Meskipun pada akhirnya media diizinkan untuk meliput semua proses rekonstruksi, justru larangan ini menuai kecaman dari netizen lokal di NTT. Bahwa polisi tanpa sadar berupaya untuk mengebiri kebebasan pers yang sudah diizinkan oleh Presiden Habibie sejak era reformasi.
Polisi juga terkesan membatasi keluarga dan masyarakat yang perhatian dengan kasus ini untuk mengambil gambar maupun video yang tentunya dapat dijadikan sebagai alat pembuktian hukum oleh keluarga di meja persidangan kasus (baca: pra-rekonstruksi).
Menarik, setelah video larangan ini viral dan menuai kecaman dari masyarakat. Kabid Humas Polda NTT mendatangi Pos Kupang dan mengklarifikasi bahwa tidak ada larangan terhadap awak media untuk meliput rekonstruksi kasus.
Namun, ada beberapa oknum mengaku sebagai wartawan untuk mengambil gambar maupun video. Artinya dalam rekonstruksi ini ada margin atau batasan terhadap masyarakat dalam hal peliputan yang berpotensi melanggar hak asasi seseorang.
Tetapi disini juga letak kesalahan kepolisian. Seharusnya polisi menetapkan aturan-aturan yang jelas di TKP agar dipahami oleh masyarakat bahwa ada batasan yang harus dipatuhi meskipun rekonstruksi dilakukan secara terbuka. Karena, masyarakat memahami rekonstruksi terbuka sebagai sebuah kebebasan melihat, mengambil gambar maupun video.
Jika ada larangan bagi masyarakat, keluarga korban dapat diizinkan untuk mengambil gambar dan video. Sekali lagi untuk kepentingan pembuktian di meja hakim dan dalam hukum pidana mengizinkan itu.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa polisi melakukan hal tersebut? Terdapat dua hal yang dianalisa penulis.
Pertama, polisi tidak paham.
Berdasarkan kronologi kejadian ini maka penulis menyimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak memahami tentang pers. Sejak era reformasi, dibawah kepemimpinan Presiden Habibie, pers diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 99. Secara khusus dalam pasal 4 ayat 1 mengatur tentang kebebasan pers.
Setiap orang yang menyandang status sebagai seorang polisi harusnya memahami tentang kebebasan pers, termasuk kebebasan berpendapat maupun berekspresi. Karena ketika kebebasan dipahami maka ada rasa hormat kepada pers untuk melakukan tugasnya.
Toh, sejak era reformasi, kebebasan pers terbukti membantu mewujudkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih, meskipun belum seratus persen. Tetapi, dengan adanya kebebasan pers, masyarakat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja kepolisian, sehingga mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan tetap ada sehingga potensi kembalinya orde baru tidak terjadi.