Kini kapas hanya tinggal cerita. Hutan tempat kapas tumbuh pun sudah digunduli. Kapas hanya bisa dikenang dan mungkin suatu saat tidak akan dikenang lagi.
Ketiadaan kapas sebagai bahan dasar pembuatan kain tenunan di Timor memaksa beberapa alat tradisional meninggalkan profesinya. Ike yang digunakan untuk memintal benang pun hilang kabar, membutuhkan waktu 24 tahun untuk saya melihat Bninis yang selama ini saya kenal melalui cerita.
Bninis akan termakan zaman. Sulit menemukan orang yang tahu membuat Bninis. Juga, sulit menemukan perempuan-perempuan suku Dawan dapat memisahkan biji kapas menggunakan Bninis. Kapas yang dipintal menjadi benang pun sudah menjadi lelucon bagi orang-orang Dawan.
Ah, jangankan itu. Menenun yang merupakan syarat perempuan Dawan menikah pun sudah tinggal kenangan. Saya jamin 90% Perempuan-perempuan Timor yang berusia milenial tidak tahu menenun.
Kembali ke Bninis, Ketika saya melihatnya, balutan debu menghapuskan keindahannya. Hitam mengkilat yang merupakan warna dasar yang sangat indah dipandang mata hanya bisa dilihat oleh telinga. Mata hanya menyaksikan sajian debu putih yang sudah menyatu dengan kayu-kayunya.
Bninis hampir punah. Menemukan orang yang masih menyimpannya pun sudah langka. Mungkinkah museum akan menjadi pelabuhan terakhirnya atau akan menjadi pajangan bagi mereka yang masih mencintainya? Ataukah secara perlahan akan menjadi makanan empuk debu dan rayap?
Ah, Bninis, kau tidak modern lagi..... Pilihlah kemana engkau pergi.... Terima kasih pernah menjadi bagian dari Suku Dawan.
Salam!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H