Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus Wahyu Setiawan Membuka Tabir Lain

10 Januari 2020   02:43 Diperbarui: 10 Januari 2020   07:02 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OTT terhadap Wahyu Setiawan bukan hanya sebagai bukti racun dalam pesta demokrasi tetapi juga membuka tabir anggota legislatif kita

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengejutkan publik. Pasalnya, Tindakan Wahyu Setiawan menerima suap untuk penetapan anggota DPR-RI terpilih 2019-2024 dari PDIP ini dianggap mencederai demokrasi di Indonesia.

Menurut Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, OTT KPK yang menyeret komisioner KPU ini dilakukan setelah KPK mendapat informasi adanya transaksi dugaan permintaan uang dari Wahyu kepada Agustiani Tio Fridelina yang disebut sebagai orang kepercayaan Wahyu.

Seperti dilansir dari alinea.id, Wahyu menerima sejumlah uang dari permintaan dana operasional sebesar Rp900 juta untuk menetapkan Harun Masiku, kader PDIP sebagai pengganti antar waktu (PAW) almarhum Nazarudin Kiemas, Caleg Terpilih periode 2019-2024.

***

Indonesia sempat menjalani masa suram dalam dunia demokrasi selama lebih dari tiga dekade. Dibawah kepemimpinan Soeharto, prinsip otoriter mempengaruhi semua lembaga negara.

Demokrasi, paham yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara seakan tidak terasa lagi. Akibatnya, ketidakadilan terhadap kemanusiaan menjelma sebagai sebuah paham yang mesti dianut.

Suara rakyat yang dipercaya sebagai suara Tuhan tak didengar. Tak ada satupun yang mampu menyuarakan suara rakyat. Tahun 1998, reformasi pelengseran pemerintah yang otoriter dan penuntutan penegakan demokrasi berhasil dilakukan. Salah satunya tujuannya untuk menghilangkan prinsip otoriter di bumi Indonesia. Itu yang harus dipegang oleh legislatif, wakil rakyat yang dipercaya menyuarakan aspirasi masyarakat.

Untuk menghasilkan seorang wakil rakyat yang baik maka harus melalui sebuah proses yang baik pula. Karena itu, dibentuklah sebuah lembaga yang dipercaya menyelenggarakan pesta demokrasi yang jujur dan adil.

Komisi Pemilihan Umum (KPU), demikianlah nama yang disepakati untuk memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Hal tersebut merupakan faktor yang sangat penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat bukan duduk, diam, dengar dan pulang.

Komisi yang beranggotakan akademisi, peneliti dan birokrat (selain politisi) ini diharapkan memiliki integritas moral (jujur dan adil) dan membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat.

Rupanya, ada racun bagi pesta demokrasi selama ini. KPU yang dibentuk dengan harapan menyelenggarakan pesta demokrasi dengan jujur dan adil dinodai oleh keserakahan.

Integritas moral yang diharapkan pula tidak dimiliki. Bagaimana mungkin kita memiliki wakil rakyat yang benar-benar berjuang bagi rakyat, jika dihasilkan melalui sebuah proses yang tidak jujur dan adil?

Wahyu Setiawan sebagai komisioner KPU yang membidangi Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat seharusnya memberikan pendidikan demokrasi yang baik bagi pemilih. Mayoritas pemilih Indonesia yang masih membutuhkan pendidikan demokrasi diperparah oleh tindakan suap ini.

Bagaimana ia bisa memberikan sosialisasi dan pendidikan demokrasi yang mencerahkan publik sedangkan ia sendiri tidak menganut paham demokrasi itu?

Menarik untuk dicermati, Wahyu Setiawan merupakan komisioner KPU kelima yang jadi tersangka KPK. Rusadi Kantaprawira, Mantan anggota KPU ini divonis bersalah dan dipenjara selama empat tahun karena terbukti merugikan negara Rp 4,66 miliar dalam kasus pengadaan tinta pemilu tahun 2004. 

Mantan Ketua KPU, Nazaruddin Sjamsuddin dinyatakan bersalah dalam kasus pengadaan asuransi bagi petugas pemilu 2004 yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 14,1 miliar.

Mulyana W Kusuma, mantan anggota KPU dijatuhi vonis satu tahun tiga bulan pada tahun 2006 terkait kasus korupsi pengadaan kotak suara Pemilu 2004.

Daan Dimara, nantan anggota KPU ini divonis empat tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan korupsi dalam proyek pengadaan segel surat suara untuk pemilu legislatif.

***

Komisioner KPU memiliki tugas yang sangat penting, menciptakan pesta demokrasi yang berkualitas. Selain langsung, umum, bebas dan rahasia, pesta demokrasi harus dilaksanakan dengan jujur dan adil.

Ketika Komisioner KPU tak mampu menciptakan kejujuran dan keadilan dalam pesta demokrasi maka semua akan menjadi rusak. Wakil rakyat yang terpilih tidak akan berkualitas dan suara rakyat hanyalah suara burung, hanya bisa didengar tapi tidak direspon.

Oleh karena itu, OTT KPK terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan merupakan bukti proses menghasilkan wakil rakyat di Indonesia belum jujur dan adil. Kita tidak perlu heran jika kualitas-kualitas wakil rakyat kita meragukan. Lebih banyak mendengar elite politik daripada menyuarakan tangisan rakyat. Selain itu, lebih banyak 4D (duduk, diam, dengar, duit (uang)).

Salam!!

Neno Anderias Salukh

Referensi: Kompas TV; Kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun