Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies Baswedan Layak Dinonaktifkan Karena PSBB Total?

11 September 2020   12:27 Diperbarui: 11 September 2020   16:46 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan dan Ahmad Riza Patria dalam rapat bersama Tim Pengawas Penanganan Covid-19 DPR, Kamis (16/4/2020). (KOMPAS.com/TSARINA MAHARANI)

"Anies sudah layak di non-aktifkan. Karena penetapan PSBB wilayah tidak bisa tanpa sepengetahuan pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Jokowi"

Setelah menjalani masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi selama kurang lebih tiga bulan, 9 September 2020, kemarin, Pemprov DKI Jakarta menarik rem darurat dengan kembali menerapkan PSBB total seperti awal masa pandemi di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Penarikan rem darurat ini mengejutkan beberapa pihak karena kebijakan ini dilakukan sepihak tanpa koordinasi dengan pemerintah pusat. Lagipula, proporsi angka kematian akibat Covid-19 di Jakarta masih tergolong rendah dan tidak mengkuatirkan. 

Akan tetapi, kebijakan PSBB total baru yang diterapkan oleh Pemprov DKI bukan tidak beralasan. Berdasarkan tren peningkatan kasus baru Covid-19, angkanya sudah melampaui 1.000 kasus per hari.

Angka ini diperkirakan bakal membuat Rumah Sakit di Jakarta kolaps per 17 September dan ICU akan penuh pada 15 September lantaran hanya tersisa 4.053 tempat tidur isolasi yang berasal dari 67 rumah sakit rujukan Covid-19 dari total 190 rumah sakit di Jakarta.

Alasan ini sangat diterima oleh akal sehat karena hanya membutuhkan waktu lima hari untuk melihat minimal 5.000 orang positif Covid-19 jika angka tersebut tidak menurun, sementara ruang isolasi tidak tersedia untuk pasien sebanyak itu.

Akan tetapi, keputusan mengejutkan Anies Baswedan sebagai orang nomor satu DKI Jakarta menuai komentar dan kritik dari beberapa pihak termasuk Para menteri Kabinet Indonesia Maju. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melihat dari sisi ekonomi. Ia mengatakan bahwa dampak kebijakan Anies sudah terlihat di pasar saham Indonesia.

"Beberapa hal yang kita lihat sudah menampakkan hasil positif, berdasarkan indeks sampai dengan kemarin, karena hari ini indeks (IHSG) masih ada ketidakpastian karena announcement Gubernur DKI (Anies Baswedan) tadi malam, sehingga indeks tadi pagi sudah di bawah 5.000. Kita harus melihat gas dan rem ini. Kalau digas atau rem mendadak itu tentu harus kita jaga confident public. Karena ekonomi tidak hanya fundamental, tapi juga sentimen, terutama untuk sektor capital market," kata Airlangga.

Sementara Menteri Perindustrian Agus Gumiwang melihat dari segi industri. Ia mengatakan bahwa kebijakan itu tentu akan memengaruhi industri manufaktur di Indonesia apalagi kebijakan yang sama  dilakukan oleh provinsi-provinsi lain.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pun menyoroti dampak pada bidangnya. Ia mengatakan bahwa distribusi barang berpotensi terganggu dalam rem darurat dan dapat mengakibatkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB).

Sementara Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono mengatakan bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah layak di non-aktifkan dari jabatannya karena melanggar Permenkes Nomor 9 tahun 2020 tentang pedoman PSBB. 

Gubernur Anies disebut melanggar bagian permohonan dan penetapan PSBB bahwa kepala daerah baik itu gubernur, bupati, atau walikota hanya sebatas mengajukan permohonan PSBB kepada menteri disertai sejumlah data seperti peningkatan dan penyebaran kasus serta kejadian transmisi lokal. 

Sedangkan penetapan PSBB adalah pihak berwenang yaitu Menteri Kesehatan setelah permohonan dikaji oleh tim mengenai berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan.

"Anies sudah layak di non-aktifkan. Karena penetapan PSBB wilayah tidak bisa tanpa sepengetahuan pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Jokowi," ujar Arief, Tribunnews.com, Kamis (10/9/2020).

Jika kita benar-benar mencerna alur pikiran politisi Gerindra ini, bukan tidak mungkin Arief berharap Anies Baswedan dinonaktifkan kemudian diberhentikan total dari jabatannya. Lalu apakah Anies Baswedan benar-benar melanggar Permenkes dan layak dinonaktifkan?

Pertama-tama kita melihat mekanisme pemberhentian sementara kepada kepala daerah. Sesuai dengan Pasal 83 ayat 1 UU Nomor 23 tahun 2014, Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementaratanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan mekanisme pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah berhenti dari jabatannya jika meninggal dunia atau atas permintaannya sendiri atau diberhentikan.

Maksud dari diberhentikan adalah jika masa
jabatannya berakhir dan telah dilantik pejabat baru; tidak dapat melaksanakan tugas secara bekelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam bulan; tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah, dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan; melanggar larangan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah.

Menurut M.SADMI AL QAYUM dalam jurnal MEKANISME PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH ( STUDI KASUS PEMBERHENTIAN BUPATI GARUT PADA TAHUN 2013), proses substansi pemberhentian seorang kepala daerah/wakil kepala daerah di atur dalam undang-undang tersebut hanya dapat di lakukan jika kepala daerah/wakil kepala daerah terbukti melanggar aturan hukum.

Mengacu pada hal tersebut, sangatlah tidak mungkin Anies Baswedan dinonaktifkan atau diberhentikan sementara kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur. Tidak ada pelanggaran yang memungkinkan karena DKI Jakarta tidak menerapkan era new normal tetapi PSBB transisi.

Artinya DKI Jakarta masih dalam tahap perpanjangan PSBB yang tidak memerlukan izin dari pemerintah pusat sebagaimana yang disampaikan oleh kementerian kesehatan pada beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu, Gubenur DKI Jakarta tidak melanggar peraturan menteri kesehatan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa jangan diberhentikan, penonaktifan jabatan saja sangatlah tidak mungkin. 

Usulan penonaktifan Anies Baswedan dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta erat kaitannya dengan dinamika kepentingan politis partai. Mengingat, wakil kepala gubernur DKI Jakarta saat ini adalah kader Gerindra yang berpotensi menduduki kursi nomor satu DKI jika Anies Baswedan benar-benar diberhentikan.

Salam!!!

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat;

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun