Jati diri atau identitas merupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu suku yang menjadi penanda jati diri orang, atau kelompok suku tersebut. Seperti Suku Dawan di Pulau Timor yang memiliki bahasa (Uab Meto) sebagai identitasnya. Tetapi, identitas Suku Dawan bukan hanya bahasa tetapi cara dan kebiasaan bertahan hidup.
Sejak zaman dahulu, bertani sekaligus beternak merupakam identitas masyarakat Suku Dawan di Pulau Timor. Apapun profesinya, orang Dawan masih meluangkan waktu untuk bekerja di kebun atau sawah sekaligus merawat ternak-ternaknya, baik itu sapi, kambing, dan lain sebagainya.
Bertani dan beternak lebih dari sekadar profesi, lebih dari sekadar pekerjaan, lebih dari sekedar tugas. Kalau mau subjektif, bertani dan beternak sudah menjadi nafas hidup orang Dawan. Artinya tidak ada alasan untuk tidak bertani dan beternak selagi masih hidup.
Pertanian dan peternakan adalah sumber kehidupan dalam filosofi kehidupan orang Dawan. Seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang perempuan wajib memiliki kebun dan memelihara ternak; begitupun seorang perempuan yang siap dinikahi tidak hanya tahu menenun tapi pandai mengatur hasil makanan dalam rumah bulat.
Karena itu, pengenalan identitas sebagai petani dan peternak merupakan pendidikan pertama dan yang terutama dalam mendidik seorang anak agar kelak menjadi petani dan peternak yang ulet, yang setidaknya buah jatuh tidak jauh dari pohon; anak-anak jadi pekerja; rajin seperti orang tuanya dalam mengurus kebun dan memelihara ternak.
Pendidikan pengenalan identitas dimulai sejak anak dilahirkan!
Hampir semua tradisi menyarankan agar ari-ari seorang bayi harus ditanam. Ada yang percaya bahwa ari-ari harus ditanam di sekitar halaman rumah, ada yang percaya bahwa ari-ari harus ditanam di haman rumah mertua, ada yang percaya bahwa makam ari-ari harus diberi lampu selama beberapa bulan dan masih banyak kepercayaan-kepercayaan lainnya.
Sedangkan orang Dawan memiliki kebiasaan menanam ari-ari berbarengan dengan sebuah tanaman perkebunan dalam satu lubang. Di kampung saya paling banyak menggunakan pohon kelapa untuk mewakili tanaman-tanaman perkebunan atau mamar orang Dawan.
Ada yang menggunakan pinang, ada juga yang menggunakan kemiri. Kemudian pohon atau tanaman tersebut akan menjadi milik si bayi meskipun bukan ia yang menanamnya.
Kebiasaan ini bukan tanpa makna. Orang Dawan percaya bahwa ari-ari yang menjadi makanan bayi selama masih di kandungan diharapkan terus menjamin kelangsungan hidup bayi tersebut ketika beranjak dewasa melalui hasil pertanian.
Saat itu pula, anak tersebut mendapat hadiah ternak yang akan menjadi miliknya. Misalnya sapi atau ayam sekalipun. Dalam masa tumbuhnya, ia terus diberitahu ternak mana, ternak apa, pohon apa dan pohon mana yang menjadi miliknya.
Ketika anak sudah bertumbuh dan mulai mengerti, orangtua menggendong anak atau meletakan anak di atas bahu lalu menanam tanaman-tanaman perkebunan. Kemudian tanaman-tanaman itu menjadi milik anak tersebut.
Kebiasaan ini dilakukan agar anak-anak mengenal cara menanam sejak kecil sehingga ketika beranjak dewasa ia bisa menanam sendiri tanpa bimbingan orangtua. Anak-anak pun diajarkan memberi makan ternak dan menggembalakan ternak dari kecil.
Harapannya adalah anak-anak tumbuh dengan pengenalan terhadap sebuah hal yang merupakan kewajiban mereka, mengenal potensi yang mereka miliki dan mengenal identitas mereka sebagai petani dan peternak.
Akan tetapi, pada era global saat ini, pendidikan pengenalan jati diri ini sudah tidak diaplikasikan lagi. Orangtua cenderung menyerahkan anak ke sekolah sementara kearifan lokal tidak lagi menjadi kewajiban yang patut dilakukan.
Hari-hari ini, masyarakat Suku Dawan diperhadapkan dengan masalah serius. Migrasi anak muda besar-besaran ke kota besar, memilih menjadi kuli bangunan daripada bertani dan beternak.
Sementara negara mulai mengeluh karena akan terjadi krisis petani pada tahun-tahun mendatang.
Tulisan ini bukan untuk mencari kambing hitam tetapi menjadi refleksi bersama baik masyarakat Dawan maupun pemerintah. Bahwa apa yang harus dipertahankan dan apa yang harus dipelajari---bukan apa yang harus dihilangkan dan apa yang tidak boleh dipelajari.
Sejatinya, mengenal identitas adalah senjata kita melawan pengaruh modernisasi yang bukan tidak mungkin membawa dampak buruk bagi peradaban manusia.
Salam!!!
Timor Tengah Selatan, 19 Desember 2020
Neno Anderias Salukh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H