Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iklan, Hoaks yang Diabaikan

14 Oktober 2019   03:00 Diperbarui: 14 Oktober 2019   04:33 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Singapura menjadi negara pertama di dunia yang melakukan itu karena Singapura merupakan salah satu negara yang darurat diabetes. Menurut data dari International Diabetes Federation yang dilansir dari detik.com ada sekitar 600 ribu kasus diabetes di Singapura pada tahun 2017 sehingga upaya tersebut adalah untuk membendung dan menghambat laju pertumbuhan kasus diabetes.

Bagi penulis, Keputusan Pemerintah Singapura untuk membatasi iklan minuman yang hampir tidak pernah memperlihatkan sisi negatifnya karena jarang sekali bahkan hampir tidak pernah kita melihat iklan minuman manis memberitahu kekurangannya kepada publik.

Ataukah kita pernah mendengar iklan minuman manis mengatakan bahwa "Minuman ini dapat membunuhmu" atau "Minuman ini dapat menyebabkan diabetes dan sebagainya?"

Iklan seharusnya tidak mensubjektifkan produk tetapi mendeskripsikan produk secara objektif. Namun, kenyataannya iklan lebih banyak diksi subjektif yang membuat orang mudah percaya.

Karena itu, bagi saya sejumlah iklan produk zaman sekarang adalah hoaks yang rapi karena diframing dengan nama iklan. Pembuktian palsu sebuah produk. Bahkan dalam iklan obat-obatan, lebih menjamin sebuah kesembuhan lebih dari seorang dokter padahal tidak 100% demikian.

Apakah larangan seperti yang dilakukan oleh Singapura sangat tepat bagi negara seperti Singapura? Jawabannya tergantung pada tingkat kecerdasan masyarakat memahami maksud dari pemerintah dan label Tidak Sehat pada setiap kemasan.

Menurut UNITED NATIONS DEVELOPMENT PROGRAMME, Singapura merupakan salah satu negara dari 24 negara yang memiliki indeks pembangunan manusia sangat tinggi di dunia. Oleh karena itu, pelarangan iklan dan pencantuman label "Tidak Sehat" bisa memberikan efek pada upaya pencegahan diabetes.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia juga harus seperti Singapura? Tidak juga, tergantung penyebab diabetes pada negara masing-masing. Memang penderita diabetes di Indonesia sudah mencapai angka 30 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai angka dua kali lipat sepuluh tahun kedepan (BBC News Indonesia).

Namun yang perlu dipelajari dari Singapura adalah upaya pembatasan iklan yang subjektif. Namun, sebetulnya hal tersebut sudah dilakukan oleh Indonesia pada rokok tetapi menurut laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean, yakni 65,19 juta orang atau setara dengan 34% dari total penduduk Indonesia pada 2016 (Databoks).

indonesia-negara-dengan-jumlah-perokok-terbanyak-di-asean-by-katadata-5da37270097f366580017e42.png
indonesia-negara-dengan-jumlah-perokok-terbanyak-di-asean-by-katadata-5da37270097f366580017e42.png
Apakah karena Indeks Pembangunan Manusia Indonesia masih dalam kategori menengah? Sehingga belum cerdas dalam memahami informasi? Lalu apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? Pendidikan? Toh, kebanyakan yang tidak memahami informasi adalah orang-orang berpendidikan.

Saya teringat dengan kata-kata Mantan Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe. Kira-kira ini: "Rokok adalah sejumput tembakau yang digulung di selembar kertas, dengan api di satu ujung dan orang bodoh di ujung lainnya."

Pedis, kata-kata tersebut. Pasalnya, para pembuat rokok sudah mengingatkan tentang bahaya rokok bagi orang lain dan terutama bagi diri sendiri tetapi masih saja ada yang mengabaikannya.

Nah, rokok sebagai bukti kita tidak percaya pada kejujuran tetapi lebih memilih percaya pada kebohongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun