Selain karikatur Nabi Muhammad, frasa "terorisme Islam" yang keluar dari mulut Presiden Prancis Emmanuel Macron memicu kemarahan umat Islam di berbagai belahan dunia. Seruan memboikot produk-produk Prancis mewarnai berbagai macam aksi unjuk rasa--mengecam keganjalan kebebasan berpendapat (freedom of speech) yang dianut oleh negara beribukota Paris itu.
Pernyataan terorisme Islam ini dinilai sebagai ungkapan untuk mendukung Islamofobia di dunia. Seolah-olah Islam mengajarkan kelompok-kelompok tertentu untuk menjadi teroris. Sementara kejahatan terorisme tidak ada dalam ajaran agama Islam.
Lalu, Sejak kapan kalimat teroris Islam itu muncul?
Pasca kekalahan ISIS Maret 2019 lalu, saya menulis sebuah artikel tentang perkembangan ideologi ISIS. Bermula dari Gerakan Salafi yang mengembangkan Jihad Bersenjata sejak pertengahan tahun 1990-an, negara-negara Eropa mulai menghubungkan terorisme dan Islam.
Meski sempat mengalami kemunduran, Gerakan Salafi ini kemudian berkembang di Eropa melalui lembaga-lembaga keagamaan global, di antaranya universitas Islam internasional dan pembangunan masjid-masjid di Belgia, Swiss, Perancis, dan negara Eropa lain.
Karena gerakan ini cenderung menolak nilai-nilai Barat memilih memisahkan diri atau tidak membaur dengan komunitas Eropa. Bahkan, sebagian pengikut Salafi ini menyimpang dari arus utama gerakan Salafi dan memilih jalan yang lebih radikal, yaitu gerakan Jihadis.
Kemudian muncullah jaringan Jihadis lain yang berasal dari sayap militer FIS di Aljazair, kelompok radikal Tunisia bersenjata, dan kelompok radikal Maroko bersenjata yang lari ke Eropa dari negara masing-masing.
Gerakan-gerakan ini yang banyak melakukan serangan teror di Eropa pada 1990-an dan awal 2000-an. Seperti serangan terhadap stasiun Metro di Paris pada tahun 1995.
Kemudian generasi kedua dari kelompok-kelompok ini kembali berjejaring dengan kelompok yang sama di Timur Tengah seperti ISIS dan Front Al Nusra dan membentuk kekuatan baru di Eropa.
Seperti serangan Paris, November 2015, yang menewaskan 130 orang; serangan di Nice, Juli 2016; dan serangan Brussels, akhir 2016 lalu, yang menewaskan 34 orang dihubungkan dengan gerakan kelompok-kelompok tersebut.
Berdasarkan sejarah gerakan ini, penggunaan "terorisme Islam" mulai bermunculan di Eropa dan digunakan sebagai label untuk Islam. Kemudian berkembang menjadi sebuah wacana politik di kalangan akademisi yang kontra terhadap terorisme.
Akan tetapi, istilah terorisme Islam secara harfiah masih diperdebatkan hingga saat ini. Richard Jackson dalam jurnalnya berjudul Constructing Enemies: 'Islamic Terrorism' in Political and Academic Discourse mengungkapkan bahwa penyebutan terorisme Islam dalam diskursus politik di Barat, dinilai kontra-produktif dan terlalu dipolitisasi yang berpotensi merusak relasi antar kelompok masyarakat.
Karena itu, frasa terorisme Islam sensitif untuk digunakan dalam penyebutan serangan-serangan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Mereka hanyalah teroris yang kebetulan beragama Islam. Bahkan, kaum salafi yang disebut sebagai embrio Jihad Bersenjata pun pun tidak semuanya terlibat dalam kejahatan demikian.
Artinya bahwa terorisme tidak dapat dikait-kaitkan dengan agama karena tidak sedikit juga kaum terorisme yang menganut agama lain. Tidak sedikit juga, umat muslim menjadi korban keganasan terorisme yang mengatasnamakan Islam sendiri.
Meski demikian, kita akan sulit menghilangkan stigma terorisme terhadap Islam jika agenda-agenda politik beberapa kelompok teroris masih menggunakan Islam sebagai kuda tunggang untuk mencapai keinginan mereka.
Dalam ilmu psikologi, kita mengenal istilah stigma sosial yang berarti penolakan terhadap seseorang/kelompok oleh seseorang/kelompok karena adanya kepercayaan bahwa seseorang/kelompok tersebut melawan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Stigma sosial sangat sulit hilang. Ibarat harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama yang berarti segala perbuatan manusia, baik atau buruk, akan selalu diingat orang.
Mungkin frasa terorisme Islam itu akan hilang dalam wacana-wacana politik dan perdebatan-perdebatan sosial karena ketegangan dan kecaman dari berbagai pihak. Tetapi akan sulit hilang dalam benak masyarakat yang terlanjur membangun stereotip dan prasangka negatif itu.
Kesulitan hilang dari ingatan masyarakat lah yang akan sama seperti Presiden Macron. Sesekali akan terungkap di depan publik dan menuai protes besar-besaran. Karena itu, untuk menyelesaikan duduk persoalan ini, segala bentuk kejahatan yang mengatasnamakan agama di muka bumi ini harus dibasmi.
Salam!!!
Referensi: Satu; Dua; Tiga;
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H