Saya coba berandai-andai, jika UU KPK yang baru ini berlaku sejak tahun 2002, apakah kasus e-KTP dapat dibongkar? Untuk mengusut tuntas kasus seperti e-KTP saja membutuhkan waktu 3 tahun, maka mega proyek pemindahan ibukota dan lain sebagainya yang akan dilakukan pada masa-masa mendatang akan menjadi lahan basah bagi para koruptor.
Jangan coba-coba mengatakan bahwa waktu 3 tahun adalah kelalaian KPK yang tidak dapat bekerja dengan cepat. Ingat, drama kasus e-KTP disutradarai oleh mereka yang memiliki skill dewa.
Masih yakin KPK diperkuat?
Di kampung A terdapat 5 pencuri kelas kakap, ditangkap oleh Pak RT lalu dihukum dengan hukum adat. Hukumannya cukup satu ekor ternak. Namun sebetulnya masih banyak pencuri- pencuri lainnya yang ditangkap juga. Pada suatu saat, warga setempat berpikir untuk memperkuat Pak RT dalam menangkap para pencuri.
Sedangkan di kampung B yang lain mengalami hal yang sama tetapi mereka lebih memperkuat hukuman bagi para pencuri bahkan mereka memutuskan untuk melakukan hukuman mati.
Antara kampung A dan B, manakah yang akan lebih dulu aman dari pencuri?
Secara akal sehat, kampung B akan lebih dulu aman karena tidak ada hukuman ringan untuk pencuri. Saat dia memutuskan untuk pencuri, dia tau bahwa jika ketahuan dia akan mati. Jelas bahwa ada rasa takut dalam dirinya.
Sedangkan kampung A, pencuri akan mencuri dua ekor sapi lalu membayar denda dengan satu ekor sapi. Itu pasti.
Pesan saya begini, para koruptor kita dihukum dengan hukuman yang paling ringan sehingga tidak ada efek jera dan tidak membuat para koruptor yang lain takut.
Contoh Bupati Kudus yang dijebloskan ke penjara karena korupsi, setelah keluar calon bupati dan menang lagi, korupsi lagi. Karena tidak ada hukuman yang membunuh naluri korupsinya.
Setya Novanto, sudah berapa kali berpelisiran dan makan nasi Padang. Narapidana yang hidupnya enak, banyak alibi yang dibuat untuk memudahkannya hidup dalam penjara.