Â
Beri aku satu brigade Basij, dan aku bisa menaklukkan seluruh negeri.-Qassem Soleimani
Munculnya Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) di Irak mengganggu keamanan dunia. Irak yang sempat dikuasai oleh ISIS dibantu oleh Amerika Serikat (AS) dan berhasil memukul mundur ISIS dalam upaya kekuasaannya di Irak dan Suriah.
Iran yang disebut mendukung ISIS membenci sikap Amerika Serikat yang dinilai ikut campur. Perang dingin antara Iran dan AS tidak begitu terlihat sehingga Donald Trump sebagai orang nomor satu AS secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015Â dan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran yaitu melarang produksi Nuklir.
Ketegangan ini terus meningkat, antara Iran dan AS tidak ada yang ingin mengalah dalam negosiasi. Pada tanggal 27 Desember 2019, Pangkalan Udara K-1 di provinsi Kirkuk, Irak diserang oleh lebih dari 30 roket yang menewaskan seorang kontraktor sipil AS, melukai empat tentara AS dan dua personel pasukan keamanan Irak.
Kejadian tersebut dicurigai sebagai inisiasi kelompok milisi Kata'ib Hezbollah. Karena itu, Donald Trump geram. Tanggal 29 Desember 2019, Amerika Serikat menyerang lima posisi Kata'ib l Hezbollah di wilayah Irak dan Suriah dengan jet tempur F-15E menggunakan bom yang dipandu dengan presisi.
Serangan udara tersebut mengakibatkan setidaknya 25 pejuang milisi terbunuh dan 55 luka-luka termasuk empat komandan Kata'ib Hezbollah. Serangan tersebut disebut sebagai tindakan pertahanan AS terhadap tindakan Iran yang menyerang masyarakat sipil AS.
Meresponi peristiwa tersebut, demonstran asal Irak yang pro Iran menyerbu kedutaan besar AS di Irak. AS menuduh Iran sebagai sutradara dalam penyerangan kedutaan besar mereka agar Irak dapat mengusir Amerika atau memutuskan hubungan antar negara.
Oleh karena itu, tanpa sepengetahuan DPR AS, Donald Trump merencanakan penyerangan rahasia. Pada tanggal 03 Januari 2020, serangan rudal di bandara Baghdad, Irak, yang dilakukan oleh AS menewaskan setidaknya 8 orang. Serangan yang terjadi tiga hari setelah massa pendukung Hashed menyerbut Kedutaan Besar AS di Baghdad ini menewaskan seorang Jenderal Top asal Iran, Qassem Soleimani.
Keputusan untuk membunuh Mayor Jenderal ini merupakan sebuah keputusan yang sangat sulit. Pasalnya kematiannya akan menimbulkan konflik besar. Benar, saat ini Iran menyiapkan strategi balas dendam. Selain itu, AS mendapat kecaman dari beberapa negara seperti Perancis dan Rusia.
Lalu mengapa Qassem Soleimani harus dibunuh? Pria yang juga disapa Ghasem Soleimani merupakan perwira militer senior Iran dalam Pasukan Pengawal Revolusi Islam (IRGC), cabang militer terbesar di Militer Iran. Qassem merupakan Panglima Pasukan Quds atau pasukan khusus (cabang) dari pasukan bermotto "Bersiap melawan mereka dengan kekuatan yang kau bisa" ini.
AS mencurigai tiga agenda yang dilakukan oleh Pasukan Quds. Pertama, Pasukan Quds disebut sebagai instrumen utama rezim Iran untuk memberikan dukungan mematikan kepada kelompok-kelompok Taliban untuk mendukung kegiatan anti-AS dan anti-Koalisi di Afghanistan.
Kedua, Pasukan Quds memiliki sejarah panjang dalam mendukung kegiatan militer, paramiliter, dan teroris Hizballah dengan memberikan bimbingan, pendanaan, senjata, intelijen, dan dukungan logistik.
Ketiga, Pasukan Quds memberikan dukungan mematikan dalam bentuk senjata, pelatihan, pendanaan, dan panduan untuk memilih kelompok-kelompok militan Syiah Irak seperti ISIS untuk membunuh koalisi dan pasukan Irak serta warga sipil Irak yang tidak bersalah.
Kecurigaan inilah yang terus membuat AS terus mengintai keberadaan Pasukan Quds. Rupanya, kekuatan pasukan khusus dibawah kepemimpinan Qassem Soleimani tidak dapat dipandang sebelah mata. Intervensi militer dengan penanaman ideologi dan strategi diplomasi yang keras kepala identik dengan kepemimpinan Qassem Soleimani.
Selain itu, ia memiliki pengaruh politik dan militer di Irak melalui partai politik Syiah dan Kurdi, yang memberontak terhadap Saddam Hussein pada Pemberontakan Irak 1991.
Dexter Filkins dalam Artikelnya berjudul Komando Bayangan di The New Yorker menulis bahwa seorang mantan perwira CIA menyebut Qassem Soleimani, kepala Pasukan Quds Iran sebagai pemimpin paling berpengaruh di Timur Tengah saat ini. Hal tersebut terlihat dari operasi Quds yang disebut sebagai operasi paling kuat di Timur Tengah. Salah satu kalimat terkenalnya adalah "Beri aku satu brigade Basij, dan aku bisa menaklukkan seluruh negeri".
Oleh karena itu, menurut penulis, pembunuhan terhadap Qassem Soleimani adalah upaya AS untuk melemahkan Iran yang dinilai tidak mengalah dalam negosiasi.
Salam!!!
Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima; Enam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H