Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Vanuatu Ngotot Bela Papua?

1 Oktober 2020   10:49 Diperbarui: 1 Oktober 2020   15:14 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari semua negara yang berada di bawah payung ras Melanesia, Vanuatu merupakan satu-satunya negara yang kerapkali mengkritik Indonesia terkait dengan dugaan pelanggaran HAM di Papua. Mengapa?

Pemerintah Indonesia menetapkan setidaknya tiga kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua. Diantaranya peristiwa Wasior pada tahun 2001, peristiwa Wamena 2003 dan peristiwa Paniai 2014. Akan tetapi, kasus pelanggaran HAM di Papua sudah terjadi sejak tahun 1996 yaitu kasus penyanderaan Mapenduma dan pada tahun 1998 terjadi kerusuhan di Biak Numfor.

Dilansir dari BBC, pada tahun 2016, Pemerintah Indonesia berjanji akan menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua termasuk beberapa kasus yang saya sebutkan di atas.

Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih diberi kewenangan untuk menyelesaikan empat kasus dugaan pelanggaran HAM. Sedangkan Mabes Polri, Kejaksaan Agung, serta Komnas HAM menyelesaikan lima kasus dan kasus lainnya diselesaikan secara politik.

Meski demikian, meminjam kata-kata Sekretaris II Dewan Adat Papua John NR Gobai dalam sebuah diskusi berjudul "Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Papua" pada 18 Juni 2020, penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua ibarat merebus batu. Melakukan pekerjaan yang sia-sia.

Bagaimana tidak, kejaksaan Agung (Kejagung) sudah dua kali mengembalikan berkas penyelidikan peristiwa Paniai yang merupakan salah satu pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM. Bukan hanya itu, penyelidikan dua kasus berat lainnya seperti kasus Wasior Berdarah pada 2001 dan Wamena Berdarah pada 2003 juga belum rampung hingga saat ini.

Janji pemerintah terkait dengan penyelesaian kasus ini selalu menjadi pelengkap kopi. Manis tapi juga pahit. Masyarakat secara perlahan apatis dengan upaya pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

Hari ini, adalah sebuah kewajaran jika masyarakat Indonesia menilai bahwa pemerintah gagal total dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Adalah sebuah kewajaran ketika mahasiswa Papua melakukan demonstrasi penuntutan penyelesaian masalah.

Sementara Vanuatu menjadi salah satu negara anggota PBB yang konsisten mengkritik Indonesia di setiap Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB). Konsistensi kritikan Vanuatu bersamaan dengan janji pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan Papua.

Lalu, apakah tindakan Vanuatu adalah sebuah kewajaran? Mengapa Vanuatu bela Papua?

Tentunya, kasus pelanggaran HAM berat di Papua menjadi alasan mendasar pembelaan Vanuatu. Tetapi, tidak sedikit orang akan sepakat dengan jawaban Silvany Austin Pasaribu, diplomat muda Indonesia di PTRI New York bahwa adalah hal yang memalukan jika negara lain terus memiliki obsesi tidak sehat yang berlebihan tentang bagaimana seharusnya suatu negara bertindak atau memerintah negaranya sendiri.

"Sangat memalukan bahwa negara satu ini (Vanuatu) selalu memiliki obsesi berlebihan mengenai bagaimana Indonesia bertindak atau memerintah negaranya sendiri," tuding Silvany Austin Pasaribu, diplomat muda Indonesia di PTRI New York dalam rekaman video pendek dari KompasTV.

Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah mengapa hanya Vanuatu yang kerapkali mengkritik Indonesia terkait dengan dugaan kasus pelanggaran HAM di Papua? Sementara negara Melanesia lainnya sudah memilih diam.

Berangkat dari pemikiran Pastor Walter Lini, Perdana Menteri pertama Vanuatu. Kasus pelanggaran HAM berat di Papua benar-benar bertolak belakang dengan ideologi Sosialisme Melanesia yang ia bangun.

Dimana Kepemilikan sumber daya alam dan akses pada tanah dalam budaya bangsa Papua adalah milik komunal berbasis klen. Tiap klen dalam suatu etnik dan areal kultural memiliki batas-batas tanah dan teritorial jelas dan tegas.

Sementara wajah Papua yang tampak di pelupuk mata Vanuatu adalah kapitalisme yang merampas tanah rakyat dan degredasi hutan demi kepentingan negara dan kekuasaan.

Hal ini terjadi pada peristiwa Wasior 2001. Menurut laopran Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) perusahaan kayu PT Vatika Papuana Perkasa dianggap warga mengingkari kesepakatan yang dibuat untuk masyarakat.

Masyarakat terus mengekspresikan tuntutan mereka dengan menahan speed boat milik perusahaan sebagai jaminan. Tetapi, respon perusahaan yang mengandalkan aparat menjadi titik api peristiwa ini.

Kelompok TPN/OPM yang tidak menerima respon perusahaan menyerang sehingga menewaskan lima orang anggota Brimob dan seorang karyawan perusahaan PT VPP serta membawa kabur enam pucuk senjata milik anggota Brimob bersama peluru dan magazennya.

Masalah ini menunjukkan bahwa ada kapitalisme yang bertentangan dengan hakikat Sosialisme Melanesia yang digagas oleh mantan perdana menteri Vanuatu itu. Kemudian ketika pelanggaran HAM terus terjadi dan pembangunan yang semakin tidak adil bagi tanah Papua, Vanuatu sebagai salah satu anggota PBB memiliki hak bicara untuk menyerang Indonesia.

Menurutnya, masyarakat Papua yang merupakan bagian dari etnis Melanesia harus mendapatkan kemerdekaan. Pesan khusus ini sempat diunggah oleh Veronica Koman di akun Twitternya menggambarkan betapa pedulinya Pastor Lini kepada orang Papua.

Alm Walter Lini, bapak bangsa sekaligus Perdana Menteri pertama Vanuatu, pernah berikrar bahwa Vanuatu belum merdeka bila masih ada saudara Melanesia yang dijajah atau hidup di bawah penindasan bangsa lain.--- Veronica Koman (@VeronicaKoman) 29 September 2020

Bukan hanya Papua, pada saat itu, Vanuatu dibawah Pastor Lini memberikan dukungan penuh kepada gerakan kemerdekaan pribumi Kanak di Kaledonia Baru. Vanuatu juga menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang mendukung kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia dengan dalih persamaan ras (Melanesian Brotherhood).

Kini dengan ideologi Sosialisme Melanesia dan dalih Melanesian Brotherhood, Vanuatu terus menyerang Indonesia di setiap sidang PBB.

Tentunya, tindakan tersebut merupakan sebuah hal yang memalukan (shameful) dan juga sebuah kebebalan (ignorant) sebagaimana tanggapan diplomat muda kita. Tetapi, tindakan Vanuatu adalah tindakan kemanusiaan yang patut diapresiasi.

Artinya anggapan shameful dan ignorant tidak boleh mengubur kasus-kasus tersebut. Bagaimanapun itu, kasus-kasus yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kasus pelanggaran HAM harus diusut tuntas.

Salam!!!

Sumber: Satu; Dua; Tiga; Empat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun