Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mungkinkah Cyberbullying Menjelma Menjadi Pembunuh Nomor Satu Dunia?

24 Mei 2020   10:50 Diperbarui: 25 Mei 2020   08:56 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Data survei internasional Ipsos | Comparitech

Zaman sebelum internet naik panggung, penjahat membutuhkan sebilah pisau atau sebutir peluru untuk menghabisi nyawa seseorang. Berbeda dengan zaman internet, pisau dan peluru kalah ampuh dari media sosial. Bahkan, pembunuh abu-abu di media sosial bisa menjelma sebagai pembunuh nomor satu di dunia.

Tahun 2019, tepat pada bulan Oktober, dunia entertainment digemparkan dengan kasus kematian salah satu artis K-Pop yang bernama Choi Jin-ri (Sulli). Sulli ditemukan tewas bunuh diri dalam rumahnya. Setelah ditelusuri, Sulli berani membunuh diri karena ia tidak mampu membendung peluru cyberbullying yang terus membombardir dirinya.

Menanggapi peristiwa pilu tersebut, saya mengkritik pelaku cyberbullying secara umum berdasarkan kematian Sulli melalui sebuah tulisan kecil di Kompasiana.com dengan judul artikel "Mengkritik Pembunuh Abu-abu di Balik Kepergian Sulli".

Dalam kritikan tersebut, saya mencoba menduga kematian Sulli sebagai salah satu bukti bahwa bullying akan menjelma sebagai pembunuh nomor satu di dunia dan media sosial menjadi senjata ampuh yang akan digunakan.

Meskipun saat ini dugaan saya masih jauh dari ketepatan, saya akan mencoba mengulas prediksi saya lebih detail bahwa ada kemungkinan besar prediksi saya menuju pada kenyataan jika cyberbullying tidak disadari oleh manusia sebagai sebuah ancaman bagi kehidupan.

Sebelum beranjak pada data yang akan saya kemukakan, kasus kematian seorang pegulat profesional asal Jepang yang diklaim media berdarah Indonesia beberapa hari yang lalu di tengah dunia sibuk berperang menghadapi pandemi Coovid-19, memperkuat dugaan saya bahwa cyberbullying sedang dalam tren peningkatan.

Media ramai-ramai menyebut bahwa meninggalnya pegulat yang bernama lengkap Hana Kimura ini adalah murni bunuh diri karena ia tak mampu melawan cyberbullying di media sosial seperti Sulli. [Sumber]

Media menduga dari status terakhir Hana di media sosial yang kira-kira diterjemahkan sebagai berikut:

"Hampir 100 pendapat terang-terangan setiap hari. Saya tak bisa menyangkal, saya terluka. Saya mati. Terima kasih telah melahirkan saya ibu. Hidup di mana saya ingin dicintai. Terima kasih untuk semua yang mendukung saya. Saya menyukainya. Saya lemah, saya minta maaf. Saya tidak ingin menjadi manusia lagi. Itu adalah kehidupan di mana saya ingin dicintai. Terima kasih semuanya. Saya mencintaimu."

Kasus Hana Kimura merupakan kasus bunuh diri akibat cyberbullying yang kesekian kalinya. Phoebe Prince, Megan Taylor Meier, Amanda Todd, Katie Webb, Jade Stringer merupakan sebagian kecil dari korban cyberbullying.

Data tentang Kasus Cyberbullying dan Bunuh Diri

Sebuah artikel berjudul "Cyberbullying facts and statistics for 2020" yang ditayangkan oleh comparitech.com mengungkapkan bahwa cyberbullying sedang mengalami tren peningkatan.

Comparitech melakukan survei terhadap lebih dari 1.000 orang tua anak-anak di atas usia 5 tahun. Hasil survei tersebut adalah 47,7 persen orang tua dengan anak usia 6-10, 56,4 persen orang tua dengan anak - anak usia 11-13, 59,9 persen orang tua dengan anak - anak usia 14-18 dan 54,3 persen orang tua dengan anak - anak berusia 19 dan lebih tua melaporkan anak-anak mereka diintimidasi.

Meskipun rata-rata orang tua melaporkan bahwa anak mereka mengalami bullying di sekolah, modus bullying digital semakin marak. Terdapat sekitar seperlima atau 19,2 persen bullying terjadi di media sosial, 11 persen terjadi melalui pesan teks, 7,9 persen terjadi melalui video game, 6,8 persen di situs web media non-sosial dan 3,3 persen terjadi melalui email.

Data Comparitech
Data Comparitech

Survei lain dari internasional Ipsos terhadap orang tua yang memiliki anak di 28 negara yang ditampilkan oleh Comparitech juga menunjukkan bahwa setiap tahunnya semakin banyak orang tua yang mengaku bahwa anak mereka mengalami perundungan di media sosial. Hingga 2018, India dan Brazil menempati urutan tertinggi dalam survei ini sedangkan Rusia dan Jepang berada pada posisi paling bawah.

Data survei internasional Ipsos | Comparitech
Data survei internasional Ipsos | Comparitech

Sementara data dari World Health Organisation (WHO) tentang angka bunuh diri cukup tinggi. Berdasarkan WHO Global Health Estimates, angka bunuh diri di dunia mendekati 800.000 pada tahun 2016 dengan kematian yang terjadi setiap 40 detik. 

WHO juga menyebut bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor dua pada kelompok umur 15-29 tahun. [Info data dan informasi Kementrian Kesehatan RI, situasi dan pencegahan bunuh diri]

Meskipun jumlah kematian akibat cyberbullying tidak disebutkan secara eksplisit, sebagian dari korban bunuh diri ini disebabkan oleh cyberbullying.

Jika cyberbullying semakin meningkat maka kontribusi cyberbullying terhadap angka bunuh diri pun tidak kalah jauh dari faktor lainnya.

Cyberbullying terjadi kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja.

Bullying tak mengenal status dan latar belakang. Meskipun dua kasus terbaru yang menggemparkan dunia entertainment dan olahraga merupakan dua tokoh publik yang tak luput dari komentar netizen, cyberbullying bisa terjadi pada siapa saja.

Pada tahun 2006, Megan Taylor Meier, seorang gadis berusia remaja ditemukan bunuh diri dengan cara gantung diri di dalam kamarnya. [Sumber]

Kematian Megan bukan tanpa sebab, 20 menit sebelum ia melakukan upaya bunuh diri. Ia memperoleh sebuah pesan dari mantan kekasih mayanya bernama Josh Evan di media sosial Myspace. Pesan itu berbunyi "Semua orang membencimu. Hiduplah dalam kesengsaraan. Dunia ini akan jadi lebih baik tanpa dirimu".

Setelah ditelusuri, awalnya ia berkenalan dengan salah satu akun Myspace bernama Josh Evan. Megan yang baru beranjak masuk ke dunia romantika pertama kali dalam hidupnya, menjalin sebuah hubungan pacaran dengan Josh Evan walaupun hanya melalui perantara media sosial.

Namun, Josh Evan yang sangat dicintai oleh Megan membuatnya terluka dan mengakhiri hubungan mereka sebelum pesan bullying tersebut. Tetapi, rupanya akun Josh Evan tersebut adalah akun palsu yang dikelola oleh Sarah Drew, ibu dari salah satu teman Megan. Akun tersebut dibuat hanya untuk melayangkan bullying kepada Megan.

Megan bukan seorang tokoh publik layak Sulli dan Hana tetapi ia mengalami bullying yang akhirnya membunuhnya.

Media sosial dapat merubah wajah seekor domba menjadi seekor singa. Jika bullying tidak diintervensi sedini mungkin maka bukan tidak mungkin bullying akan menjelma sebagai pembunuh nomor satu di dunia.

Salam!!!

Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun