Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menaksir Potensi Habituasi terhadap "Mata Palsu" di Botswana

10 September 2020   09:45 Diperbarui: 10 September 2020   21:57 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peneliti menggambar mata pada pantat sapi sebagai cara untuk terhindar dari predator. (iflscience) via kompas.com

Meski demikian, ketakutan terhadap penemuan yang ditulis di jurnal Nature Communications Biology ini  adalah habituasi (kebiasaan) sehingga diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk masalah ini.

Satwa liar merupakan primadona utama turis mancanegara di negara-negara Afrika terutama di Botswana. Penghasilan negara ini melalui pariwisata terbilang cukup tinggi karena keanekaragaman satwa liar yang memanjakan mata para wisatawan. 

Akan tetapi, besarnya populasi satwa liar menjadi alasan para pemburu terus gencar melakukan perburuan terhadap satwa liar secara besar-besaran di Botswana yang mengakibatkan populasinya semakin hari semakin menurun.

Hal ini menimbulkan ketakutan bagi pemerintah. Jika primadona utama pariwisata ini punah maka pariwisata yang merupakan salah satu penghasilan negara pun terancam sehingga mulai diberlakukan larangan perburuan terhadap satwa liar pada tahun 2014.

Namun, dengan adanya larangan perburuan, satwa liar seperti gajah, singa, macan tutul, hyena, cheetah dan sejenisnya bebas berkeliaran dan merugikan masyarakat sekitar, khususnya mereka yang bergantung pada bidang pertanian dan peternakan.

Botswana yang memiliki populasi gajah terbesar di Afrika menjadi momok yang merugikan bagi para petani karena lahan pertanian sering dirusak oleh kawanan kelompok gajah tersebut. Sedangkan singa, macan tutul, hyena dan cheetah dan sejenisnya menjadi predator utama ternak-ternak mereka.

Ternak mudah diburu oleh predator karena peternakan di Botswana masih menggunakan sistem penggembalaan. Umumnya, ternak-ternak dilepas di Delta Okavango yang menyediakan hutan dan padang rerumputan yang cukup luas.

Delta Okavango bukan hanya menyediakan rerumputan hijau tetapi dialiri oleh arus Sungai Okavango (Kavango) dari dataran tinggi Angola, melintasi Jalur Caprivi Namibia dan ke Gurun Kalahari sehingga menjadi tempat minum bagi kawanan ternak.

Dengan keadaan alam demikian, Delta Okavango bukan hanya menjadi tempat makan-minum ternak tetapi menjadi rumah bagi beberapa spesies mamalia besar yang paling terancam punah di dunia, seperti singa, macan tutul, hyena, cheetah, dan anjing liar Afrika.

Akibatnya, ternak sapi dan kambing yang sering merumput di lahan tersebut menjadi mangsa empuk para predator liar tersebut. Hal ini menimbulkan konflik antara manusia dan satwa liar terus meningkat sehingga larangan perburuan terasa tak berlaku karena beberapa satwa liar dibunuh oleh para petani dan peternak.

Mereka lebih memilih ternak mereka yang memberikan jaminan kepastian ekonomi daripada satwa-satwa liar itu. Sementara Delta Okavango merupakan kawasan margasatwa dalam daftar Tujuh Keajaiban Alam Afrika dan Situs ke-1000 dalam daftar Warisan Dunia UNESCO bertujuan untuk melindungi satwa-satwa langka yang hampir punah itu.

Perlindungan lahan pertanian dari kawanan gajah masih lebih mudah dibandingkan dengan melindungi ternak dari predator. Para peternak mencoba menyingkirkan predator atau mengurangi perburuan mereka dengan menempatkan pagar yang luas di lanskap alam Delta Okavango tetapi hal ini tidak efektif.

Konflik terus berlanjut. Tidak ada yang dapat dibela atau dibenarkan dari konflik manusia-satwa liar di negara ini. Oleh karena itu, kelompok peneliti dari University of New South Wales mencoba menemukan solusi dari permasalahan tersebut.

Bagi para peneliti, melindungi ternak dari karnivora liar sambil melestarikan karnivora itu sendiri, merupakan masalah penting dan kompleks yang membutuhkan penerapan seperangkat alat, termasuk intervensi praktis dan sosial budaya.

Kelompok peneliti tersebut bekerja dengan Konservasi Predator Botswana dan penggembala lokal. Mereka melakukan penelitian pada 14 kawanan sapi yang pernah mengalami serangan predator.

Sekitar sepertiga dari setiap kawanan dengan desain mata palsu pada bagian pantat, sepertiga dengan gambar tanda silang sederhana, sisanya tanpa tanda.

Penelitian ini bertujuan merespon kebiasaan predator yang mengandalkan cara mengintai mangsanya sebelum memutuskan untuk menyergap.

Selama empat tahun, hasilnya memberikan angin segar. Dari 2.061 ekor sapi yang terlibat dalam penelitian ini, tidak satupun dari 683 "sapi mata buatan" dibunuh oleh predator penyergap, sementara 15 (dari 835) tidak dicat, dan 4 (dari 543) ternak yang dicat silang dibunuh.

Meski demikian, ketakutan terhadap penemuan yang ditulis di jurnal Nature Communications Biology ini adalah habituasi (kebiasaan) sehingga diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk masalah ini.

Pertanyaan penting yang patut dijawab untuk kelanjutan penelitian adalah mengapa predator menyerang ternak? Ada tiga hipotesis untuk pertanyaan tersebut.

Pertama, rantai makanan yang jelas. Meskipun predator-predator tersebut mempunyai sesama satwa liar sebagai mangsa, predator-predator tersebut sudah beradaptasi dengan ternak-ternak yang merumput di sekitar kawasan jelajah mereka.

Jika predator tidak pernah gagal dalam menyerang mangsanya maka hal ini juga disebut sebagai habituasi rantai makanan. Predator-predator tersebut akan cenderung memangsa ternak daripada sesama satwa liar.

Kedua, Beberapa spesies mempunyai tempat yang khas dan selalu dipertahankan dengan aktif. Batas-batas teritori ini dikenali dengan jelas oleh pemiliknya, biasanya ditandai dengan urine, feses dan sekresi lainnya. Pertahanan teritori ini dilakukan dengan perilaku yang agresif (conflict behaviour).

Ketiga, rantai makanan yang terputus. Perburuan satwa liar yang tidak terkendali sebelum adanya konservasi bisa saja menjadi penyebab terputusnya mata rantai makanan satwa-satwa liar tersebut karena populasi beberapa spesies yang menjadi mangsa predator tidak lagi memenuhi kebutuhan predator.

Jika poin ketiga adalah penyebab utama predator memangsa ternak maka habituasi sangat mungkin terjadi. Dalam kasus ini, jika predator sudah terbiasa dengan ternak yang diberi tanda mata palsu maka metode coba-coba (trial & error learning) akan diterapkan oleh predator.

Misalnya penelitian yang dilakukan dengan membuat sekat dalam kotak yang akan mengeluarkan makanan bila ditekan. Jika tikus lapar dimasukan ke dalam kotak maka dalam waktu singkat ia dapat mengetahui cara mendapatkan makanan tersebut.

Predator akan mencoba untuk menyerang meskipun dia tau bahwa mangsanya sedang melihat gerakannya. Jika percobaan pertamanya berhasil maka predator akan merasa lebih kuat dan lebih pintar mengalahkan mangsanya.

Insting predator akan diperkuat jika mangsa di teritorialnya tidak memenuhi kebutuhan hidup mereka atau rantai makanan semakin menipis. Dan sebaliknya, jika populasi mangsa predator selain ternak masih tinggi maka cara tersebut bisa efektif.

Oleh karena itu, menjaga kestabilan ekosistem adalah salah satu faktor yang patut diperhatikan dalam melindungi ternak dari satwa liar tetapi tidak mengancam kehidupan predator-predator tersebut.

Salam!!!

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima; Enam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun