Yang bertahan bukan yang kuat tetapi yang mampu beradaptasi
Pandemi Covid-19 yang mengharuskan segala pertemuan, seminar dan sebagainya dilakukan secara online membuat fitur live streaming melalui media sosial seperti Facebook, Instagram dan YouTube tiba-tiba naik daun, sementara stasiun televisi merengek karena tidak ada acara yang menarik perhatian penonton.
Di tengah terpaan angin pandemi ini, secara mengejutkan, RCTI dan I-News TV mengajukan gugatan Uji Materi  terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Gugatan ini diajukan sejak dua bulan lalu, dengan nomor Perkara Nomor 39/PUU-XVIII/2020.
Ketentuan yang digugat dalam UU ini Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."
Gugatan ini bertolak dari adanya fitur live streaming di media sosial seperti seperti yang disebutkan sebelumnya dinilai tidak berada dibawah payung hukum penyiaran di Indonesia atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.Â
RCTI dan I-News berkeinginan besar agar live streaming yang dikenal sebagai fitur siaran langsung di media sosial harus diatur dalam undang-undang. Tujuannya adalah mencegah kemungkinan dampak negatif seperti tayangan konten-konten yang bersifat SARA dan Pornografi.
Jika gugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka penggunaan fitur live streaming tidak sebebas saat ini. Untuk menggunakannya, perorangan atau kelompok harus mengantongi izin dari pemerintah.
Ketakutan Stasiun Televisi Terhadap Perkembangan Teknologi
Meski MNC group mengatakan bahwa tidak ada udang dibalik batu atau tidak ada sedikitpun maksud rahasia dalam permohonan mereka, masih banyak kalangan selegram dan youtuber yang meradang dengan gugatan tersebut.
Salah satunya dari Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara yang juga sedang sukses dengan podcastnya di YouTube. Ia mengatakan bahwa gugatan tersebut bisa bermotif bisnis karena tanpa sadar medsos pelan-pelan menggeser kejayaan stasiun televisi.
 "Kalau yang mengajukan korporasi ada motif bisnisnya, kita tahu medsos jadi saingan televisi. Bahkan seperti YouTube itu sudah jadi saingan televisi. Orang kan sekarang nonton YouTube ya, walaupun siarannya di televisi, orang nontonnya lewat YouYube," kata Refly dikutip dari Bisnis.com, 27 Agustus 2020.
Memang kalau kita cermati, stasiun televisi akan mengikuti jejak Kodak jika tidak bersaing mengikuti perubahan atau perkembangan zaman. Begitupun sebaliknya, stasiun televisi akan mengikuti jejak Fujifilm jika ada keinginan bersaing dan mengikuti perkembangan zaman.
Kita semua tahu, bagaimana Kodak dan Fujifilm menguasai pangsa pasar perfilman di dunia internasional sebelum era digitalisasi. Waktu itu, Kodak memperoleh 72 persen dari penjualan barang terkait film dan Fujifilm memperoleh 60 persen.
Namun, kejayaan mereka pelan-pelan menurun ketika internet sudah ditemukan dan komputer berevolusi menjadi PC dengan ukuran yang lebih kecil dan bisa dibawa kemana-mana serta kamera yang berevolusi menjadi kamera digital untuk mengikuti perkembangan teknologi.
Kodak dan Fujifilm kesulitan beradaptasi. Bukan hanya soal evolusi tetapi juga strategi bisnis. Banyak perusahaan kamera yang lahir dengan daya saing tinggi, permintaan pasar terbagi dan membuat keseimbangan produksi dan permintaan di Kodak dan Fujifilm terganggu. Produksi lebih besar dari permintaan.
Akan tetapi, seperti teori evolusi, "bukan soal power yang dimiliki tetapi kemampuan beradaptasi". Finansial tidak menjadi ukuran untuk bertahan tetapi adaptasilah yang mampu membuat perusahaan berdiri ditengah terpaan badai teknologi.
Fujifilm menyadari hal tersebut. Permintaan yang semakin hari semakin berkurang membuat mereka mengambil keputusan yang berani. Fujifilm berusaha merubah pola bisnis dengan memperkecil produksi untuk menciptakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan.Â
Mereka juga menutup fasilitas yang tak diperlukan sehingga pengeluaran keuangan di bidang produksi benar-benar disunat. Keputusan ini mencegah terjadinya besar pasak daripada tiang meskipun pendapatan tidak sesuai dengan ekspektasi.
Mereka juga melakukan penelitian untuk bisa mengadaptasi teknologi yang dimiliki Fujifilm ke area lain untuk tetap melakukan produksi dan penjualan. Sementara beradaptasi, Fujifilm merambah ke bisnis farmasi, kosmetik, dan bahkan merambah produksi panel LCD lewat FUJITAC untuk membuat mereka bertahan.
Berbeda dengan Fujifilm, Kodak kesulitan menghasilkan uang. Dengan modal kejayaan yang dimiliki era sebelumnya mencoba bertahan dengan bisnis kamera. Perkembangan media penyimpanan yang tidak diikuti oleh Kodak membuat kamera digital generasi pertama mereka juga kurang diminati.
Akhirnya Kodak bangkrut karena tidak siap beradaptasi dengan evolusi teknologi dan bisnis yang semakin modern. Padahal, jika modal finansial dan nama besar mereka digunakan untuk beradaptasi maka mungkin Kodak lebih jaya dari Fujifilm.
Stasiun Televisi Perlu Belajar
Perkembangan media sosial membuat banyak orang menghasilkan uang dengan kreativitasnya masing-masing. Dunia bisnis tidak lagi dikuasai oleh konglomerat tetapi bisa pelan-pelan merambat ke semua kalangan tanpa pandang bulu.
Stasiun televisi seharusnya menyadari hal tersebut dan belajar dari kebangkrutan Kodak dan bertahannya Fujifilm. Berusaha untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi tanpa memotong masa depan strategi bisnis yang sedang diandalkan oleh orang lain.
RCTI dan I-News perlu mengkaji lebih dalam tentang alasan yang digunakan dalam menggugat UU penyiaran karena konteks media sosial atau penggunaan fitur live streaming adalah salah satu bentuk sosialisasi di media sosial.
Salam!!
Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H