Sebuah pelanggaran terhadap terhadap hukum akan dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran jika pelanggaran tersebut dapat diukur dengan adanya alat-alat bukti yang memadai dan sebaliknya pelanggaran tersebut tidak akan dinyatakan sebagai pelanggaran jika tidak ada bukti-bukti yang mendukung walaupun berdasarkan kacamata manusia, benar bahwa pelanggaran itu dilakukan.
Keputusan hakim mengacu pada alat bukti yang digunakan untuk mencegah kemungkinan keputusan asal-asalan. Artinya bahwa tanpa alat bukti, Hakim akan menetapkan dan memutuskan kebenaran sesuai dengan kacamatanya bukan pemohon dan termohon.
Hal ini, disinggung oleh Prof. Edy, saksi ahli Jokowi-Ma'aruf pada sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi dengan mengutip sebuah pernyataan dari artikel tentang hukum yang ditulis oleh seseorang yang saya melupakan namanya bahwa "Kita hidup di zaman modern yang memungkinkan benar menjadi salah dan salah menjadi benar tergantung pada argumentasi yang dibangun".
Argumentasi yang dibangun pun tidak serta merta argumentasi yang tidak bisa dibuktikan tetap harus disertai alat bukti sebagai dasar hukum adanya sebuah pelanggaran hukum.Â
Bukan hanya itu, argumentasi yang dibangun pun harus memiliki konklusi yang valid dan logis. Artinya dibangun atas premis-premis realistis yang memadai.
Argumentasi juga bukan satu-satunya alasan untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam menggugat sebuah pelanggaran hukum tetapi yang menjadi dasar hukum adalah alat bukti yang cukup.
Untuk itu, setiap kasus hukum yang berkaitan dengan hukum pidana atau perdata diharuskan untuk membawa saksi maupun alat bukti lainnya untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam pengambilan keputusan.
Mencermati setiap kata yang disampaikan oleh Profesor Edy sebagai saksi ahli Jokowi-Ma'aruf, saya mencoba mengerti hukum yang selama ini dianggap sebagai hukum yang tidak memihak pada kebenaran.
Padahal sebetulnya, hukum selalu diperhadapkan argumentasi yang tidak kuat. Bagaimanapun hakim tidak bisa mengambil keputusan dengan dasar hukum yang tidak memadai.
Dalam sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi, 5 hal yang diduga sebagai kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif adalah Penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Program Kerja Pemerintahan, Penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, Ketidaknetralan aparatur negara: polisi dan intelijen, Pembatasan kebebasan media dan pers, Diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum.
Argumentasi-argumentasi yang dibangun ini terlihat rancu dan tidak memiliki bukti kuat yang menjadi pegangan dasar hukum untuk meyakinkan Mahkamah Konstitusi.
Pertama, Penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Program Kerja Pemerintahan. Yang dipermasalahkan adalah menaikkan gaji dan membayar rapelan gaji PNS, TNI, dan Polri, menaikkan pembayaran gaji ke-13 dan THR lebih awal, menaikkan gaji perangkat desa, menaikkan dana kelurahan dan mencairkan Dana Bansos.
Pertanyaannya adalah apakah menaikkan gaji PNS, TNI dan Polri sudah biasa dilakukan oleh pemerintah? Bukankah dengan kenaikan gaji PNS, TNI dan Polri lebih baik untuk mencegah kecenderungan korupsi? Menaikkan gaji perangkat deaa bukankah menolong mereka untuk cenderung mengelola dana desa menjadi lebih baik?
Oke, mungkin maksud dari Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi adalah keputusan-keputusan itu, secara psikologis mempengaruhi pemilih tetapi apakah dengan dugaan itu dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengatakan bahwa adanya kecurangan yang dilakukan secara TSM?
Bukti korelasi suara yang diperoleh Jokowi-Ma'aruf dengan penyalahgunaan APBN dan Program Kerja Pemerintah tidak ada. Seharusnya ada bukti yang menunjukkan bahwa seluruh PNS, TNI dan Polri memilih Jokowi-Ma'aruf sehingga jika ini hanya dugaan dan perasaan maka poin ini secara otomatis gugur.
