masyarakat di Kecamatan Kuanfatu menjadikan pisang (uki') jagung (pena'), ubi kayu (laku') dan kelapa (noah') sebagai makanan pokok dan alternatif yang dikonsumsi setiap hari. Jagung bisa diolah menjadi jagung bose, jagung goreng, jagung bakar dan nasi jagung.
Singkong dikonsumsi dengan cara direbus dan dibakar. Selain itu, bisa diolah menjadi onde-onde rebus dan daunnya untuk sayuran. Pisang pun demikian, bisa direbus, dibakar, digoreng menjadi kue atau keripik serta jantungnya dijadikan sebagai sayur. Sementara kelapa sebagai bahan pembuatan minyak goreng dan untuk pembuatan santan.
Banyak versi makanan yang tidak bisa disebutkan satu persatu tetapi ini cukup menggambarkan bahwa komoditas-komoditas ini menjadi makanan pokok masyarakat selama bertahun-tahun.Â
Nah, pembuatan pohon natal menggunakan pangan lokal bukan hanya sebatas anti-mainstream lalu viral tetapi ada pesan yang hendak disampaikan oleh gereja melalui pohon natal. Mengingat power gereja di Pulau Timor sangat kuat sehingga peran gereja dalam membantu menyelesaikan isu-isu sosial sangat-sangat dibutuhkan.
Terutama masalah stunting. Jika kita berbicara stunting di Indonesia maka jantungnya ada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam lingkup provinsi, penyumbang stunting terbesar adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Berdasarkan data Riskesdas, sejak tahun 2007, stunting di Kabupaten TTS sebesar 57 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan prevalensi nasional sebesar 37 persen.[1] Angka ini perlahan turun hingga pada Agustus 2021, kemarin, Jumlah kasus stunting di TTS sebanyak 13.117 anak atau sebesar 32,2 persen. [2]
Perjuangan penurunan angka stunting berdasarkan strategi nasional dengan salah satu pilar programnya adalah ketahanan pangan dan gizi. Ketahanan pangan adalah bagaimana mempertahankan makanan yang tersedia sesuai dengan kearifan lokal dan potensi daerah atoin meto di TTS untuk dimanfaatkan dikonsumsi oleh masyarakat.
Karena itu, pohon natal yang dikerjakan oleh GMIT Syalom Kuanfatu merupakan ajang promosi pangan lokal kepada masyarakat untuk kembali mencintai pangan lokal yang disebut oleh Kompasianer, Harry Dethan sulit dinikmati selama ini karena terhalang oleh gengsi.
Karena gereja memiliki power yang bisa merubah pola pikir masyarakat, bukan tidak mungkin rasa cinta terhadap pangan lokal yang kaya akan gizi kembali tumbuh. Sehingga optimisme dalam upaya pencegahan stunting di Kabupaten TTS tetap ada.
Salam!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI