Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Airlangga vs Bamsoet adalah Imbas

4 Desember 2019   23:37 Diperbarui: 4 Desember 2019   23:40 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perebutan Kursi Ketum Golkar Antara Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto (Poskota)

Persaingan perebutan kursi ketua umum Partai Golkar antara Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo adalah imbas

Persaingan perebutan kursi ketua umum Partai Golkar tidak terlepas dari beberapa masalah serius yang dihadapi oleh Partai Golkar saat ini. Bambang Soesatyo yang sudah mundur dari bursa pencalonan kursi ketua umum sebelumnya bersikeras untuk menjadi pesaing utama Airlangga.

Ngototnya Bamsoet tidak terlepas dari "kegagalan" Airlangga Hartarto memimpin Golkar beberapa tahun terakhir ini. Memang sulit bagi kita untuk percaya bahwa di masa kepemimpinan Airlangga Hartarto terdapat sejumlah kegagalan fatal.

Oleh karena itu, kita harus melihat kembali beberapa prestasi, kegagalan dan gejolak yang dialami Partai Golkar dalam beberapa tahun terakhir.

Pada pemilihan legislatif tahun 2009, Golkar dibawah kepemimpinan Jusuf Kalla mendapat 15.037.757 suara (14,5%) dan mendapatkan 107 kursi di DPR. Perolehan suara dan kursi tersebut hanya kalah dari Partai Demokrat.

Pada tahun yang sama, Jusuf Kalla harus mengakui kekalahannya dari SBY dalam pemilihan presiden. Pasca kekalahannya, Kursi ketua umum Golkar diambil alih oleh Aburizal Bakrie. Dibawah kepemimpinan Bakrie, pada pemilu 2014, Golkar masih tetap mempertahankan posisinya setelah mendapat  suara sebanyak 18.432.312 (14,75%).

Setelah era Aburizal Bakrie, terjadi sebuah gejolak dan persoalan serius dalam tubuh Golkar. Dari tahun 2014-2016 persoalan tersebut menimbulkan dualisme kepemimpinan dalam Partai Golkar. Salah satu kubu mengadakan Munas di Bali dan memilih Aburizal Bakrie sebagai Ketum Golkar sedangkan kubu lainnya mengadakan Munas di Jakarta memilih Agung Laksono.

Akan tetapi, setelah mantan Ketum Golkar, Jusuf Kalla memimpin semangat rekonsiliasi antara dua kubu tersebut pada tahun 2016, semua setuju untuk mengakhiri semua gejolak dan polemik dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa di Bali.

Karena itu, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono legowo untuk partai berlambang beringin ini dipimpin oleh figur lain dari partai. Saat itu, kursi ketua umum diperebutkan secara ketat oleh Ade Komarudin dan Setya Novanto. Dari total 544 suara yang diperebutkan, Setya Novanto meraih 277 suara atau 50% + 5 suara dan keluar sebagai pemenang karena memenuhi syarat perolehan suara 50%+1.

Ada ekspektasi baru dari semua kader Partai Golkar terhadap Setya Novanto untuk membuat kondisi partai kembali kondusif. Harapan lainnya, Setya Novanto mempertahankan prestasi Golkar atau mengembalikan kejayaan Golkar.

Namun, harapan tersebut ibarat diukir di atas pasir. Hilang dihapus air dan ditiup angin setelah Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Setya Novanto mundur dari kursi ketua umum Partai Golkar dan digantikan oleh Airlangga Hartarto.

Kesannya Airlangga menerima tongkat estafet secara paksa untuk menyelamatkan nasib partai. Airlangga memikul beban yang jatuh dari pundak Setya Novanto, menjaga keutuhan partai dan mempertahankan dan meningkatkan prestasi bahkan kalau bisa mengembalikan kejayaan Golkar.

Akan tetapi, dari sisi prestasi, Golkar harus mengakui keunggulan PDI-P dan Gerindra dalam perolehan suara pada pemilihan legislatif 2019. Golkar hanya mampu meraih suara sebanyak 17.229.789 (12,31%) atau kurang sekitar 2% dari pemilu sebelumnya.

Dalam persaingan perebutan kursi ketua umum, Bamsoet bertekad mengembalikan Golkar kepada cita-cita para pendirinya, menjadikan Golkar sebagai rumah bagi keluarga besar purnawirawan TNI/Polri, mempersatukan kembali tiga kekuatan ormas pendiri Golkar, yaitu SOKSI, MKGR, dan Kosgoro, kemudian merangkul seluruh kader muda Partai Golkar sehingga tidak dengan mudah beralih ke partai yang lain.

Melihat tekat Ketua MPR ini maka saya menyimpulkan bahwa Golkar sedang mengalami tiga masalah penting yang menyebabkan prestasinya menurun. Pertama, Golkar tidak lagi menjadi rumah bagi purnawirawan TNI dan Polri. Kedua, tiga ormas yang menjadi kekuatan Golkar pecah. Ketiga, banyak kader muda yang keluar dari partai.

Memang sangat masuk akal jika ketiga hal di atas diklaim sebagai penyebab menurunnya prestasi Partai Golkar. Golkar bukan lagi rumah bagi kader yang berkualitas untuk bisa menarik simpati rakyat.

Tentunya Airlangga Hartarto yang menjabat sebagai ketua umum akan dituduh sebagai biang kerok dari ini semua. Kalaupun tidak, Airlangga tidak menjawab persoalan-persoalan yang sedang dialami oleh partai.

Oleh karena itu, dasar atau alasan perebutan kursi ketua umum Partai Golkar antara Airlangga dan Bamsoet adalah persoalan-persoalan tersebut. Akan tetapi, mantan wakil presiden Indonesia sekaligus mantan ketua umum Partai Golkar, Jusuf Kalla menilai bahwa persoalan yang sedang dihadapi dan kegagalan yang dialami oleh Golkar adalah ulah Setya Novanto.

Menurut Jusuf Kalla, keterlibatan Setya Novanto dalam kasus e-KTP menjadi masalah serius yang menghancurkan citra Partai Golkar di mata publik.

"Ternyata dia (Novanto) biangnya. Semua pada tahu itu, dibanding sekarang, akhirnya nama partai kena sekarang akibat Novanto," kata mantan Ketua Umum Partai Golkar itu dalam sebuah diskusi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (3/12/2019).

Jusuf Kalla mengetahui dengan baik perjalanan Setya Novanto yang terlibat dalam banyak kasus korupsi. Oleh karena itu, dirinya sudah menolak Setya Novanto untuk menjadi figur penting dalam Partai Golkar.

Nah, apakah benar bahwa Novanto merupakan biang kerok menurunnya prestasi Golkar? Ataukah kegagalan Airlangga Hartarto dalam mengembalikan kejayaan Golkar dengan merangkul kembali tiga kekuatan dasar Golkar?

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) kepada 1200 responden dengan metode multi stage random sampling di 33 provinsi pada tanggal 5-10 September 2011 terkait dengan citra politisi di mata publik.

Survei dengan margin error 2,9 persen ini menghasilkan kesimpulan bahwa citra politisi menurun di mata publik dimana hanya 23,4 persen yang menilai kinerja politisi baik.

"Responden yang melihat secara positif terhadap politisi tahun ini hanya 23,4 persen padahal ditahun 2005 ada 44,2 persen yang menilai kerja politisi masih relatif baik. Jadi dalam waktu enam tahun citra politisi turun hingga 21 persen," kata Peneliti LSI, Ardian Sopa kepada wartawan BBC Indonesia, Andreas Nugroho.

Penyebabnya adalah korupsi. Terdapat sejumlah kasus korupsi yang melibatkan politisi baik di pusat dan di daerah, terdapat aktor baru dalam korupsi politik saat ini dan adanya media sosial dan media online yang menyebarkan informasi tentang kasus korupsi dengan cepat.

Meski survei ini dilakukan pada tahun 2011, survei ini sebagai bukti yang dapat digunakan bertahun-tahun bahwa korupsi menyebabkan citra politisi di mata publik sangat buruk.

Untuk kasus Setya Novanto, bukan hanya citra dirinya yang rusak di mata publik tetapi sebagai ketua umum Partai Golkar, korupsi yang dilakukan merusak citra partainya sendiri. Adalah hal yang masuk akal jika pemimpin korupsi maka bawahan pasti korupsi karena terjadi kehilangan otoritas pemimpin untuk menegur kesalahan bawahan.

Disisi lain, orang mengibaratkan pemimpin sebagai kepala ular yang bergerak zig-zag kemana saja, badan dan ekornya akan mengikuti arahnya atau tidak mencari jalan lain. Artinya bahwa apa yang dilakukan oleh pemimpin, pasti diikuti oleh semua bawahnya.

Perbuatan Setya Novanto seolah-olah mewakili Partai Golkar. Kader yang tidak korupsi dianggap korupsi dan sebagainya. Oleh karena itu, saya sepakat dengan pendapat Jusuf Kalla bahwa Setya Novanto merusak citra Golkar yang berakibat pada penurunan prestasi.

Hal yang perlu disyukuri oleh Golkar adalah sebagian besar masyarakat Indonesia belum paham soal ini sehingga mereka memilih tanpa ada pertimbangan yang matang. Selain itu, kader-kader partai yang lain masih bisa dipercaya oleh masyarakat Indonesia.

Mungkin hal ini yang kembali ditelisik oleh Bamsoet dan para senior Golkar sehingga persaingan perebutan kursi ketua umum berakhir dengan mundurnya Bamsoet dari bursa pencalonan.

Salam!!!

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun