Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Banu, Hukum Adat Konservasi Lingkungan Hidup Suku Dawan (Timor)

23 April 2021   21:28 Diperbarui: 8 November 2021   12:29 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perlindungan lingkungan hidup | Pixabay

Sejatinya, bagi manusia, sumber daya alam adalah sebuah komponen penting yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, manusia pada hakikatnya memiliki naluri untuk mengelola sumber daya alam dengan bijaksana agar lingkungan tetap lestari.

Namun, tak dapat dimungkiri, ketika ketamakan menguasai hati manusia, pengelolaan sumber daya alam akan mengarah pada eksploitasi yang mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem, beberapa spesies dan keanekaragaman hayati terancam punah, hilangnya habitat-habitat yang sulit untuk digantikan dan pertumbuhan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia akan semakin lambat bahkan suatu saat akan hilang.

Negara melihat potensi terjadinya eksploitasi sumber daya alam sebagai sebuah ancaman serius bagi pelestarian lingkungan hidup. Karena itu, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dibentuk sebagai sebuah payung untuk melindungi lingkungan hidup.

Akan tetapi, jauh sebelum negara melihat hal itu dan membentuk undang-undang konservasi, masyarakat Suku Atoni (Atoin Meto) di Pulau Timor memiliki hukum adat untuk konservasi sumber daya alam yang dikelola sebagai kebutuhan manusia, hutan, dan segala sesuatu yang menjadi penopang hidup manusia.

Hukum adat tersebut dikenal dengan istilah Banu yang berarti larangan terhadap berbagai aktivitas yang berhubungan dengan sumber daya alam seperti flora dan fauna. 

Keberadaan hukum adat bermula dari kesadaran nenek moyang Suku Atoni yang melihat potensi penggunaan sumber daya alam berlebihan atau mengarah pada eksploitasi.

Namun Banu tidak bersifat permanen. Banu hanyalah hukum yang mengontrol perilaku manusia dalam mengelola sumber daya alam.

Terdapat dua tahap dalam hukum adat Banu. Pertama, Saeba Banu (Banu Naik) yang berarti ritual menandai seluruh aktivitas pengelolaan sumber daya alam dihentikan. Kedua, Sanu Banu (Banu Turun) yang berarti ritual menandai seluruh aktivitas pengelolaan sumber daya alam dilakukan.

Misalnya di daerah penulis, khususnya Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan menerapkan Banu untuk pinang. Bagi Suku Atoni, pinang tak hanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi tetapi juga memiliki nilai adat sebagai simbol penghargaan yang tidak dapat dilepas dari kehidupan Atoin Meto.

Karena itu, Banu diperlukan untuk melindungi pinang dari ancaman ekploitasi atau perilaku manusia yang mengancam eksistensi pinang di wilayah kekuasaan masyarakat Suku Atoni.

Pada saat musim pinang berbuah muda maka Saeba Banu dilakukan sampai dengan Sanu Banu yang dilakukan pada saat pinang siap dipanen. Selama Banu diterapkan, tidak ada seorang pun diizinkan untuk mengambil pinang. Jika ada yang melanggar maka akan dikenakan sanksi dan denda adat yang sangat berat.

Di tempat lain menerapkan Banu untuk melindungi segala jenis sumber daya alam yang terdapat di hutan dan lain sebagainya tergantung potensi alam daerah masing-masing. Intinya semua masyarakat Atoni menerapkan Banu tetapi penerapan di setiap kampung berbeda-beda tergantung sumber daya alam yang dimiliki.

Banu tidak bersifat permanen karena bagi masyarakat Atoni, alam adalah ibu yang menyusui dan memberi makan sehingga sewaktu-waktu sumber daya alam tersebut diambil untuk kebutuhan manusia. Meski demikian, tidak ada eksploitasi yang mengancam ekosistem karena Banu mengontrolnya dengan baik.

Dalam ritual Saeba Banu dan Sanu Banu biasanya ditandai dengan penyembelihan ternak sapi atau babi tergantung kebiasaan setiap kampung. 

Jika babi yang disembelih maka tulang rahang atas akan diambil dan dipaku di satu pohon tempat ritual Banu berlangsung. Dan sebaliknya, jika sapi yang disembelih maka tanduknya akan diambil dan dipaku di satu pohon tempat ritual Banu berlangsung.

Di beberapa tempat, jenis, dan ukuran sapi atau babi berkaitan dengan sanksi yang bakal diterima masyarakat yang melanggar. Makin besar sapi dan rahang yang dipaku di pohon, sanksi bagi pelanggar ritual Banu juga sebanding dengan itu tetapi sudah disepakati bersama, berapa banyak denda yang harus dibayar jika Banu dilanggar.  

Di beberapa tempat, menyembelih hewan pada saat ritual Saeba Banu dan Sanu Banu bukan sebuah kewajiban. Sanksi dan denda adat sesuai dengan kesepakatan. Biasanya denda masuk dalam pendapatan asli desa atau dibagi untuk seluruh masyarakat tergantung kesepakatan sosial dalam masyarakat itu sendiri.

Bagi penulis Banu adalah hukum konservasi adat yang sangat baik untuk terus-menerus dipupuk. Di Kecamatan Kuanfatu, bersama dengan Wahana Visi Indonesia (WVI), Banu digunakan untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual. 

Namun, yang menjadi catatan adalah Banu untuk perlindungan perempuan bersifat permanen atau bukan sekadar alat kontrol yang sewaktu-waktu dicabut.

Salam!!!

Oebo, 23 April 2021

Neno Anderias Salukh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun