Kematian Qassem Soleimani bukan hanya memicu Perang Dunia III, ada hal lain yang patut diwaspadai.
Salah satu tujuan utama Donald Trump dalam penyerangannya terhadap Qassem Soleimani adalah untuk melemahkan kekuatan Iran yang selalu memberi dukungan kepada kelompok-kelompok teroris termasuk ISIS.
Akan tetapi, tewasnya Qassem Soleimani dalam serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) bisa menjadi boomerang. Saat ini, kecaman datang dari berbagai negara seperti Rusia, Majelis Ulama Indonesia, Turki, Syria, China dan lain sebagainya. Apalagi menurut pengakuan senat AS, tidak ada rapat koordinasi dalam penyerangan yang dilakukan pada tanggal 03 Januari lalu.
Kecaman terhadap tindakan Amerika Serikat pun datang dari Irak yang merupakan sekutu AS dalam memerangi kelompok-kelompok teroris di wilayah Irak. Perdana Menteri Irak, Adil Abdul Mahdi menawarkan ke Parlemen Irak untuk mengusir tentara AS dari wilayahnya.
"Terlepas dari kesulitan internal dan eksternal yang mungkin kita hadapi, itu tetap yang terbaik untuk Irak secara prinsip dan praktis," kata perdana menteri sementara Adel Abdul Mahdi, yang mengundurkan diri pada November di tengah demonstrasi massa, dikutip dari Reuters, 6 Januari 2020.
Penawaran tersebut diterima dengan baik oleh Parlemen Irak dan akan menjadi resolusi untuk mengusir tentara AS dari Irak. Â Disisi lain, Iran sudah merencanakan pembalasan kepada AS yang telah membunuh Jenderal Top-nya.
Pengangkatan  Esmail Ghaani menggantikan Qassem Soleimani dan merupakan awal dari amukan Iran. Hal tersebut merupakan ketegangan serius dan terancam menciptakan perang dunia ketiga.
Lalu apakah benar-benar akan terjadi Perang Dunia Ketiga? Terlalu dini untuk dijawab tetapi keputusan AS membunuh Qassem Soleimani dapat memicu pertumbuhan ISIS di Timur Tengah.
ISIS merupakan kelompok ekstrimis yang memulai gerakannya pada tahun 2014 dan hampir menguasai sebagian besar wilayah Irak dan Suriah. Tercatat, sekitar 88.000 hektar tanah Irak dan Suriah dikuasai oleh kelompok militan tersebut.
Oleh karena itu, dengan bantuan AS, Irak dan Suriah berhasil merebut kembali sebagian besar wilayahnya. Terakhir kalinya pada tanggal 23 Maret 2018, jantung pertahanan ISIS yang terakhir di Baghuz, Suriah pun direbut kembali sehingga ISIS dinyatakan kalah oleh Pasukan Demokratif Suriah (SDF)
Pasca kekalahan ISIS, Presiden AS, Donald Trump mengatakan bahwa AS akan tetap waspada terhadap ISIS. Kewaspadaan inilah yang terus dilakukan terutama kewaspadaan terhadap Iran yang diduga sebagai pendukung utama ISIS.
Dibawah kepemimpinan Qassem Soleimani, Pasukan Quds yang juga di duga sebagai salah satu sayap militer terkuat yang mendukung ISIS tak terhentikan. Negosiasi pun tak kunjung usai.
Karena itu, Donald Trump geram dan membuat keputusan sepihak untuk membunuh kekuatan Pasukan Quds dengan menewaskan Qassem Soleimani.
Menurut penulis, protes Irak dan rencana pengusiran AS dari wilayah Irak dan Suriah akan menjadi momentum kebangkitan ISIS di wilayah tersebut. Pasalnya, melemahnya kekuatan ISIS dalam beberapa tahun terakhir tidak terlepas dari bantuan kekuatan AS.
Oleh karena itu, Donald Trump harus menyiapkan strategi yang lain untuk menghentikan pengusiran AS dari wilayah Irak jika tujuannya adalah untuk membunuh sel-sel tidur ISIS.
Akan tetapi, akan sangat sulit bagi Donald Trump menyiapkan strategi selain senjata jika akhirnya Iran memutuskan untuk menghancurkan pasukan-pasukan AS. Karena saat ini sangat sulit jika negosiasi dipakai sebagai langkah terakhir untuk mendamaikan Iran dan AS.Â
Apakah ketegangan ini terbatas pada serangan-serangan biasa ataukan akan memicu world war III dan kebangkitan ISIS?
Mari kita menyimak!!!
Referensi: Satu;
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H