Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Ibu-ibu Suku Dawan (Timor) Lebih Memilih Dukun Beranak?

29 Januari 2020   14:47 Diperbarui: 29 Januari 2020   16:05 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melahirkan | Merdeka.com

Praktek dukun beranak di Timor secara khusus masyarakat Suku Dawan sudah tidak ada lagi tetapi praktek-praktek ini seringkali dirindukan.

Jauh sebelum VOC (Belanda) dan Inggris mendirikan rumah sakit, masyarakat Indonesia sudah mengenal obat-obatan tradisional yang digunakan untuk pengobatan.

Pada umumnya, tidak semua orang memiliki kemampuan dalam pengobatan. Orang yang dipercaya dapat melakukan hal tersebut adalah dukun.

Suku Dawan di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengenal dukun dengan sebutan "Amnanet". Terdapat Amnanet yang memiliki kemampuan supranatural untuk menyembuhkan sebuah penyakit dengan bantuan obat-obat tradisional atau yang dikenal dengan istilah dukun jampi.

Banyak obat-obatan tradisional yang digunakan oleh dukun untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang kronis. Misalnya, beberapa jenis penyakit kelamin, tumor kandungan bahkan tulang patah sekalipun dapat disambung kembali.

Selain itu, ada pula dukun yang memiliki keahlian khusus untuk menolong seseorang yang hendak bersalin. Biasanya, dikenal dengan sebutan dukun bayi atau dukun beranak. Tidak sedikit juga yang menyebut dukun beranak sebagai bidan zaman dahulu.

Seringkali banyak ibu hamil yang memiliki kesulitan dalam proses persalinan. Kadangkala disebabkan oleh letak bayi yang tidak tepat. Dukun dengan keahliannya meluruskan bayi dalam kandungan dan membantu proses persalinan. Bahkan, saya menyaksikan beberapa kejadian dimana keluarnya bayi tidak sesuai dengan proses yang sebenarnya.

Salah satu tangan atau kaki dari bayi keluar terlebih dahulu, dukun dengan kemampuannya memasukkan kembali tangan bayi dan meluruskan posisi bayi sehingga proses persalinan kembali normal.

Ada pula, bayi meninggal dalam kandungan ibu. Tentunya ada kesulitan dalam proses melahirkan dan mengancam kematian ibu tetapi dapat di atasi oleh dukun beranak.

Ibu saya seringkali bercerita bahwa hal-hal seperti itu adalah "makanan ringan" kakek saya yang juga terkenal dengan keahlian dukun jampi dan dukun bayi hingga era 80-an.

Akan tetapi, praktek-praktek seperti ini dilakukan hingga tahun 2000-an dan saya merupakan salah satu orang yang dilahirkan dengan bantuan dukun beranak.

Awal tahun 2000-an, peran dukun beranak mulai bergeser setelah Indonesia mengalami tren kematian ibu dan anak. World Health Organization (WHO) memulai upaya penanganan kematian ibu dan anak yang sebenarnya sudah tren sejak abad ke-17.

Salah satu programnya adalah Perawatan Persalinan yang memastikan bahwa tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses persalinan memiliki pengetahuan, kemampuan, dan alat-alat kesehatan untuk mendukung persalinan yang aman; serta menjamin ketersediaan perawatan darurat bagi perempuan yang membutuhkan, terkait kasus-kasus kehamilan berisiko dan komplikasi kehamilan.

Praktek dukun beranak yang dinilai tidak memiliki pengetahuan, kemampuan, dan alat-alat kesehatan untuk menolong seorang ibu yang hendak bersalin.

Kehadiran puskesmas dan tenaga-tenaga kesehatan seperti bidan dan mantri (perawat) di pelosok-pelosok pun dimaksimalkan untuk
menggeser peran dukun secara umum.

Meski demikian upaya penempatan tenaga kesehatan dinilai tidak efektif sehingga pemerintah daerah turun tangan. Saya ingat betul upaya penggeseran peran dukun pun dilakukan secara paksa oleh Pemerintah Daerah (Pemda) yang bekerja sama dengan pemerintah setempat dengan menerbitkan aturan/larangan kepada praktek dukun beranak.

Upaya ini dilakukan bersamaan dengan upaya penghapusan proses persalinan di rumah bulat setelah kasus ISPA menjadi perhatian utama di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) (Basis Suku Dawan)

Baca: Ume Kbubu, RSIA Suku Dawan Tinggal Kenangan

Akan tetapi, seringkali saya mendengar keluhan dari beberapa ibu-ibu tentang penanganan rumah sakit dalam proses persalinan. Bukan tentang pelayanan rumah sakit yang tidak maksimal tetapi upaya melahirkan normal yang sudah jarang terjadi di rumah sakit menuai pro-kontra.

Di rumah sakit seringkali dilakukan proses operasi atau cesar untuk membantu proses ibu hamil yang sulit melahirkan. Padahal menurut mereka, ada kesulitan-kesulitan proses persalinan yang dinilai sangat gampang dilakukan oleh dukun.

Di sisi lain, biasanya, pemulihan membutuhkan waktu yang cukup lama. Bahkan, dilarang mengerjakan pekerjaan yang berat.

Hal ini bertolak belakang dengan budaya dan pekerjaan masyarakat Suku Dawan sebagai petani yang hidup menyatu dengan alam. Membersihkan kebun, mengambil kayu api, mengambil air di gunung dan sebagainya.

Seringkali ibu-ibu di Suku Dawan membandingkan proses persalinan tradisional dengan rumah sakit. Menurut mereka, proses persalinan tradisional membutuhkan waktu empat hari untuk kembali bekerja secara normal daripada proses persalinan di rumah sakit yang sering kali berujung pada operasi atau cesar yang membuat tugasnya sebagai ibu rumah tangga terbengkalai.

Masalah ini membawa saya untuk membuat sebuah konklusi bahwa praktek dukun beranak dan proses persalinan di rumah bulat disesuaikan dengan budaya dan filosofi kehidupan Suku Dawan yang hidup dengan didikan alam yang sangat keras.

Salam!!!

Mauleum, 29 Januari 2020

Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun