Kebanyakan orang awam akan bebas menafsirkan maksud dari menantu SBY ini. Ada yang pastinya menafsirkan cuitan tersebut sebagai sindiran untuk Prabowo sedangkan ada yang pasti menafsirkan itu sebagai pujian biasa yang pantas untuk pidato mantan Walikota Solo itu.
Menyindir Prabowo, Ya. Mengapa? Cuitan tersebut hampir bersamaan dengan komentar SBY terhadap apa yang disampaikan Prabowo.
Pujian murni untuk Jokowi, Ya. Mengapa? Pidato itu benar-benar menyentuh dan manis didengar oleh siapapun apalagi menyinggung Flamboyannya SBY.
Maaf, media tidak membahas ini. Netizen juga tidak membahas ini. Saya pun tidak ingin membahas ini. Bahkan, menulis inipun saya masih menundanya. Namun, hati ini ingin menyampaikannya.
Saya hanya ingin tidak ada yang bebas menafsirkan maksud dari Anisa Pohan ini. Saya hanya ingin kita berhenti membuat sebuah penafsiran yang memecah belah persatuan.
Alasannya adalah, Media Sosial dijadikan sebagai wahana untuk melakukan segala sesuatu tanpa memikirkan secara matang sehingga menimbulkan sebuah huru-hara. Ya, itulah situasi Indonesia saat ini.
Media sosial adalah wahana untuk berperang kata-kata. Tak heran, media sosial menjadi rawan penyebaran hoax.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini. Segala bentuk penafsiran terhadap dua kubu antara SBY dan Prabowo dihentikan. Toh, mereka sudah saling memaafkan. Saat ini pun, Idul Fitri dirayakan. Yah, semua sudah saling memaafkan. Mari melupakan masa lalu. Mari merajut cinta dan kasih.
Selamat Idul Fitri, Mohon maaf lahir dan batin.
Salam!!!
Referensi: Detik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H