Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Polisi Melarang Peliputan Saat Rekonstruksi Pembunuhan Ibu dan Anak di NTT?

22 Desember 2021   04:27 Diperbarui: 22 Desember 2021   04:27 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reka adegan pembunuhan Astri dan bayinya di Kupang, NTT, Selasa (21/12/21). via kompas.com

Ada maksud tersembunyi dari oknum tersebut, ia ingin kontrol masyarakat terhadap kasus ini dikurangi bahkan tidak ada.

Tepat 21 Desember 2021, Polda NTT menggelar rekonstruksi kasus pembunuhan ibu dan anak di beberapa titik Tempat Kejadian Perkara (TKP). Rekonstruksi ini adalah bagian dari penyelidikan kepolisian guna memastikan perbuatan pelaku. Apakah pelaku mengatakan sejujurnya atau masih menyembunyikan motif-motif tertentu?

Dalam sebuah proses rekonstruksi, dapat dilakukan secara terbuka maupun tertutup. Pelaksanaan rekonstruksi secara terbuka maupun tertutup berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang dari pihak kepolisian, tentunya dengan dasar hukum yang jelas sesuai dengan standar operasional kepolisian.

Secara khusus untuk kasus pembunuhan ini, rekonstruksi dilakukan secara terbuka yang berarti membuka keluasan kepada publik untuk ikut menyaksikan jalannya rekonstruksi. Akan tetapi, rekonstruksi terbuka memiliki margin yang patut ditaati oleh masyarakat.

Polisi memasang garis polisi di setiap titik rekonstruksi sebagai larangan memasuki area peragaan agar dalam prosesnya tidak terhalang oleh massa. Garis polisi dibantu dengan kehadiran personil bersenjata untuk melindungi tersangka dari sesuatu yang tidak diinginkan, mengingat kasus ini mendapat kecaman dari masyarakat luas.

Akan tetapi, tidak ada batasan kepada masyarakat yang ingin menyaksikan dan media untuk liput. Artinya media diizinkan meliput rekonstruksi dari awal sampai akhir untuk kepentingan publikasi. Masyarakat yang berkepentingan seperti keluarga wajib menyaksikan, mengambil gambar maupun video. 

Mengapa? Jika dikemudian hari, keluarga korban tidak menerima keputusan hakim menghukum tersangka maka keluarga dapat menggunakan foto atau video rekonstruksi sebagai alat pembuktian untuk mengajukan hukum banding.

Namun yang terjadi di lapangan membuat kening berkerut dan menaikkan tensi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam tayangan visual salah satu media lokal Nusa Tenggara Timur, Pos Kupang merekam perlakuan aneh seorang polisi terhadap awak media.

Dalam tayangan tersebut menunjukkan seorang polisi melarang wartawan Pos Kupang untuk merekam atau meliput rekonstruksi kasus pembunuhan terhadap Astrid dan Lael, bahkan ada ancaman penyitaan kamera maupun smartphone.

Dalam tayangan lain, warga yang ikut menyaksikan rekonstruksi di TKP dilarang untuk mengambil gambar maupun video, bahkan hampir terjadi perebutan smartphone antara seorang warga dan seorang polwan.

Meskipun pada akhirnya media diizinkan untuk meliput semua proses rekonstruksi, justru larangan ini menuai kecaman dari netizen lokal di NTT. Bahwa polisi tanpa sadar berupaya untuk mengebiri kebebasan pers yang sudah diizinkan oleh Presiden Habibie sejak era reformasi.

Polisi juga terkesan membatasi keluarga dan masyarakat yang perhatian dengan kasus ini untuk mengambil gambar maupun video yang tentunya dapat dijadikan sebagai alat pembuktian hukum oleh keluarga di meja persidangan kasus (baca: pra-rekonstruksi).

Menarik, setelah video larangan ini viral dan menuai kecaman dari masyarakat. Kabid Humas Polda NTT mendatangi Pos Kupang dan mengklarifikasi bahwa tidak ada larangan terhadap awak media untuk meliput rekonstruksi kasus.

Namun, ada beberapa oknum mengaku sebagai wartawan untuk mengambil gambar maupun video. Artinya dalam rekonstruksi ini ada margin atau batasan terhadap masyarakat dalam hal peliputan yang berpotensi melanggar hak asasi seseorang.

Tetapi disini juga letak kesalahan kepolisian. Seharusnya polisi menetapkan aturan-aturan yang jelas di TKP agar dipahami oleh masyarakat bahwa ada batasan yang harus dipatuhi meskipun rekonstruksi dilakukan secara terbuka. Karena, masyarakat memahami rekonstruksi terbuka sebagai sebuah kebebasan melihat, mengambil gambar maupun video.

Jika ada larangan bagi masyarakat, keluarga korban dapat diizinkan untuk mengambil gambar dan video. Sekali lagi untuk kepentingan pembuktian di meja hakim dan dalam hukum pidana mengizinkan itu.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa polisi melakukan hal tersebut? Terdapat dua hal yang dianalisa penulis.

Pertama, polisi tidak paham.

Berdasarkan kronologi kejadian ini maka penulis menyimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak memahami tentang pers. Sejak era reformasi, dibawah kepemimpinan Presiden Habibie, pers diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 99. Secara khusus dalam pasal 4 ayat 1 mengatur tentang kebebasan pers.

Setiap orang yang menyandang status sebagai seorang polisi harusnya memahami tentang kebebasan pers, termasuk kebebasan berpendapat maupun berekspresi. Karena ketika kebebasan dipahami maka ada rasa hormat kepada pers untuk melakukan tugasnya.

Toh, sejak era reformasi, kebebasan pers terbukti membantu mewujudkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih, meskipun belum seratus persen. Tetapi, dengan adanya kebebasan pers, masyarakat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja kepolisian, sehingga mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan tetap ada sehingga potensi kembalinya orde baru tidak terjadi.

Kehadiran masyarakat juga sejatinya berusaha untuk mengontrol kinerja kepolisian yang akhir-akhir ini #PercumaLaporPolisi. Jadi ketika pers dan masyarakat tidak diberi ruang maka selain tidak paham, ada maksud tersembunyi dari oknum tersebut, ia ingin kontrol masyarakat terhadap kasus ini dikurangi bahkan tidak ada.

Kedua, patuh dan tidak patuh

Berdasarkan klarifikasi Kabid Humas Polda NTT, dapat dikatakan bahwa oknum polisi yang melakukan larangan tersebut adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap perintah atasan. Perilaku tersebut adalah tindakan pembodohan kepada masyarakat yang dianggap tidak mengerti peraturan di negeri ini.

Masyarakat kita cenderung mengenal polisi sebagai orang yang paling paham tentang aturan sehingga apapun yang dilarang polisi harus dipatuhi. Padahal polisi bisa juga tidak paham dengan hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku.

Meskipun tidak selamanya perbuatan bawahan dilakukan atas perintah atasan, bukan tidak mungkin anggota polisi yang melarang peliputan melakukan perintah pemimpin. Hal ini diakui oleh salah satu pelaku (polwan) dalam sebuah postingan klarifikasi di media sosial bahwa yang ia lakukan hanyalah sebuah kepatuhan terhadap perintah atasan.

Mungkin inilah yang dimaksud oleh Kapolri Jenderal Listyo bahwa ikan busuk dari kepala. Jadi kelakuan oknum polisi hari ini menunjukkan kepemimpinan kepolisian daerah di NTT. Masih ada benih-benih orde baru, melecehkan kebebasan pers, masih anti kritik dan sebagainya.

Hal-hal ini yang harus dievaluasi oleh kepolisian karena terdapat sesuatu yang tidak beres dalam sistem, masih diisi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dengan nama baik institusi. 

Salam Bapak Kapolri, Jenderal Listyo

Referensi:

Rekaman Video di Akun Resmi Fans Page Pos Kupang

Klarifikasi Polda NTT Terkait Video Viral Oknum Polisi Larang Rekam & Ancam Sita HP Wartawan

Oknum Polisi Larang & Ancam Sita HP Wartawan yang Rekam Rekonstruksi Pembunuhan di Penkase

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun