Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kusa Nakaf, Tradisi "Paku Peti Mati" Suku Dawan (Timor)

21 Oktober 2020   11:07 Diperbarui: 22 Oktober 2020   06:55 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi paku peti mati merupakan bagian terpenting dalam upacara kematian masyarakat Dawan (Atoin Meto) di Pulau Timor. Tradisi paku peti mati ini familiar dalam kehidupan Atoin Meto dengan sebutan kusa nakaf. Kusa nakaf adalah Uab Meto yaitu kusa, metatesis dari kata kusat yang berarti paku dan nakaf yang berarti kepala.

Penting untuk orang awam, makna Kusa Nakaf secara leksikal berarti paku kepala. Sedangkan makna gramatikalnya adalah paku peti mati. Paku peti mati hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu sesuai dengan ketentuan tradisi.

Sejauh yang saya amati di sub suku Amanuban, saya menemukan dua macam tradisi paku peti mati. Perbedaannya tidak terletak pada makna tetapi terletak pada orang yang berhak melakukannya (memaku peti).

Pertama, teritorial Amanuban Tengah sampai dengan Amanuban Timur, orang yang berhak memaku peti adalah saudara perempuan atau saudara laki-laki, tergantung siapa yang meninggal. Misalnya si A (saudara perempuan) meninggal dunia maka yang berhak memaku peti adalah si B (saudara laki-laki). Begitupun sebaliknya, si B (saudara laki-laki) meninggal dunia maka yang berhak memaku peti adalah si A (suadara perempuan).

Lalu, bagaimana jika si A tidak memiliki saudara laki-laki dan sebaliknya si B tidak memiliki saudara perempuan? Kasus ini juga seringkali terjadi. 

Misalnya si A meninggal dunia maka yang berhak memaku peti adalah si C yang merupakan saudara sepupu laki-laki dari mama (anak laki-laki dari mama kecil (adik perempuan kandung ibunya si A) atau mama besar (kakak perempuan kandung ibunya si A)).

Begitupun sebaliknya, jika si B meninggal dunia maka yang berhak memaku peti adalah si D yang merupakan saudara sepupu perempuan dari mama (anak perempuan dari mama kecil (adik perempuan kandung ibunya si B) atau mama besar (kakak perempuan kandung ibunya si B)).

Istilah adatnya adalah nono mese ma fenu mese (memiliki satu garis keturunan).

Kedua, berbeda dengan teritorial Amanuban Tengah ke Amanuban Timur, di bagian Amanuban Selatan, orang yang berhak memaku peti adalah Atoin Amaf. Atoin Amaf ini merupakan suatu predikat yang diberikan kepada saudara laki-laki (tidak untuk perempuan).

Baca: Atoin Amaf, "Tuhan" dalam Tradisi Suku Dawan (Timor)

Misalnya si A (saudara perempuan) meninggal dunia maka yang berhak memaku peti adalah si B (saudara laki-laki/Atoin Amaf) tetapi tidak berlaku sebaliknya karena perempuan bukan Atoin Amaf.

Jika si B (saudara laki-laki) yang meninggal dunia maka saudara laki-laki dari ibunya si B yang berhak memaku peti. Saudara laki-laki dari ibunya si B selain disebut sebagai Atoin Amaf, ia menyandang predikat peut uf-bon uf (bapak pohon).

Rupanya, peut uf-bon uf juga masih memilki hak untuk memaku peti matinya si A jika ia belum menikah. Berbeda, jika si A menikah maka yang berhak adalah si B (saudara laki-laki). Dalam istilah adat Atoin Meto, natik ma nasap napoitan nako kuan ma bale. Ma nahakeb uim feu ma lop feu (sudah keluar dari rumah dan membentuk rumah tangga baru).

Peran peut uf-bon uf pada kasus yang pertama terjadi jika si A tidak memiliki saudara laki-laki maupun saudara sepupu laki-laki atau ibunya adalah anak perempuan tunggal. Dan sebaliknya jika si B tidak memiliki tidak memiliki saudara perempuan maupun saudara sepupu perempuan atau ibunya adalah anak perempuan tunggal.

Kembali ke kasus yang kedua. Bagaimana jika si A yang sudah menikah tidak memiliki saudara laki-laki? Atau istilah adatnya poin li feto?

Jika kasusnya demikian maka yang berhak memaku peti adalah si E, yang merupakan saudara sepupu laki-laki dari bapak (anak laki-laki dari bapak kecil (adik laki-laki kandung bapaknya si A) atau bapak besar (kakak laki-laki kandung bapaknya si A)).

***

Biasanya, mereka yang berhak atau memiliki wewenang untuk memaku peti mati diberikan kesempatan untuk menjadi orang pertama yang memaku peti mati di bagian kepala sebagai simbol kemudian dilanjutkan oleh yang lain. Jika ia tidak hadir maka otomatis jenasah belum bisa dimakamkan karena tidak ada yang berani memaku peti.

Mereka yang berhak memaku peti akan datang melayat secara adat dengan barang bawaan yang lebih banyak atau lebih besar dari orang lain. Kemudian sebagai penghargaan, mereka yang memaku peti mati mendapatkan sejumlah uang, mamar, sebidang tanah, barang berharga atau apapun itu dari keluarga yang berdukacita. Akan tetapi, harta benda yang diberikan tidak menjadi ukuran.

Pemberian ini bersifat wajib dan sakral. Orang Dawan percaya bahwa jika penghargaan kusa nakaf tidak diberikan maka keluarga yang bersangkutan akan mendapat tantangan seperti sakit penyakit bahkan kematian.

Kusa nakaf dipandang sangat baik dalam perspektif kekeluargaan. Bahwa kematian tidak mengakhiri rasa kekeluargaan, kematian tidak memutus hubungan darah, kematian tidak memotong hubungan tali pusat.

Anak-anak tanpa sadar diajarkan untuk mengenal keluarga dari ayah maupun ibu, terlebih asal usul klan mereka (peut uf-bon uf). Kemudian asal-usul klan dan hubungan kekerabatan dituturkan kepada generasi muda yang dikenal dengan istilah (pi'o naof).

Kebiasaan ini dianggap memiliki peran penting dalam upaya mencegah kemungkinan melanggar hukum "Moen Lanan ma Fe Lanan" dalam pencarian pasangan hidup (suami maupun istri). Siapa yang harus dinikahi dan siapa yang tidak boleh dinikahi.

Baca: "Moen Lanan ma Fe Lanan", Tradisi Perkawinan Sepupu Suku Dawan (Timor)

Kebiasaan ini jugamencegah ketimpangan gender. Artinya tidak ada yang memiliki kedudukan lebih tinggi atau terhormat diantara keturunan dari pihak bapak maupun keturunan dari pihak ibu. Ini melengkapi status perempuan Dawan sebagai "ibu bagi kehidupan".

Catatan: tulisan ini lahir dari sebuah pengamatan etnografi di tempat lahir penulis, sub suku Amanuban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun