Nah, jika kita mencoba menarik benang merahnya, masalah ini memiliki kesatuan yang tak bisa dipisahkan dengan polemik Surat Penunjukan Dinas Kesehatan Kabupaten TTS Nomor: Dinkes.07.01/2018/2019 yang menunjuk dr. Yusri D. Selan menjabat sebagai Kepala Puskesmas Nule Kecamatan Amanuban Barat yang mulai bertugas pada Rabu, 15 Mei 2019 (Viktory News, 16 Mei 2019). Surat Penunjukkan Dinas Kesehatan Kabupaten TTS ini adalah sebuah ketimpangan yang tidak bisa ditolerir karena status dr. Yusri Selan adalah CPNS 80 persen yang belum memenuhi syarat struktur dan fungsional.
Keputusan mutasi ini berindikasi nepotisme karena dr. Leni Tahun merupakan anak Bupati TTS dan dr. Yusri Selan merupakan anak Sekda TTS. Sedangkan status kekeluargaan dua dokter lainnya tidak diketahui tetapi hal ini mungkin perlu diusut oleh Pansus.
Karena alasan-alasan mutasi dokter yang masih penuh dengan tanda tanya dan belum meyakinkan kita maka pertanyaan mengapa dokter-dokter tersebut dimutasi dari puskesmas awal akan muncul dengan sendirinya.
Sebagai anak asli TTS yang sudah mengetahui medan dan lokasi puskesmas-puskesmas tersebut, menurut penulis, letak Puskesmas Fatukopa jauh dari kata strategis dibandingkan dengan RSUD Soe yang terletak di tengah kota dan mudah dijangkau. Puskesmas Nule pun demikian dibandingkan dengan Puskesmas Fatumnutu di pegunungan Mollo. Puskesmas Noebeba dan Puskesmas Panite lebih mudah dan lebih cepat dijangkau serta lebih strategis daripada Puskesmas Nunukhniti dan Puskesmas Oeekam.
Aapakah ini alasannya? Jika memang demikian, TTS akan menjadi Kabupaten Tetap Tertinggal Selamanya. Hari ini, sesuai dengan laporan Pansus, Pemda TTS baik bupati dan Dinkes seharusnya sadar untuk berhenti beralibi sebagaimana yang selama ini diungkapkan di media bahwa semua keputusan sudah sesuai dengan prosedur dan tidak menyalahi aturan.
Kita tidak akan berhenti menggelengkan kepala dan mngerutkan dahi jika kita benar-benar mengurai keputusan semacam ini. Jika memang pemerintah menghendaki penempatan dokter di puskesmas tersebut dan RSUD, mengapa pemerintah tidak menyediakan formasi di RSUD dan puskesmas- puskesmas tersebut pada pembukaan CPNS tahun 2018?
Jika pemerintah menggunakan alibi pasien tidak sesuai target, mengapa dalam pembukaan lowongan tidak meniadakan puskesmas-puskesmas tersebut dan mengutamakan puskesmas yang membutuhkan dengan menyediakan formasi yang mungkin lebih banyak?
Ini benar-benar menjadi tanda tanya aneh dan tidak salah jika hari ini masyarakat TTS memberikan penilaian buruk terhadap kinerja pemerintah daerah. Jangan sampai selama ini pemerintah daerah tidak pernah mengidentifikasi masalah dan realita di lapangan sehingga pengajuan formasi CPNS Asal Bapak Senang (ABS).
Ataukah bapak bupati menggunakan alibi penentuan formasi CPNS 2018 sebelum dilantik menjadi bupati TTS? Jika demikian, apakah bapak pernah bertanya mengapa puskesmas-puskesmas tersebut mendapatkan formasi CPNS? Inikah rezim "bet pung hak?"
Jejak digital menyimpan janji Bupati TTS pada tahun 2019 bahwa akan ada perekrutan dokter PTT untuk mengisi kekosongan beberapa puskemas seperti Fatumnutu, Fatukopa, Kualin, Nunukhniti, Kie dan Oeekam (Pos Kupang, 22 mei 2019).
Akan tetapi, sampai dengan saat ini janji itu masih manis seperti gula, bahkan, Pemda TTS menyia-nyiakan tes CPNS 2019 yang sejatinya merupakan kesempatan emas untuk merekrut tenaga dokter. Pemda memilih menutup pintu akses untuk orang luar daerah sementara Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga kesehatan kita khususnya dokter belum memadai. Memang kemudian pintu akses terbuka bagi siapa pun tetapi apa artinya berjuang sementara air sudah berada di batang leher?