Kesannya Airlangga menerima tongkat estafet secara paksa untuk menyelamatkan nasib partai. Airlangga memikul beban yang jatuh dari pundak Setya Novanto, menjaga keutuhan partai dan mempertahankan dan meningkatkan prestasi bahkan kalau bisa mengembalikan kejayaan Golkar.
Akan tetapi, dari sisi prestasi, Golkar harus mengakui keunggulan PDI-P dan Gerindra dalam perolehan suara pada pemilihan legislatif 2019. Golkar hanya mampu meraih suara sebanyak 17.229.789 (12,31%) atau kurang sekitar 2% dari pemilu sebelumnya.
Dalam persaingan perebutan kursi ketua umum, Bamsoet bertekad mengembalikan Golkar kepada cita-cita para pendirinya, menjadikan Golkar sebagai rumah bagi keluarga besar purnawirawan TNI/Polri, mempersatukan kembali tiga kekuatan ormas pendiri Golkar, yaitu SOKSI, MKGR, dan Kosgoro, kemudian merangkul seluruh kader muda Partai Golkar sehingga tidak dengan mudah beralih ke partai yang lain.
Melihat tekat Ketua MPR ini maka saya menyimpulkan bahwa Golkar sedang mengalami tiga masalah penting yang menyebabkan prestasinya menurun. Pertama, Golkar tidak lagi menjadi rumah bagi purnawirawan TNI dan Polri. Kedua, tiga ormas yang menjadi kekuatan Golkar pecah. Ketiga, banyak kader muda yang keluar dari partai.
Memang sangat masuk akal jika ketiga hal di atas diklaim sebagai penyebab menurunnya prestasi Partai Golkar. Golkar bukan lagi rumah bagi kader yang berkualitas untuk bisa menarik simpati rakyat.
Tentunya Airlangga Hartarto yang menjabat sebagai ketua umum akan dituduh sebagai biang kerok dari ini semua. Kalaupun tidak, Airlangga tidak menjawab persoalan-persoalan yang sedang dialami oleh partai.
Oleh karena itu, dasar atau alasan perebutan kursi ketua umum Partai Golkar antara Airlangga dan Bamsoet adalah persoalan-persoalan tersebut. Akan tetapi, mantan wakil presiden Indonesia sekaligus mantan ketua umum Partai Golkar, Jusuf Kalla menilai bahwa persoalan yang sedang dihadapi dan kegagalan yang dialami oleh Golkar adalah ulah Setya Novanto.
Menurut Jusuf Kalla, keterlibatan Setya Novanto dalam kasus e-KTP menjadi masalah serius yang menghancurkan citra Partai Golkar di mata publik.
"Ternyata dia (Novanto) biangnya. Semua pada tahu itu, dibanding sekarang, akhirnya nama partai kena sekarang akibat Novanto,"Â kata mantan Ketua Umum Partai Golkar itu dalam sebuah diskusi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (3/12/2019).
Jusuf Kalla mengetahui dengan baik perjalanan Setya Novanto yang terlibat dalam banyak kasus korupsi. Oleh karena itu, dirinya sudah menolak Setya Novanto untuk menjadi figur penting dalam Partai Golkar.
Nah, apakah benar bahwa Novanto merupakan biang kerok menurunnya prestasi Golkar? Ataukah kegagalan Airlangga Hartarto dalam mengembalikan kejayaan Golkar dengan merangkul kembali tiga kekuatan dasar Golkar?