Periode pertamanya bersama Jusuf Kalla, hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk Jokowi mulai melakukan reshuffle kabinet. Bahkan dalam masa kerjanya reshuffle kabinet dilakukan sebanyak tiga kali.
Bukti bahwa, menteri yang dicopot tak mampu menginterpretasikan visi dan misi Jokowi. Bagi penulis, kegagalan tidak mencapai tujuan dan sasaran program adalah penyebab reshuffle terus dilakukan.
Seorang menteri baru akan mendesain program kerjanya berbeda dari menteri yang lama. Karena itu, ia harus berjalan dari nol; memulai layaknya seorang bayi.
Kita melihat Susi Pudjiastuti yang konsisten dengan program kerjanya berbeda dengan menteri pendidikan yang berpindah tongkat dari Anis Baswedan ke Muhadjir Effendy.
Kasus pelanggaran HAM yang menjadi agenda Jokowi pada periode pertama masih saja menjadi teka-teki dibawah komando Wiranto sebagai Menkopolhukam yang baru menjabat pada tahun 2016.
Risiko pada kabinet Jokowi jilid II ini diperkuat dengan keputusan Jokowi tidak melibatkan KPK dalam seleksi terhadap mereka yang disebut akan menjadi menteri. Berbeda dengan tahun 2014, Jokowi melibatkan KPK dalam menentukan kabinetnya. Itupun beberapa menteri kemudian terjerat dalam kasus korupsi.
Karena itu, bukan tidak mungkin juga pemberantasan korupsi masih menjadi hal yang paling sulit dilakukan meski sudah ada revisi UU KPK. Hanya dua kemungkinan, mereka ditangkap atau dibiarkan. Ditangkap akan berpotensi pada ketidaksempurnaan dalam eksekusi program karena harus dikerjakan oleh orang lain; dibiarkan akan berdampak pada ekonomi yang mandek dan kita hanya bermimpi menjadi negara dengan ekonomi yang cukup besar di tahun 2045.
Benar-benar Kabinet Kerja Jokowi Jilid II sangat rawan.
Apakah akan terjadi demikian? Mari kita menyimak!
Salam!!!
Neno Anderias Salukh
Referensi: Satu; Dua; Tiga;Â Empat;Â Lima.