Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Airlangga vs Bamsoet adalah Imbas

4 Desember 2019   23:37 Diperbarui: 4 Desember 2019   23:40 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) kepada 1200 responden dengan metode multi stage random sampling di 33 provinsi pada tanggal 5-10 September 2011 terkait dengan citra politisi di mata publik.

Survei dengan margin error 2,9 persen ini menghasilkan kesimpulan bahwa citra politisi menurun di mata publik dimana hanya 23,4 persen yang menilai kinerja politisi baik.

"Responden yang melihat secara positif terhadap politisi tahun ini hanya 23,4 persen padahal ditahun 2005 ada 44,2 persen yang menilai kerja politisi masih relatif baik. Jadi dalam waktu enam tahun citra politisi turun hingga 21 persen," kata Peneliti LSI, Ardian Sopa kepada wartawan BBC Indonesia, Andreas Nugroho.

Penyebabnya adalah korupsi. Terdapat sejumlah kasus korupsi yang melibatkan politisi baik di pusat dan di daerah, terdapat aktor baru dalam korupsi politik saat ini dan adanya media sosial dan media online yang menyebarkan informasi tentang kasus korupsi dengan cepat.

Meski survei ini dilakukan pada tahun 2011, survei ini sebagai bukti yang dapat digunakan bertahun-tahun bahwa korupsi menyebabkan citra politisi di mata publik sangat buruk.

Untuk kasus Setya Novanto, bukan hanya citra dirinya yang rusak di mata publik tetapi sebagai ketua umum Partai Golkar, korupsi yang dilakukan merusak citra partainya sendiri. Adalah hal yang masuk akal jika pemimpin korupsi maka bawahan pasti korupsi karena terjadi kehilangan otoritas pemimpin untuk menegur kesalahan bawahan.

Disisi lain, orang mengibaratkan pemimpin sebagai kepala ular yang bergerak zig-zag kemana saja, badan dan ekornya akan mengikuti arahnya atau tidak mencari jalan lain. Artinya bahwa apa yang dilakukan oleh pemimpin, pasti diikuti oleh semua bawahnya.

Perbuatan Setya Novanto seolah-olah mewakili Partai Golkar. Kader yang tidak korupsi dianggap korupsi dan sebagainya. Oleh karena itu, saya sepakat dengan pendapat Jusuf Kalla bahwa Setya Novanto merusak citra Golkar yang berakibat pada penurunan prestasi.

Hal yang perlu disyukuri oleh Golkar adalah sebagian besar masyarakat Indonesia belum paham soal ini sehingga mereka memilih tanpa ada pertimbangan yang matang. Selain itu, kader-kader partai yang lain masih bisa dipercaya oleh masyarakat Indonesia.

Mungkin hal ini yang kembali ditelisik oleh Bamsoet dan para senior Golkar sehingga persaingan perebutan kursi ketua umum berakhir dengan mundurnya Bamsoet dari bursa pencalonan.

Salam!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun