Kompasiana bukan tempat memamerkan tulisan untuk sebuah kesombongan tetapi tempat memajang tulisan-tulisan unik dan menarik yang menginspirasi.
Itulah testimoni saya tentang Kompasiana yang menjadi wadah untuk menampung suara-suara aneh dari hati dan pikiran saya. Kini, Kompasiana bukan hanya sekedar tempat saya berbagi tulisan tetapi ibarat sebuah sekolah, tempat saya belajar banyak hal.
Kompasiana adalah komunitas yang tak pernah saya temukan sebelumnya. Disini, ribuan orang hadir untuk berbagi informasi, cerita dan berbagai kisah inspiratif yang menambah wawasan bagi semua orang termasuk saya.
Kompasiana menghadirkan penulis-penulis hebat yang rendah hati. Mereka menghabiskan waktu untuk berbagi melalui tulisan-tulisan sederhana yang menarik. Bahkan, yang saya rasakan adalah memberikan rating dan komentar untuk setiap tulisan receh yang saya posting.
Tanpa sadar, tulisan-tulisan para kompasioner dan komentar-komentar serta penilaian yang mereka berikan mengantarkan saya untuk meraih sebuah penghargaan yang luar biasa bagi saya. Selama hidup, saya tidak pernah mengalaminya. Terima kasih untuk itu.
Tahun 2019 adalah perjalanan yang paling berkesan selama saya menulis di Kompasiana. Berawal dari artikel saya berjudul "Mengenal Mamat, Budaya Orang Timor Makan Sirih Pinang" mendapat label artikel utama.
Sebagai pemula di Kompasiana, saya merasa senang dan bangga karena artikel saya ditempatkan di posisi yang memungkinkan untuk dibaca oleh banyak orang. Sejak saat itu, gairah menulis mulai bangkit. Saya mencoba menulis di beberapa rubrik termasuk politik.
Bulan maret menjelang pemilihan presiden 2019, saya menulis sebuah artikel berjudul "Tsunami Politik tidak bisa menenggelamkan Jokowi" mendapat label artikel utama dengan viewers yang cukup gemuk bagi seorang pemula.
Berdasarkan kedua artikel ini saya memilih untuk lebih banyak menulis di rubrik budaya dan politik. Budaya-budaya Timor Dawan yang tidak banyak diekspos mendorong saya untuk menceritakannya di Kompasiana. Ide-ide saya tentang politik di Indonesia juga saya rasa harus ditulis meski belum sebagus pemerhati politik Yon Bayu, Susi Haryawan, Ajinata dan kompasioner lainnya.
Keputusan ini berbuah manis. Tidak sedikit tulisan-tulisan saya tentang budaya suku Dawan diberi label Artikel Utama. Begitupun beberapa artikel politik meskipun yang menjadi headline masih kurang dari jumlah yang saya tulis.
Saya tetap konsisten menulis tentang politik dan budaya dan beberapa artikel saya di rubrik yang lain seperti edukasi dan rubrik lainya.