Mohon tunggu...
Nenk Mawar
Nenk Mawar Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Saya hanyalah penulis receh yang tengah berperang dengan pena dan menggoreskan kata-kata

Hidup hanya sekali, buatlah hidupmu berwarna. Jangan engkau menyia-nyiakannya tetap semangat apapun keadaannya keep fighthing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau adalah Aku

18 Agustus 2020   15:36 Diperbarui: 18 Agustus 2020   16:37 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Rosidah binti Musa

Aku berlari menelusuri jalan setapak, semakin dekat dengan suara tangisan itu. Ketikaku sampai di sana, tak terlihat siapa pun, hanya sebuah boneka yang tergeletak di depan pintu masuk apartemenku.

Perlahan kakiku mendekati boneka beruang yang berwarna putih, tanganku bergetar. Sungguh ketika menyentuh boneka itu, aku merasakan kepedihan yang mendalam. Tapi aku tidak tahu kenapa, batinku seperti tersayat-sayat dengan kisah pilu.

"Din. Dinda ... bangun, Din ...."

Aku terperanjat, di depanku ada Nayla yang melihatku keheranan. Kuraba pipiku basah dan Nayla hanya mengangkat bahu.

"Malam ini kamu mengigau lagi, Din."

"Hah?"

Sebegitu seringnyakah, tapi aku tidak ingat. Hanya saja aku menangis di depan pintu apartemen dan memeluk sebuah boneka beruang.

"Kamu tahu, hampir dua minggu ini kamu ngigau dan nangis sampai kaya orang mau ditinggal pacar gitu ...."

Aku hanya tersenyum kecil, jam di dinding menunjukkan pukul dua. Kasian Nayla selalu terganggu olehku, namun dia tak pernah berkata kesal atau pun muak dengan tingkahku. Aku sangat takut di kegelapan, dan aku pun takut pada gudang.

Entah kenapa, setiap ke gudang selalu saja ditemani Nayla untuk membantuku. Begitupun ketika tidur, lampu kamar selalu menyala dan dia Nayla tak pernah protes akan semua itu. Aku sangat beruntung mempunyai sahabat sepertinya.

"Oya, besok aku beli lampu tidur," kataku sambil berbaring di sampingnya. Matanya terpejam, namun aku tahu dia mendengarkan ucapanku tadi.

"Well, jika menurutmu baik. Aku tidak masalah ...."

"Thanks, Nay."

Sesungguhnya aku adalah orang yang paling beruntung, mereka menyayangiku bahkan sangat mencintaiku. Bagiku itu adalah sebuah anugrah terindah dari Allah, dikelilingi sahabat dan bos yang selalu memberiku semangat ketika diri ini jauh dari keluarga.

Kakiku baru saja melangkah dari pintu gerbang apartemen, kudengar suara gadu dan pekikan anak kecil. Hatiku berdegub kencang, entah bagaimana bisa aku merasa sesuatu yang membuatku sangat ketakutan. Nayla yang berada di sampingku merasa heran dengan tingkahku.

Aku memegangi dadaku, degupan itu semakin kencang. Kakiku pun melangkah, semakin cepat dan langkah itu berubah menjadi berlari. Aku mencari suara gadu dan pekikan anak kecil itu.

"Jangan pukul dia!" suaraku lantang menghentikan seorang ibu yang tengah memarahi anaknya.

Semua orang menatapku aneh, semua mata tertuju padaku dan anak itu pun berhenti menangis. Aku merasa bingung sendiri, mengapa diriku berada ditempat ini. Tak lama kemudian Nayla datang dan meninta maaf pada semua orang.

"Apa yang terjadi?" Nayla begitu resa dengan tingkahku selama minggu-minggu ini. Aku pun bingung untuk memberitahunya, semua datang dengan tiba-tiba bahkan aku tak ingat apa pun setelah kejadian. Diriku merasa seperti manusia yang sangat aneh.

"Aku tidak tahu ...."

Nayla tak begitu banyak menanyakan dia menggandengku lalu pergi bersama, toko kue tempatku bekerja sudah buka. Kulihat Santi sedang membereskan lemari kaca, iya aku bekerja di toko roti milik orang Japang. Aku dan ketiga sahabatku sudah lumayan lama berja di tempat ini, bahkan kita sudah seperti keluarga sendiri dengan bos kami.

"Maaf kita terlambat lagi," kataku ketika kaki ini baru saja melangkah depan pintu kaca.

Santi hanya tersenyum, aku pun masuk dan mulai mengganti pakaian. Terlihat Nayla tengah bersiap-siap untuk menghantarkan kue pesanan, kita sudah mulai sibuk dan aku terlupa apa yang terjadi dua satu jam lalu.

"Hey, Din. Aku keluar, tolong bilang ke Randy aku akan sampai dua jam lagi ...." Nayla pun pergi bersama motor mionya, aku beru teringat ke mana Randy pergi. Sudah siang begini dia belum sampai tokonya, aku pun bertanya pada Pak Sandi yang sang baker.

"Dari kemarin dia tidak masuk, kurang begitu tahu dia ke mana. Cuma dua hari lalu dia mengirim pesan, agar jangan mencari dia ...."

Kemarin aku tidak masuk, dan biasanya Randy mengabariku atau Nayla meskipun dia tengah sibuk dia akan mengirim pesan singkat padaku.

"Ma kasih, Pak ...."

"Oya, Din. Bisa ambilkan tepung dibawah?"

Aku sedikit ragu untuk melangkah, namun itu tidak mungkin jika diriku menolak dan memilih untuk tidak mendengar permintaannya. Dibawah sana, tak begitu gelap masih ada sedit udara yang masuk dari lubang jendela kecil. Lampu di dalam sini tak begitu terang, sedikit redup mungkin karena ini adalah tempat penyimpanan tepung.

Kakiku melangkah pada tangga yang menurun ke bawah, kulihat seorang lelaki menyeret anak kecil berambut ikal. Anak itu merengek mencoba untuk melepaskan diri, napasku sesak. Seakan terhipit pada ruangan yang sempit, anak itu terpekik ketika seorang lelaki itu mulai memukulinya dan ia melemparkan anak perempuan itu bersama boneka beruangnya ke sudut ruangan.

Lelaki itu menghilang, tubuhku gemetar melihat anak kecil itu tersungkur. Tanganku mencoba untuk meraihnya, namun dia tiba-tiba menghilang. Aku kalap, menangis hiteris dan berteriak, aku takut di sini. Aku berteriak meminta tolong. Pintu itu tertutup, aku lupa bahwa pintu gudang ini tidak bisa buka dari dalam.

Dari luar kudengar Nayla berteriak, aku pun menggedor pintu gudang ini. Kulihat wajahnya begitu cemas dan semua sepasang mata melihatku, begitupun dengan Rendy yang berdiri di depan pintu kaca.

"Apa kau baik-baik saja ...."

Aku mengangguk gugup, dan segera memberikan tepung pada Pak Sandi. Dia mengambil tepung itu dengan raut wajah sangat bersalah, ia baru tahu jika aku begitu trauma berada gudang bawah. Namun aku tak bisa menyalakannya, dan seharusnya diriku membiasakan, bukan menghindari.

"Sudah kubilang, jangan masuk ke gudang jika itu membuatmu takut dan kamu bisa memberi tahu Pak Sandi, Din ...."

Nayla mengomel dibelakangku, "Stop it, Nay. Aku tidak bisa seperti ini, jika aku menuruti. Dan selamanya aku adalah seorang penakut, dan ...."

Kataku terputus, Nayla dibelakang terdiam dia tak memberi satu kata pun menjawab. Aku tak menghiraukannya dan meninggalkan dia yang terpaku. Sesungguhnya aku merasa sangat bersalah telah berkata kasar padanya, dia punya niat baik dan selalu melindungiku. Tapi aku tak bisa begini selamanya, aku harus bisa dan berani menghadapi meskipun Randy tak masalah dengan semuanya.

"Apa yang terjadi? Mengapa kau tinggalkan Nayla sendiri ...." Randy menatapku. Tapi aku tak berani untuk menatapnya kembali, semua orang merisaukanku. Ada apa dengan diriku yang begitu egois, dan mengucapkan kata-kata yang tak sepantasnya aku katakan.

"Dia punya kaki untuk menyusul, bukan ...."

belum saja melangkah, Randy menggenggam lenganku. "Kau tak sepantasnya begitu padanya, Din."

"Lepaskan dia, Ran. Dinda benar, Dia sudah besar dan tahu  bagaimana untuk mengontrol rasa takunya ...."

"Maksudmu?"

Semua orang terdiam tak ada satu orang pun yang berkata atau menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang tengah mereka sembunyikan dariku, kepalaku begitu pening memikirkan hal yang tak aku ingat. Tapi, bayangan anak kecil itu selalu hadir dan setiap aku melihatnya merasa ada sesuatu yang sangat menakutkan.

Jalanku gontai, perasaanku tak menentu. Matahari pun bersembunyi pada awan yang gelap, seakan dia pun merasa takut sebagaimana aku rasakan. Kudengar langkah kaki mengikutiku, aku pun menghentikan langkahku.

"Pada akhirnya engkau pun harus tahu, bahwa sesuatu yang membuatmu begitu bimbang dengan tingkahmu sendiri ...."

Aku tak begitu paham apa yang tengah dia katakan, Nayla tersenyum dan menyentuh bahuku. Pancaran mata seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi aku tak ingin bertanya padanya. Aku takut membuatnya kesal lagi, tangannya menggandengku.

Dia membingbingku menelusuri jalan setapak, entah bagaimana aku melihat anak perempuan itu ada di depanku bersama temannya. Mereka seperti tengah bertukar mainan, sayang seorang wanita menarik dan menyeret anak kecil itu dan sahabatnya itu berteriak. Aku pun melepaskan tanganku dari genggaman Nayla, ketika aku ingin mengejar anak itu Randy menarik tanganku.

Aku terdiam menatapnya, begitupun dengannya hanya menatapku tak begeming. "Apakah kau yang memberiku boneka beruang itu?" aku bertanya padanya, namun dia tak menjawab. Dengan cepat ia menarikku dalam pelukannya, aku tidak mengerti sebenarnya ada apa. Tapi aku merasa tenang ketika ada dipelukannya.

"Maafkan aku ...."

Mataku menatap Nayla yang berdiri menyaksikan adegan berpelukan, Randy pun melepaskan pelukannya. Dia memegang bahuku dan menggandengku menulusuri kembali jalan setapak ini. Kulihat Nayla tersenyum simpul dan berjalan di belakangku.

Sesuatu perasaan yang tak mampu kungkapkan, airmataku berlinang begitu saja. Randy menunjukkan sebuah tangga usang di ujung gudang yang tak terpakai lagi. Aku melihat gadis kecil itu memeluk boneka beruang, dia terisak menangis. Aku menatap Randy dan Nayla, "Apakah aku pernah duduk dibawah tangga itu?"

"Apakah kau ingat?" Nayla menggenggap tanganku, "dan lelaki di sampingmu ini adalah dia yang bermain denganmu, boneka yang beruang itu dari dia ...."

Kulihat buliran bening membasahi pipinya, dia menggelengkan kepalanya seakan ia tak sanggup lagi untuk melihat diriku. "Maafkan aku tak membetitahu kalian terlebih dulu, karena aku takut membuat Dinda gelisa. Namun, ternyata dia lebih tersiksa dan dihantui masalalunya ...."

Sekarang aku tahu, anak kecil yang selalu hadir dalam mimpiku adalah diriku sendiri. Bagaimana bisa, ibu menyimpan rahasia ini. Ternyata aku adalah seorang anak yang ditemukan dalam gudang, ibu dan ayahku membuang begitu saja.

Aku ingat Randy berlari untuk menangkapku, namun dia tak bisa menyul karena orangtuanya pun menarik tangannya.

Ternyata selama ini pun, dia mencari keberadaanku dan Randy mempunyai trauma yang sama seperti diriku yang takut dalam kegelapan dan gudang. Aku telah menoreh sebuah kesakitan selama ini padanya, dan diri sadar bahwa akhir-akhir ini dia tak pernah menampakkan dirinya karena dia tengah tertekan disebabkan diriku.

"Jangan pernah menjauh lagi, sedikit pun jangan pernah meninggalkan diri. Kau tahu, betapa diriku sangat tersiksa ketika kehilangan dirimu, dan orangtuaku pindah ke Jepang pada akhirnya aku kembali ketempat ini kembali untuk mencarimu ...."

"Dan, gadis kecil dalam mimpimu yang kau ceritakan adalah kamu, Dinda ...."

Kakiku lemas dan terduduk terisak menangis, Nayla menyodorkan sebuah boneka beruang putih itu padaku. Tanganku perlahan mengambilnya, Randy pun mengangkat lenganku untuk bangun.

"Hiduplah dengan bahagia ...."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun