Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Makan Suku Dawan (Timor)

12 Februari 2020   18:49 Diperbarui: 12 Februari 2020   18:53 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jagung Bose dan sambal, salah satu kuliner orang Timor | Sumber: Instagram 88darmi

Bagi Suku Dawan (Timor), makan bukan sekedar mengambil makanan dan memasukkan didalam mulut

Dalam upacara-upacara adat masyarakat Suku Dawan (Timor). Tradisi demi tradisi dan ritual demi ritual dilakukan. Biasanya, setelah semua dijalankan, barulah acara makan dilakukan (bagian terakhir).

Sama seperti daerah-daerah lainnya, makan adalah kegiatan wajib bagi semua orang yang hadir dalam upacara-upacara adat. Akan tetapi, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang berbeda tergantung nilai-nilai budaya daerah tersebut.

Bagi masyarakat Suku Dawan, makan tak sebatas kegiatan wajib mengikuti upacara adat atau memasukkan sesuatu ke dalam mulut untuk memperoleh rasa kenyang, tetapi makan merupakan sebuah kebiasaan yang memiliki nilai-nilai budaya yang sangat penting bagi interaksi sosial dalam sebuah kemasyarakatan.

Budaya Makan Dalam Upacara-upacara Adat

Dalam upacara-upacara kematian, perkawinan dan sebagainya, menu yang disajikan adalah jagung katemak, jagung titi (nasi jagung), jagung sose, nasi (padi ladang) dan daging (tergantung ternak apa yang dipilih).

Misalnya dalam sebuah upacara adat, padi ladang dan daging sapi merupakan pilihan masakan maka daging sapi akan dimasak dengan bumbu bawang merah, bawang putih dan serai yang ditumbuk halus. Lalu, garam secukupnya dan dibiarkan hingga setengah matang.

Pada zaman dahulu, piring orang Dawan terbuat dari tempurung kelapa sehingga cara menyajikannya adalah nasi dipisahin ke satu tempat, kuahnya dilain tempat dan dagingnya pun lain tempat. Jika masakan daging lebih dari satu jenis maka penyajiannya pun akan dipisahkan.

Lalu, diberikan kepada masing-masing orang. Ayah saya pernah bercerita bahwa jika menunya cukup banyak maka kadang kala kita harus mendapat empat sampai lima piring.

Tikar yang terbuat dari anyaman daun lontar dibuka dan dibentangkan sebagai tempat makan. Selama makan, ada petugas dapur yang mengontrol sehingga mereka yang sudah menghabiskan sebagian makanannya akan mendapat penambahan makanan.

Para petugas dapur tidak pernah membiarkan nasi, dan daging anda berkurang. Gundukan nasi selalu stabil , persediaan kuah selalu bertambah, begitupun dengan daging.

Sampai kapan anda tidak mampu atau menyerah barulah distribusi makanan berhenti. Pada umumnya, kebanyakan orang tidak menghabiskan makanannya. Lalu, bagaimana dengan makanan yang tidak dihabiskan? Para petugas dapur akan membungkusnya untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Perlakuan semacam ini akan lebih istimewah jika yang mereka layani adalah orang-orang dari luar kampung atau kase. Mereka akan diperlakukan layaknya seorang raja sebagaimana filosofi tamu menurut orang Dawan.

Baca: Kase, Panggilan untuk tamu oleh orang Amanuban

Budaya ini sedikit tergeser. Misalnya piring makan dari tempurung kelapa yang sudah tiada lagi dan penyajian terpisah kepada masing-masing orang. Akan tetapi, porsi makan masih dilanjutkan hingga saat ini.

Budaya makan seperti ini kadang kala dilakukan di setiap rumah tangga, tidak melulu dalam upacara-upacara adat, tergantung masing-masing orang.

Mengapa Porsi Makan Orang Dawan Cukup Banyak 

Banyak yang bertanya, mengapa orang Dawan makannya banyak sekali? Masyarakat Suku Dawan di Pulau Timor adalah masyarakat pekerja. Umumnya pekerjaan mereka adalah petani sehingga bagi mereka makan dengan porsi yang banyak akan memberikan tenaga yang banyak pula.

Bagi masyarakat Dawan, makan sangat penting untuk menambah kekuatan baru dalam setiap pekerjaan mereka. Karena itu, jagung dijadikan sebagai makanan pokok karena energi yang diperoleh dari karbohidrat lebih banyak daripada nasi.

Pemahaman ini tidak sebatas pada lingkungan mereka. Orang-orang yang berasal dari luar daerah atau suku yang berbeda dianggap memiliki pemahaman yang sama terhadap makan.

Oleh karena itu, jangan heran jika anda bertamu di rumah orang Dawan, mereka akan mempersilahkan anda untuk makan dua piring. Filosofinya adalah mata saja berpasangan masa makan tidak? Hehehe.

Penyajian seperti ini dilakukan jika penyajian seperti yang saya ceritakan sebelumnya tidak dilakukan. Intinya bahwa, kita harus makan sebanyak-banyaknya.

Itulah orang Dawan. Makan harus tambah (dua piring). Meskipun mereka tidak makan, yang terpenting mereka bisa layani tamu dan tamu pun makan sesuai dengan kehendak mereka (dua piring). 

Kita boleh makan satu piring dengan syarat-syarat tertentu. Kita bukan masyarakat kampung tersebut dan kita juga tidak akan kembali lagi.

Misalnya, saya berkunjung ke salah satu rumah lalu saya disuguhkan makanan, apa yang saya lakukan, itu yang akan dilakukan oleh tuan rumah tersebut jika suatu saat ia bertamu ke rumah saya.

Jika saya tidak makan maka orang tersebut tidak akan makan di rumah saya. Jika saya makan satu piring maka orang tersebut akan makan satu piring di rumah saya. Ada unsur balas dendam. Sadis juga.

Oleh karena itu, apapun yang terjadi, kita harus makan sebanyak dua piring, kecuali kita tidak akan kembali lagi. Jika suatu saat kita kembali maka wajib untuk makan sebanyak dua piring.

Mempersilahkan Sebelum Makan

Biasanya, dalam upacara-upacara adat untuk mempersilahkan orang Dawan membutuhkan ketulusan hati dan berulang-ulang kali. Ada istilah "Ta'auba" (versi orang Amanuban) yang berarti mempersilahkan.

Orang Dawan tidak akan makan jika kita hanya sekedar mempersilahkan. Apalagi ia memiliki kedudukan yang terpandang dalam sistem sosial. Hal ini, menurut orang lain, membosankan bahkan menjengkelkan karena masih tarik ulur waktu makan.

Meski budaya semacam ini sudah hampir punah, saya mengamati di beberapa tempat, ternyata masih berlaku hingga saat ini.  Terutama generasi-generasi non-milenial atau kolonial, meminjam istilah Karni Ilyas.

Menegur Sebelum Makan

Kebiasaan lainnya adalah tidak serta-merta kita mengambil makanan untuk makan. Setiap orang yang akan makan, wajib menegur semua orang yang ada terutama kepada ibu-ibu yang menyiapkan di dapur bahwa saatnya ia mulai makan.

Menegur disini tidak berarti ajakan untuk bercakap-cakap tetapi ajakan untuk makan bersama. Perlu diketahui, Suku Dawan menganut budaya patriarki sehingga dalam hal makan pun laki-laki lebih dulu makan.

Oleh karena itu, menegur sebelum makan adalah sebuah kewajiban atau tidak mengenal prinsip atas nama. Artinya bahwa kita tidak boleh makan dengan alasan teguran dari orang lain mengatasnamakan semua orang termasuk kita.

Hal tersebut merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap para perempuan yang sudah bersusah payah menyiapkan makanan. Laki-laki wajib mengajak para perempuan untuk makan bersama meskipun pada praktiknya para perempuan menunggu para laki-laki selesai makan barulah mereka makan.

Akan tetapi, prinsip ini tidak diketahui banyak orang sehingga kewajiban menegur sebelum makan dianggap tidak terlalu penting. Memang, masih berlaku tapi pemaknaannya semakin hari semakin berkurang.

Salam!!!

Mauelum, 12 Februari 2020

Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun