Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bninis, Alat Pemisah Biji Kapas (Suku Dawan-Timor) yang Kini Termakan Debu

6 November 2019   16:46 Diperbarui: 22 Januari 2020   12:52 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecanggihan teknologi mengukir banyak kenangan. Alat-alat tradisional hanya bisa dilihat oleh telinga dan didengar dengan mata.

Dulu, ketika Oma saya masih hidup, saya sering mendengar cerita-cerita tentang budaya dan alat-alat tradisional yang sudah hampir punah. Salah satunya adalah alat pemisah biji kapas yang digunakan selama berabad-abad oleh orang Timor (khususnya suku Dawan) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Saya tidak tahu sebutan untuk alat pemisah biji kapas ini bagi kerajaan-kerajaan Suku Dawan seperti Mollo, Amanatun dan sebagainya tetapi sebagian besar orang Dawan khususnya orang Amanuban mengenalnya dengan sebutan Bninis.

Pada zaman dahulu, Bninis wajib dimiliki oleh setiap perempuan di Suku Dawan karena menenun merupakan pekerjaan dan syarat perempuan Dawan menikah.

Benang sebagai bahan dasar untuk menenun bersumber dari kapas yang tumbuh liar di hutan. Kapas diambil dari hutan harus melalui proses pemisahan biji sebelum dipintal menjadi benang.

Proses pemisahan biji kapas ini hanya dapat dikerjakan menggunakan Bninis. Memang pemisahan bisa menggunakan tangan tetapi prosesnya akan memakan waktu yang lebih lama sehingga Bninis wajib dimiliki.

Bninis terbuat dari jenis kayu yang kuat dan keras. Menurut cerita Oma saya, salah satu pohon bernama Makuan (sebutan dalam bahasa Dawan) merupakan pohon yang paling baik untuk membuat Bninis.

Makuan merupakan pohon yang memiliki karakteristik semakin kering akan semakin kuat dan terlihat lebih licin dan mengkilat. Nah, rupanya Makuan menjadi sumber utama pembuatan alat-alat tenunan karena karakteristiknya mendukung percepatan proses pekerjaan.

Jujur saya tidak tahu nama pohon ini dalam bahasa Indonesia dan keberadaannya yang sudah semakin langka, saya tidak menemukannya untuk mengambil gambar yang bisa dikenali dengan jelas.

Memasuki tahun 80-an, produksi benang yang lebih canggih membuat penjualan benang buatan pabrik menguasai seluruh Indonesia. Keberadaannya yang instan, para ibu di Suku Dawan mulai beralih dari kapas.

Kini kapas hanya tinggal cerita. Hutan tempat kapas tumbuh pun sudah digunduli. Kapas hanya bisa dikenang dan mungkin suatu saat tidak akan dikenang lagi.

Ketiadaan kapas sebagai bahan dasar pembuatan kain tenunan di Timor memaksa beberapa alat tradisional meninggalkan profesinya. Ike yang digunakan untuk memintal benang pun hilang kabar, membutuhkan waktu 24 tahun untuk saya melihat Bninis yang selama ini saya kenal melalui cerita.

Bninis akan termakan zaman. Sulit menemukan orang yang tahu membuat Bninis. Juga, sulit menemukan perempuan-perempuan suku Dawan dapat memisahkan biji kapas menggunakan Bninis. Kapas yang dipintal menjadi benang pun sudah menjadi lelucon bagi orang-orang Dawan.

Ah, jangankan itu. Menenun yang merupakan syarat perempuan Dawan menikah pun sudah tinggal kenangan. Saya jamin 90% Perempuan-perempuan Timor yang berusia milenial tidak tahu menenun.

Kembali ke Bninis, Ketika saya melihatnya, balutan debu menghapuskan keindahannya. Hitam mengkilat yang merupakan warna dasar yang sangat indah dipandang mata hanya bisa dilihat oleh telinga. Mata hanya menyaksikan sajian debu putih yang sudah menyatu dengan kayu-kayunya.

Bninis hampir punah. Menemukan orang yang masih menyimpannya pun sudah langka. Mungkinkah museum akan menjadi pelabuhan terakhirnya atau akan menjadi pajangan bagi mereka yang masih mencintainya? Ataukah secara perlahan akan menjadi makanan empuk debu dan rayap?

Ah, Bninis, kau tidak modern lagi..... Pilihlah kemana engkau pergi.... Terima kasih pernah menjadi bagian dari Suku Dawan.

Salam!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun