Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.
Itulah kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Anak Semua Bangsa. Ya, salah satu cara manusia bersuara adalah melalui sebuah tulisan. Banyak orang yang tidak bisa berbicara dengan fasih tetapi bisa menyuarakan suaranya melalui tulisan yang sangat menarik.
Selain tidak bisa berbicara dengan fasih, menyuarakan sesuatu melalui orasi memiliki banyak hambatan, termasuk bisu dan lain sebagainya.
Akan tetapi, ide dalam pikiran seseorang tidak dapat dihambat dan salah satu cara menuangkannya tanpa hambatan adalah menuliskannya.
Helen Adams Keller, Seorang penulis dari Amerika yang menulis buku-buku terkenal seperti The World I Live In dan The Story of My Life dalam keadaan buta.Â
Hal tersebut di atas merupakan salah satu alasan saya harus menulis. Meskipun tulisan-tulisan saya masih kategori amburadul, saya terus belajar untuk menyuarakan pendapat saya melalui tulisan.
Bersuara, menceritakan dan memperjuangkan hak-hak kaum miskin adalah salah satu mimpi saya. Oleh karena itu, menulis adalah salah satu cara saya menyampaikan semuanya.
Sebagai seorang guru saya sadar bahwa, efek berjuang seorang diri tidak akan sebanding dengan dua atau lebih orang menyuarakan hal yang sama.
Meski masih minim pengetahuan tentang menulis, saya ingin membagikan sedikit ilmu yang saya peroleh dari penulis-penulis hebat di Indonesia termasuk para kompasioner senior yang sudah maestro dalam menyuarakan keadilan, kesejahteraan dan hak-hak masyarakat.
Contohnya, Ibu Leya, salah satu kompasioner paling kritis dengan tulisan-tulisan ciamik yang saya pernah kenal. Bagi saya, Ibu Leya banyak menyuarakan hak-hak rakyat, kaum perempuan dan sebagainya melalui tulisan-tulisannya.
Saya semakin termotivasi untuk mendorong dan mengajak banyak orang untuk menulis ide-ide mereka demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Hari ini, saya memutuskan untuk memulai mengajar menulis kepada empat anak murid saya yang telah banyak mencuri ilmu matematika saya. Mereka yang saya persiapkan untuk mengikuti Lomba Cerdas Cermat Matematika di salah satu Perguruan Tinggi di Pulau Timor.
Saya memulai dengan mengajarkan mereka menulis catatan harian atau dairy. Saya berharap dengan adanya dairy, mereka terus menerus membiasakan diri menuangkan perasaan, pendapat dan impian-impian mereka.
Saya melakukan ini karena mereka bukan sekedar murid bagi saya, sehingga sekecil apapun ilmu saya, saya harus membagikan kepada mereka. Saya sadar, keberadaan mereka di kampung, komunikasi dalam Bahasa Indonesia belum cukup bagus, apalagi menulis, mereka tidak tahu tentang itu.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya, saya membuktikan ini sebagai tantangan di setiap pelajaran matematika. Mereka agak kesulitan memahami kalimat dalam soal cerita sehingga sulit mengerti maksud dari soal tersebut.
Akan tetapi, seperti apapun itu, saya akan berjuang keras untuk mewujudkan impian saya, dimana kelak mereka akan menjadi bagian dari pejuang-pejuang rakyat.
Satu hal yang memotivasi saya untuk berjuang agar mereka bisa bersuara melalui tulisan adalah mereka bagian dari kaum miskin dan lemah tetapi hidup dalam sebuah ketidakadilan. Saya tahu hati mereka, hati mereka memberontak terhadap ketidakadilan yang sedang mereka rasakan.
Tetapi, mereka takut untuk bersuara, kalaupun mereka ingin bersuara, dengan cara apa dan melalui apa mereka dapat bersuara? Kondisi dan keadaan mengurung mereka untuk tetap hidup dibawah kekuasaan ketidakadilan.
Saya bermimpi, ketika mereka dapat menuliskan perasaan, pendapat dan impian-impian mereka, mungkin suatu saat suara merdeka terdengar di istana, Suara dari Desa Mauleum, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Salam!!!
Mauleum, 09 September 2019
Neno Anderias Salukh
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI