Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Hadi Pranoto dengan Logika Rocky Gerung

5 Agustus 2020   07:38 Diperbarui: 5 Agustus 2020   07:40 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan soal pilihan kata tetapi soal sebuah isu yang fundamental. Kalau problem ini tiba pada pembahasan yang substansif, anda tidak cukup kuat untuk mewakili korporasi. Demikian pula saudara Ngabalin, dia tidak cukup kuat untuk mewakili pikiran negara karena fungsinya terbatas. -Rocky Gerung

Dua tahun lalu, pemerintah menandatangani Head of Agreement (HoA) dengan Freeport Mc MoRan terkait dengan investasi saham. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan PT. Indonesia Papua Metal dan Mineral memegang porsi kepemilikan saham PT. Freeport Indonesia sebanyak 51,24 persen.

Pemerintah mengklaim penerimaan negara dari PT Freeport Indonesia (PTFI) ini akan jauh lebih besar ketimbang sebelumnya sehingga dapat digunakan semaksimalnya untuk kepentingan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Di samping euforia tersebut, Rocky Gerung menganggap Head of Agreement (HoA) tersebut sebagai hoax atau kabar bohong. Kalimat di awal artikel ini adalah pernyataan Rocky Gerung kepada Head of Corporate Communication PT. Inalum, Rendi Witoelar di debat terbuka Indonesia Lawyer Club (ILC).

Apa yang dimaksud oleh Rocky Gerung adalah tidak cukupnya kapasitas Rendi Witoelar mewakili korporasi Inalum untuk menjelaskan semua kesepakatan tentang saham di PT Freeport. Memang pernyataan Rocky Gerung terkesan meremehkan tetapi secara logis, penulis sepakat dengan pernyataan itu.

Polemik Kasus Anji dan Hadi Pranoto

Baru-baru ini publik digegerkan dengan sebuah tayangan wawancara di YouTube antara pelantun lagu Bukti, Anji dan Hadi Pranoto yang mengklaim telah menemukan obat Covid-19. Klaim tersebut akhirnya menjadi viral dan sampai dengan saat ini, masih mencuri perhatian publik.

Sosok penting yang sangat mencuri perhatian publik adalah Hadi Pranoto. Hadi, dalam wawancara tersebut disebut sebagai salah satu "Profesor" dan "pakar mikrobiologi". Ia juga disebut sebagai seorang Doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dengan adanya sematan ini, Hadi Pranoto memiliki kapasitas untuk berbicara di depan publik mengenai penemuan obat Covid-19 dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan isu kesehatan. Karena itu, semua pembicaraan dan segala statemennya mudah dipercaya oleh publik karena latar belakang ilmunya itu.

Akan tetapi, setelah tayangan tersebut menjadi viral beberapa orang menganggap bahwa semua penjelasan di konten tersebut out of the box yang berakibat fatal dalam penanganan Covid-19. Sejumlah pihak yang menentang adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Lembaga Biomolekuler Eijkman, hingga Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) (Liputan6).

Oleh karena itu, kapasitas Hadi Pranoto benar-benar dipertanyakan. Publik pun mencari rekam jejak sosok Hadi Pranoto yang disebut sebagai profesor itu tetapi tidak ada publikasi akademis yang dapat dijadikan sebagai bukti untuk membenarkan statusnya. Bahkan, Kepala Biro Komunikasi IPB Yatri Indah melalui Kompas.com juga membantah Hadi Pranoto sebagai Doktor IPB.

Lalu pertanyaannya adalah apakah setiap orang memiliki porsi berbicara di publik? Dan apakah setiap orang berhak melakukan klaim medis meskipun latar belakang akademisnya masih dipertanyakan?

Menurut penulis, semua orang diperbolehkan untuk berbicara di depan publik mengenai Covid-19. Hal ini yang kemudian menjadi dasar pemerintah mencari relawan Covid-19 dari segala kalangan untuk membantu melakukan sosialisasi kepada masyarakat awam terkait dengan penyebaran dan perkembangbiakan virus tersebut.

Akan tetapi, kesempatan tersebut dibatasi dengan kapasitas yang dimiliki. Misalnya sebagai seorang relawan Covid-19 yang tidak berlatar belakang kesehatan maka porsi berbicaranya sebatas menyampaikan informasi kebenaran seperti cara mencegah yang berasal dari pihak medis.

Sedangkan untuk hal-hal yang substansif seperti penemuan vaksin, tidak dapat dipublikasikan sembarangan apalagi klaim dapat menyembuhkan orang lain. Bahkan, seorang profesor kesehatan pun, penemuannya harus melewati banyak uji coba barulah diklaim dan dipatenkan sebagai salah satu vaksin.

Di Kompasiana, hal ini benar-benar diterapkan. Salah satu syarat artikel layak Headline adalah kapasitas atau latar belakang penulis. Misalnya Kompasianer Posma Siahaan. Rata-rata artikelnya tentang kesehatan banyak terpilih sebagai headline karena ia memiliki kapasitas yang dapat dipercaya yaitu dokter. Atau Kompasianer Rebah Lomeh yang selalu headline dengan kebun cengkehnya.

Selain itu, minimal seorang kompasianer menekuni dunia kepenulisan dalam satu bidang. Misalnya Kompasianer Hadi Santoso yang selalu menjadi spesialis headline artikel olahraga atau Kompasianer Om Ge yang handal dalam menjabarkan artikel politik.

Nah, kita semua boleh berbicara di depan publik. Kita semua boleh menulis di segala bidang. Tetapi kita perlu menyadari seberapa luas arena kita agar jangan melompati margin atau batasan pemahaman kita.

Sekian dari saya, Neno Anderias Salukh, penulis amatiran di Kompasiana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun