Kata-kata tersebut bisa diartikan sebagai "yang mulia". Misalnya "Au fanien Ahoit", "Au fanien Pahtuan", "Au fanien Ahoit Pah" dan seterusnya yang berarti "Saya permisi pulang, yang mulia".
Menarik, "Atola" disertai dengan gerakan. Ketika berbicara posisi tangan seperti menyembah atau memohon dengan posisi menunduk atau tidak memandang lawan bicara.
Gaya berbicara seperti ini adalah komunikasi dengan raja. Ya, pada zaman dahulu, berbicara dengan Raja Amanuban tidak dapat dilakukan dengan menatap mata raja.
Inilah yang kemudian diterapkan oleh seluruh orang di Amanuban untuk setiap lawan bicara tanpa melihat usia dan derajat sosial. Akan tetapi, pada umumnya "Atola" paling diterapkan pada saat berbicara dengan keturunan raja atau orang yang memiliki usia lebih tua dan derajat sosial yang lebih tinggi.
Dulu saat saya masih kecil, orang tua saya selalu mengajarkan "Atola" apalagi kami turunan temukung, garis kerajaan yang setara dengan kepala desa saat ini sehingga ketika saya berbicara tanpa menggunakan "Pah" dan lainnya apalagi lawan bicara lebih tua secara usia dan status sosial maka saya akan ditegur oleh orang tua saya.
Ironisnya, budaya berbahasa orang Amanuban ini seakan termakan zaman. Saya menemukan 9 dari 10 orang anak-anak zaman sekarang tidak melestarikan budaya berbahasa seperti itu. Bahkan, berbicara dengan orang tua, guru dan sebagainya, mereka tidak menggunakan "Atola" lagi.
Berdasarkan pengalaman saya, terdapat  faktor yang menggeser budaya "Atola". Bahasa Dawan atau Uab Meto yang tidak wajib lagi bagi orang Timor. Saya menemukan tidak sedikit orang Timor yang tidak bisa berbahasa Dawan apalagi mereka yang hidup di Kota. Bahasa Dawan dianggap sebagai bahasa orang kampung (desa).
Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erna Suminar, Dosen Universitas Kebangsaan dalam jurnalnya berjudul "Komunikasi dan Identitas Kultural Remaja Suku Dawan di Kota Kupang, Timor Barat, Nusa Tenggara Timur".
Dalam jurnalnya tersebut, ia menemukan bahwa remaja Suku Dawan mencari cara untuk tampil berbeda dibandingkan sebelumnya. Tujuannya untuk memperlihatkan identitas dirinya yang baru sebagai bagian dari gaya hidup di kota besar.Â
Seringkali, percakapan mereka menggunakan bahasa pergaulan Melayu Kupang atau Bahasa Indonesia, yang dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan bahasa Dawan yang dianggap kampungan.
Stigma yang terlanjur dibangun tersebut membuat mereka yang berasal dari kampung gengsi berbahasa Dawan. Keinginan belajar hanya sedikit sehingga berbahasa Dawan tidak dipelajari secara utuh. Akibatnya, Atola pun tidak bisa dilakukan karena "Atola" hanya bisa dilakukan oleh orang yang lancar berbahasa Dawan.