Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penggiat Budaya | Pekerja Sosial

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pro-kontra Tradisi "Sunat-Sifon" Suku Dawan (Timor)

22 Januari 2020   03:05 Diperbarui: 24 Januari 2020   02:49 14281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
refreshinglewatfoto.blogspot.com | By Elgyzel Glen Ndjukambani

Pertama, adanya kebutuhan seksual dari perempuan termasuk pada saat menjadi janda sehingga dengan melakukannya, perempuan memperoleh kepuasan seksual tersendiri.

Kedua, sebagai suku Dawan yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, perempuan merasa pantas melayani laki-laki yang ingin melakukan sifon. Artinya, adanya tindakan menolong pasien sunat untuk menyembuhkan luka sunat.

Ketiga, dorongan kebutuhan ekonomi. Beberapa orang memilih memberikan sejumlah uang kepada perempuan untuk melakukan sifon daripada menggunakan guna-guna.

Pemberian uang ini dinilai berhasil karena beberapa perempuan membutuhkan uang. Lagipula, ia akan dikenal sebagai perempuan yang selalu melayani sifon sehingga akan terus dipakai oleh laki-laki dengan ketentuan memberikan sejumlah uang.

Pro-Kontra Sunat-Sifon

Tradisi sunat-sifon merupakan tradisi sunat yang paling unik dan diyakini sebagai satu-satunya di dunia. Selain sebagai tanda kedewasaan dan pelabelan status pria sejati kepada laki-laki, Sunat-Sifon memiliki makna yang mendalam bagi Suku Dawan.

Akan tetapi, bambu yang digunakan untuk memotong kulup dianggap tidak steril sehingga memiliki peluang untuk menyebabkan infeksi dan kemungkinan lain seperti pecahan bambu yang dapat merobek organ intim yang lain.

Risiko di atas dianggap akan memicu penyakit yang lain pada saat melakukan hubungan seksual (ritual terakhir). Misalnya sifilis, gonore, hingga HIV bagi laki-laki dan perempuan.

Di sisi lain, budaya semacam ini dikecam oleh para aktivis kesetaraan jender bahwa hal tersebut menjadikan perempuan sebagai "bahan" eksploitasi seksual demi kepentingan kharisma seorang laki-laki. Secara tidak langsung, perempuan dijadikan sebagai budak seks.

Tidak kalah, agama pun mengecam Sunat-Sifon yang mengutamakan hubungan seksual (di luar pernikahan/perzinahan) ini sehingga upaya menghentikan tradisi sunat-sifon terus didengungkan.

Hal tersebut menjadi dilema tersendiri bagi para pegiat budaya. Akan tetapi, upaya-upaya tersebut membuahkan hasil. Meski tidak ada data valid, Sunat-Sifon oleh Suku Dawan saat ini diyakini tidak menyertakan ritual hubungan seksual lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun