Itulah orang Dawan. Makan harus tambah (dua piring). Meskipun mereka tidak makan, yang terpenting mereka bisa layani tamu dan tamu pun makan sesuai dengan kehendak mereka (dua piring).Â
Kita boleh makan satu piring dengan syarat-syarat tertentu. Kita bukan masyarakat kampung tersebut dan kita juga tidak akan kembali lagi.
Misalnya, saya berkunjung ke salah satu rumah lalu saya disuguhkan makanan, apa yang saya lakukan, itu yang akan dilakukan oleh tuan rumah tersebut jika suatu saat ia bertamu ke rumah saya.
Jika saya tidak makan maka orang tersebut tidak akan makan di rumah saya. Jika saya makan satu piring maka orang tersebut akan makan satu piring di rumah saya. Ada unsur balas dendam. Sadis juga.
Oleh karena itu, apapun yang terjadi, kita harus makan sebanyak dua piring, kecuali kita tidak akan kembali lagi. Jika suatu saat kita kembali maka wajib untuk makan sebanyak dua piring.
Mempersilahkan Sebelum Makan
Biasanya, dalam upacara-upacara adat untuk mempersilahkan orang Dawan membutuhkan ketulusan hati dan berulang-ulang kali. Ada istilah "Ta'auba" (versi orang Amanuban) yang berarti mempersilahkan.
Orang Dawan tidak akan makan jika kita hanya sekedar mempersilahkan. Apalagi ia memiliki kedudukan yang terpandang dalam sistem sosial. Hal ini, menurut orang lain, membosankan bahkan menjengkelkan karena masih tarik ulur waktu makan.
Meski budaya semacam ini sudah hampir punah, saya mengamati di beberapa tempat, ternyata masih berlaku hingga saat ini. Â Terutama generasi-generasi non-milenial atau kolonial, meminjam istilah Karni Ilyas.
Menegur Sebelum Makan
Kebiasaan lainnya adalah tidak serta-merta kita mengambil makanan untuk makan. Setiap orang yang akan makan, wajib menegur semua orang yang ada terutama kepada ibu-ibu yang menyiapkan di dapur bahwa saatnya ia mulai makan.