Sejauh mana kita memaknai angka yang diberikan label "+" dalam kehidupan sehari-hari?
Angka kasus kekerasan seksual di Indonesia patut diberi label merah. Sepanjang tahun 2016-2018, sebanyak 17.088 kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia dengan 8.797 adalah kasus pemerkosaan.Â
Khususnya tahun 2019, terdapat 2.988 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Angka tersebut merupakan 31 persen dari total kasus kekerasan seksual yang terjadi. Jika ditambah dengan jumlah kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan maka harus diakui bahwa kekerasan seksual ibarat hantu yang sangat menakutkan.
Kasus kekerasan seksual bukan baru terjadi belakangan ini (2016-2017), sesuai dengan data yang penulis sajikan. Kekerasan seksual sudah terjadi sejak lama sehingga isu pentingnya pendidikan seksual mencuat ke publik dan memaksa pemerintah memasukkan pendidikan seksual dalam kurikulum 2013.
Namun, sebetulnya pendidikan seksual bukan tanggung jawab seutuhnya lembaga pendidikan tetapi juga tanggung jawab orangtua sebagai implementasi pendidikan dalam keluarga.
Hal ini diperkuat dengan sebuah studi yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser melalui merek kontrasepsi Durex, Dari 500 responden yang disurvei terdapat 73 persen responden yang menyatakan bahwa pendidikan seks yang mereka terima di sekolah belumlah cukup.
Tujuan pendidikan seksual tidak hanya sebatas mengajarkan anak-anak mengenai organ kesehatan reproduksi, penyakit menular seksual dan HIV/AIDS, kehamilan, dan kontrasepsi yang dapat digunakan, tetapi juga berfungsi untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual seperti pemerkosaan, seks diluar nikah, dan juga pernikahan di usia dini.
Data kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2019 juga mengisyaratkan kepada kita bahwa implementasi pendidikan seks di Indonesia belum mengalami kemajuan.
Masih dari studi yang sama, 54 persen remaja masih percaya bahwa melakukan penetrasi berdiri bisa mencegah kehamilan, 53 persen menjadikan ejakulasi di luar vagina sebagai solusi terhindar dari kehamilan, dan 57 persen percaya bahwa masturbasi sebelum berhubungan seks bisa mencegah kehamilan.
Ketidakmajuan pendidikan seks di Indonesia diakibatkan oleh pengetahuan pendidik (guru maupun orangtua) yang masih minim. Pada artikel ini, penulis mencoba menulis pentingnya memaknai simbol 18+ dalam kehidupan sehari-hari sebagai salah satu bentuk pendidikan seks.
Angka 18 adalah bilangan asli setelah 17 dan sebelum 19. Hehehe. Dalam teori bilangan 18 adalah bilangan semiperfect atau bilangan pseudoperfect dimana jumlah semua angka pembagi (3,6,9) sama dengan 18.
Terlepas dari intermeso matematika ini, Di sebagian besar negara, 18 adalah usia mayoritas (dewasa) dan juga usia pemilih. Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, 18 adalah usia persetujuan seksual yang diatur dalam undang-undang.
Seseorang yang sudah berusia 18 tahun dianggap cakap melakukan perbuatan hukum dan setuju untuk melakukan hubungan seksual. Artinya, jika terjadi hubungan seksual suka sama suka antara laki-laki dan perempuan yang berusia 18 tahun dianggap tidak melanggar hukum.
Dalam sejumlah budaya dan agama, usia 18 tahun merupakan tanda seseorang telah mengalami kedewasaan secara fisik dan psikis. Di Indonesia, dalam undang-undang terbaru menyepakati usia 19 tahun sebagai syarat minimal untuk menikah.
Sedangkan penambahan "+" seringkali kita temui dalam sistem penilaian film. Penilaian ini bertujuan sebagai pemberi saran apakah film tersebut layak ditonton oleh mereka yang berusia dibawah ketentuan atau tidak.Â
Misalnya, film yang diberi peringkat 18+ maka hanya boleh ditonton oleh mereka yang berusia 18 tahun ke atas sedangkan yang berusia dibawah 18 tahun dilarang nonton.
Pemberian peringkat ini tergantung film. Ada yang 13+ dan sebagainya. Intinya bahwa pemberian peringkat ini memiliki tujuan yang baik untuk penonton.Â
Hal ini disebabkan karena ada adegan seks, kekerasan, atau penyalahgunaan zat, penggunaan kata-kata kotor, atau masalah lain yang biasanya dianggap tidak cocok untuk anak-anak atau mereka yang dibawah umur.
Simbol "+" digunakan dalam banyak hal. Bukan hanya film tetapi dalam bentuk gambar maupun artikel. Seringkali kita temui artikel-artikel yang hanya menganjurkan mereka yang berusia 18 untuk melanjutkan pembacaan.
Seringkali orangtua belum memahami makna "+" dalam pendidikan seks. Misalnya orangtua yang mengizinkan anak nonton film sendirian dan bebas mengganti channel.Â
Bahkan, anak-anak masih diizinkan untuk menonton film Hollywood yang berisi adegan "French Kiss", seksual, penggunaan kata-kata kotor dan kasar seperti "fu*k you" dan sebagainya.
Selain itu, percakapan-percakapan dewasa yang dilakukan oleh orangtua maupun guru seharusnya tidak didengar oleh anak-anak atau murid. Saya seringkali melihat beberapa orangtua yang membicarakan hal-hal seksual sementara anaknya asik mendengar.
Bagaimana mungkin anak-anak yang masih dalam pertumbuhan disertai dengan daya tangkap yang cukup kuat tidak terpengaruh secara psikologis?
Dilansir dari Detik, seorang psikolog pendidikan anak usia dini, Novita Tandry, M.Psi mengatakan bahwa porsi ingatan paling besar pada anak-anak terbentuk dari perbuatan 60 persen, mendengarkan membentuk 30 persen, sedangkan melihat membentuk 40 persen.
Jika anak-anak melihat tindakan-tindakan yang tidak mendidik dalam film, melihat orangtuanya melakukannya, mendengar kata-kata seksual, bukan tidak mungkin anak tersebut terus mengingatnya.
Oleh karena itu, melalui artikel ini penulis menganjurkan kepada orangtua maupun guru agar mengidentifikasi hal-hal yang seharusnya belum pantas dilihat dan didengar oleh anak-anak. Ini merupakan pendidikan seks yang cukup baik untuk diterapkan.
Salam!
Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H