Walaupun tim hukum Prabowo-Sandiaga, menyertakan 25 tautan berita dan tiga pernyataan Jokowi dalam video, sebagai bukti untuk menguatkan argumentasi tersebut, bagi saya argumentasi di atas adalah sebuah kerancuan berpikir hiperbola dimana melebih-lebihkan kesimpulan daripada premisnya.Â
Premis-premisnya adalah penggunaan APBN dan Program Kerja Pemerintah lalu kesimpulannya adalah PNS, TNI dan Polri memilih Jokowi-Ma'aruf. Ini adalah kesimpulan yang ambigu.
Kedua, Penyalahgunaan birokrasi dan BUMN. Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi menyebut netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dilanggar ketika Mendagri Tjahjo Kumolo menginstruksikan pegawai pemerintah tersebut menyampaikan program Presiden Jokowi secara aktif.
Sebagai pendukung untuk dalilnya, tim hukum Prabowo-Sandiaga menyertakan 20 tautan berita dan sembilan pernyataan Jokowi dalam video.
Bagian ini juga fokus pada permasalahan posisi Ma'aruf Amin di Bank Syariah. Semua sudah tahu bahwa ini sebuah kerancuan logika secara relevansi yang dilakukan oleh BPN dan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi.
Argumentasi tentang posisi Ma'aruf Amin adalah sebuah argumentasi rancu karena muncul dari ketidaktahuan mereka tentang BUMN dan anak BUMN serta ketidaktahuan mereka tentang seleksi administrasi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden oleh KPU. Ini yang dinamakan Argumentum ad Ignorantiam.
Lagi-lagi kedua hal di atas merupakan kerancuan berpikir hiperbola oleh Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi. Kesimpulan valid yang tidak logis atau ambigu pada bagian ini.
Ketiga, Ketidaknetralan aparatur negara: polisi dan intelijen. Mendengar kesaksian salah satu saksi Prabowo-Sandi tentang polisi bernama Ismunajir, anggota Polres Kabupaten Batubara yang mengarahkan masyarakat untuk mendukung Jokowi-Ma'aruf.
Bagiamana jika buktinya hanyalah sebuah link berita ataukah cerita seorang tentang video yang ia tonton di YouTube? Jelas-jelas ini hanya mengada-ada dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum pengambilan keputusan.
Keempat, Pembatasan kebebasan media pers. Argumentasi ini sekaligus menolak bukti-bukti kecurangan yang dibawa oleh Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi karena rata-rata bukti yang dibawa adalah link berita. Bagaimana mungkin, adanya pembatasan kebebasan pers sedangkan pers dapat mengeluarkan berita-berita kecurangan-kecurangan itu.
Argumentasi ini menjadi senjata untuk membunuh kubu mereka sendiri. Ini yang dinamakan menghamburkan peluru ke segala arah tanpa melihat sasaran utama. Akibatnya, bisa melukai diri sendiri.
Hal yang dipermasalahkan juga adalah media-media siaran TV yang dimiliki oleh Surya Paloh, Harry Tanoesoedibjo dan Erick Thohir. Lagi-lagi ini adalah kerancuan logika hiperbola.
Kelima, Perlakuan dan penyalahgunaan penegak hukum. Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga dalam berkas perbaikan permohonannya juga mencontohkan proses hukum terhadap Kepala Desa Mojokerto yang dituntut satu tahun penjara karena dianggap mendukung paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sedangkan 15 camat di Makassar yang mendukung paslon Jokowi-Ma'ruf Amin tidak dilakukan proses hukum.
Lagi-lagi ini adalah kesimpulan yang diambil secara kuantitatif. Perbandingan semacam ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum jika tidak disertai dengan bukti-bukti. Bukti yang seharusnya dibawah adalah 15 video camat mendukung Jokowi-Ma'aruf dan Video mendukung Prabowo-Sandi.
Nah, ini akan menjadi sulit karena tuduhan mengarah kepada seluruh penegak hukum dengan mengambil sampel. Masalah lokal ditangani oleh aparat lokal yang tidak diketahui oleh daerah-daerah yang lain sehingga kubu Prabowo-Sandi tidak bisa mengambil contoh dan men-generalisir masalah ini bahwa adanya penyalahgunaan penegak hukum.
***
Argumentasi-argumentasi tersebut pun akan diuji dengan perbedaan perolehan suara sehingga bagi penulis, semakin sulit untuk kita yakin bahwa Prabowo-Sandi menang di Mahkamah Konstitusi. Jangankan diskualifikasi Jokowi-Ma'aruf, Pemungutan Suara Ulang pun akan sulit dilakukan.
Salam!!!
Referensi: Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H