Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengenal Benny Wenda, Bagian dari Konspirasi Papua

2 September 2019   18:31 Diperbarui: 3 September 2019   08:37 9087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benny Wenda mengatakan kepada pers, petisi itu telah ditandatangani dari rumah ke rumah dan dari desa ke desa/Reuters/Tom Miles

Masalah Papua merupakan masalah serius yang sedang dihadapi pemerintah. Masalah yang diduga ditunggangi penumpang gelap kini diungkapkan oleh Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko. Moeldoko menyebut nama Benny Wenda sebagai dalang kerusuhan Papua yang terus-menerus berkepanjangan.

"Ya jelas toh. Jelas Benny Wenda itu. Dia mobilisasi diplomatik, mobilisasi informasi yang missed, yang enggak benar. Itu yang dia lakukan di Australia, di Inggris," ujar Moeldoko di kantornya, Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin (2/9/2019).

Siapakah Benny Wenda?

Benny Wenda adalah salah satu tokoh separatis Papua yang dilahirkan di Lembah Baliem, Papua, pada tanggal 27 Agustus 1974. Meski lahir di Papua, Benny Wenda diketahui sedang tinggal di Oxford Inggris.

Benny Wenda menghabiskan masa kecilnya di salah satu desa terpencil di pegunungan Papua. Sebagai anak petani, kesehariannya adalah membantu orang tuanya bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan makan dan lain sebagainya.

Lahir di Desa yang sunyi membentuk orang-orang di sekitar wilayah tersebut termasuk Benny Wenda menjadi anak yang tenang dan hidup damai dengan orang-orang di sekitarnya.

Namun, Benny yang dikenal sebagai pria yang cinta damai berubah. Ketika itu, sekitar tahun 1977 Benny baru berumur 3 tahun. Secara tiba-tiba, kampungnya dikuasai oleh sekelompok pasukan militer.

Menurut pengakuan Benny, pasukan militer tersebut memperlakukan keluarga dan masyarakat di desanya secara tidak manusiawi. Berdasarkan informasi yang dihimpun, Benny menyebut tindakan pasukan militer tersebut adalah tindakan yang sangat keji karena mengakibatkan korban jiwa.

Masih menurut Benny, Hal yang menyakiti hati bocah berusia 3 tahun pada saat itu adalah keluarganya termasuk dalam daftar korban jiwa akibat perlakuan pasukan militer tersebut.

Bahkan, hal yang paling menyakitkan bagi dirinya adalah ia harus rela kehilangan kaki sebelahnya melalui sebuah serangan udara di Papua.

Saat itu, keluarganya memilih bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada waktu yang bersamaan, Benny menjalani masa paling sulit dihidupnya. Ia harus bertahan hidup selama 20 tahun dengan kakinya yang sedang terluka tanpa seorang pun yang membantu merawatnya.

Oleh karena rasa sakit itu, Benny berusaha melawan pilihan orang-orang dekatnya. Ia memimpin gerakan referendum dari rakyat Papua yang menuntut pembebasan dari NKRI kembali bergelora.

Saat itu, Benny menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka) dengan gol melindungi nilai dan kepercayaan masyarakat Dataran Tinggi Timur dan mendukung negosiasi Presidium Dewan Papua (PDP) untuk menyalurkan apa yang mereka anggap aspirasi warga Papua kepada Indonesia.

Sebagai Sekjen Demmak, Benny menyuarakan kemerdekaan Papua, menolak otonomi khusus, menolak kompromi dengan pemerintah Indonesia, namun mendukung PDP.

Lobi-lobi terus dilakukan hingga masa pemerintahan Presiden Megawati. Saat itu, pemberlakuan otonomi khusus adalah pilihan politik yang layak untuk Papua dan tak ada yang lain.

Keputusan ini menuai konflik. Sekitar tahun 2001, ketegangan kembali terjadi di tanah Papua. Operasi militer menyebabkan ketua Presidium Dewan Papua meninggal dunia.

Hal ini membuat Benny terus berjuang demi mewujudkan Papua Barat merdeka. Kemudian ia ditangkap dan dipenjarakan pada 6 Juni 2002 di Jayapura.

Benny dianggap mengorganisasi massa menyerang kantor polisi dan membakar toko di Abepura dua tahun sebelumnya sehingga ia terancam hukuman 25 tahun penjara.

Akan tetapi, Benny mengaku bahwa hal tersebut hanya tuduhan kepada dirinya. Bahkan menurutnya, ia dituduh banyak kasus sehingga disiksa secara habis-habisan di dalam penjara.

Oleh karena itu, sebelum keputusan untuk dirinya dipenjarakan selama 25 tahun, Benny dibantu aktivis lainnya untuk kabur dan mengungsi di Papua Nugini.

Rupanya, dibalik perjuangannya, ada Inggris yang berkepentingan. Atas campur tangan sebuah LSM Eropa, dia dibawa kabur ke Inggris bersama istri dan anak-anaknya.

Pada tahun 2011, Benny dianggap melakukan sejumlah pembunuhan dan penembakan di Tanah Air. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan Red Notice dan Surat Perintah Penangkapan Internasional untuk penangkapan Benny Wenda.

Namun daftar itu dicabut di 2012 setelah LSM Inggris, Fair Trials Internasional yang diduga melindungi Benny karena perjuangannya untuk kemerdekaan Papua dan kampanye damai.

Menurut Direktur eksekutif Fair Trials Internasional, Jago, Russell, Indonesia menggunakan Interpol sebagai alat untuk mengancam kampanye damai Benny.

Lagi-lagi sepertinya Inggris menjadi sandaran kuat Benny Wenda. Dewan Kota Oxford memberikan penghargaan sebagai tokoh yang memperjuangkan kampanye damai.

Hal tersebut menuai kecaman dari pemerintah Indonesia. Hal itu disampaikan pemerintah Indonesia melalui keterangan tertulis di situs resmi Kementerian Luar Negeri, Kamis (18/7/2019).

"Indonesia mengecam keras pemberian award oleh Dewan Kota Oxford kepada seseorang bernama Benny Wenda, pegiat separatisme Papua yang memiliki rekam jejak kriminal di Papua. Indonesia menghargai sikap tegas Pemerintah Inggris yang konsisten dalam mendukung penuh kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan karenanya sikap Dewan Kota Oxford tidak punya makna apapun," tulis Kemenlu dalam keterangan tertulis tersebut.

Akan tetapi, perjuangan Benny Wenda masih hidup sampai dengan saat ini. Ia pernah masuk sebagai perwakilan dari delegasi Vanuatu yang mengikuti Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tuvalu, 13-16 Agustus lalu. 

Benny berusaha supaya Sidang Umum PBB tahun depan mempertimbangkan Undang-Undang Kebebasan Memilih 1969 yang dia anggap sebagai kontroversial.

Dilansir dari kompas.com, Pada Februari 2013, dia memulai "Tur Kebebasan" di Amerika Serikat (AS), Selandia Baru, Papua Nugini, dan Vanuatu dengan tujuan meningkatkan isu determinasi diri dan memperjuangkan referendum Papua Barat.

Lagi, kasus ujaran rasialis yang menimpa mahasiswa Papua dimanfaatkan Benny untuk melanjutkan perjuangannya. Ia tidak segan-segan mengkritik Jokowi habis-habisan yang tidak menggunakan pendekatan kemanusiaan seperti Gus Dur yang sangat membela Papua. Baginya, pendekatan Jokowi menggunakan pembangunan yang dibayang-bayangi militer.

"Tidak ada Presiden Indonesia yang memahami masalah Papua seperti Gus Dur (mantan presiden Abdurrahman Wahid)," ujar Benny Wenda seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 2-8 September 2019. 

Saat ini, Benny Wenda disebut sebagai dalang kerusuhan Papua. Apakah pemerintah kembali memasukkan Benny dalam daftar pencarian orang karena memfasilitasi kerusuhan Papua?

Mari kita menyimak!!!
Salam!

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun