Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Atola", Budaya Berbahasa Amanuban (Dawan-Timor) yang Hampir Punah

15 November 2019   11:31 Diperbarui: 22 Januari 2020   06:59 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Natoni Adat dilakukan oleh siswa-siswi SMPN SATU ATAP OEMASI

Atola adalah salah satu budaya berbahasa yang memiliki makna penting dalam budaya berbahasa Orang Amanuban. Namun, budaya tersebut sudah hampir punah.

Nusa Tenggara Timur yang terdiri dari beragam suku memiliki banyak bahasa daerah. Salah satu bahasa yang yang paling banyak penuturnya adalah Bahasa Dawan. Menurut catatan sejarah, penutur Bahasa Dawan mencapai 600.000 penutur.

Meski demikian, dialeg dan logat setiap setiap sub-suku di Suku Dawan memiliki perbedaan. Sub-suku di Timor Tengah Selatan (Amanuban, Amanatun dan Mollo) dengan dialeg dan logatnya, begitu pun sub-suku lainnya seperti di Timor Tengah Utara (Miomafo, Biboki dan Insana) dan sebagian sub-suku Kota dan Kabupaten Kupang (Kopas, Timaus, Amfoang, Sonba'i dan Nairasis) termasuk sub-suku di Oecusse, Timor Leste (Ambeno).

Dari perbedaan dialeg tersebut, Suku Dawan tidak lagi dikelompokkan berdasarkan kerajaan tetapi di kelompok sesuai dengan dialeg masing-masing karena terdapat beberapa sub-suku yang memiliki kesamaan dialeg.

Dawan R adalah orang-orang Amarasi yang terletak di Kabupaten Kupang dan beberapa di Kabupaten Malaka, Dawan J seperti orang-orang Mollo dan Dawan L seperti orang-orang Amanuban .

Dialeg Dawan R identik dengan setiap huruf L diganti dengan huruf R begitupun sebaliknya dialeg Dawan L identik dengan setiap huruf L diganti dengan huruf R. Misalnya "Reko" menjadi "Leko" dan sebaliknya yang berarti "Baik". Sedangkan Dawan J identik dengan mayoritas kata yang diucapkan mengandung huruf J. Misalnya "Bia" atau "Bie" menurut orang Amanuban sedangkan menurut orang Mollo "Bijae" yang berarti Sapi.

Namun demikian, dialeg Amanuban dalam Uab Meto memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan dialeg Dawan yang lain. Perbedaan ini terletak pada cara menuturkannya. Awalnya, saya pikir sama tetapi setelah mengunjungi beberapa sub-suku termasuk mencoba berdialog dengan mereka, saya menemukan perbedaan tersebut.

Orang Amanuban selalu menambah beberapa kata disetiap akhir kalimat atau kata yang diucapkan. Menurut cerita para orang tua, budaya berbahasa seperti itu adalah bahasa kerajaan atau yang digunakan dalam pembicaraan dengan raja, dikenal dengan istilah "Atola".

"Atola" adalah memperlakukan lawan bicara layaknya seorang raja dan menandakan kerendahan hati seseorang dalam berbicara. Atola menunjukkan bahwa orang yang berbicara menghormati dan menghargai lawan bicara. Itulah yang diajarkan oleh para nenek moyang kami.

Menarik, orang yang tidak mampu melakukan "Atola", akan dianggap sebagai orang "bodoh" karena tidak menunjukkan kerendahan hati dalam berbicara.

Adapun kata-kata yang sering digunakan disetiap akhir kalimat sebagai bentuk "Atola" adalah seperti "Pah" yang merupakan kata yang paling sering digunakan disetiap akhir kalimat maupun kata yang diucapkan. Misalnya "He" yang berarti "ia" dianggap tidak sopan oleh orang Amanuban. Harusnya ditambah dengan "Pah" menjadi "He Pah". Selain itu, "Ahoit", "Pah" + "Tuan" (Pahtuan), "Ahoit" + "Alalat" (Ahoit Alalat), "Manapinat", "Neno Anan".

Kata-kata tersebut bisa diartikan sebagai "yang mulia". Misalnya "Au fanien Ahoit", "Au fanien Pahtuan", "Au fanien Ahoit Pah" dan seterusnya yang berarti "Saya permisi pulang, yang mulia".

Menarik, "Atola" disertai dengan gerakan. Ketika berbicara posisi tangan seperti menyembah atau memohon dengan posisi menunduk atau tidak memandang lawan bicara.

Gaya berbicara seperti ini adalah komunikasi dengan raja. Ya, pada zaman dahulu, berbicara dengan Raja Amanuban tidak dapat dilakukan dengan menatap mata raja.

Inilah yang kemudian diterapkan oleh seluruh orang di Amanuban untuk setiap lawan bicara tanpa melihat usia dan derajat sosial. Akan tetapi, pada umumnya "Atola" paling diterapkan pada saat berbicara dengan keturunan raja atau orang yang memiliki usia lebih tua dan derajat sosial yang lebih tinggi.

Dulu saat saya masih kecil, orang tua saya selalu mengajarkan "Atola" apalagi kami turunan temukung, garis kerajaan yang setara dengan kepala desa saat ini sehingga ketika saya berbicara tanpa menggunakan "Pah" dan lainnya apalagi lawan bicara lebih tua secara usia dan status sosial maka saya akan ditegur oleh orang tua saya.

Ironisnya, budaya berbahasa orang Amanuban ini seakan termakan zaman. Saya menemukan 9 dari 10 orang anak-anak zaman sekarang tidak melestarikan budaya berbahasa seperti itu. Bahkan, berbicara dengan orang tua, guru dan sebagainya, mereka tidak menggunakan "Atola" lagi.

Berdasarkan pengalaman saya, terdapat  faktor yang menggeser budaya "Atola". Bahasa Dawan atau Uab Meto yang tidak wajib lagi bagi orang Timor. Saya menemukan tidak sedikit orang Timor yang tidak bisa berbahasa Dawan apalagi mereka yang hidup di Kota. Bahasa Dawan dianggap sebagai bahasa orang kampung (desa).

Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erna Suminar, Dosen Universitas Kebangsaan dalam jurnalnya berjudul "Komunikasi dan Identitas Kultural Remaja Suku Dawan di Kota Kupang, Timor Barat, Nusa Tenggara Timur".

Dalam jurnalnya tersebut, ia menemukan bahwa remaja Suku Dawan mencari cara untuk tampil berbeda dibandingkan sebelumnya. Tujuannya untuk memperlihatkan identitas dirinya yang baru sebagai bagian dari gaya hidup di kota besar. 

Seringkali, percakapan mereka menggunakan bahasa pergaulan Melayu Kupang atau Bahasa Indonesia, yang dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan bahasa Dawan yang dianggap kampungan.

Stigma yang terlanjur dibangun tersebut membuat mereka yang berasal dari kampung gengsi berbahasa Dawan. Keinginan belajar hanya sedikit sehingga berbahasa Dawan tidak dipelajari secara utuh. Akibatnya, Atola pun tidak bisa dilakukan karena "Atola" hanya bisa dilakukan oleh orang yang lancar berbahasa Dawan.

Salam!!!

Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun