Begitu banyak impian yang ingin aku capai, bahkan bukan saja membahagiakan keluargaku saja. Tapi, aku pun ingin membangun sebuah pendidikkan di kampung halamku. Meskipun aku tahu, itu semua tak akan mungkin terjadi.
Keluargaku sendiri memang sangat membutuhkanku, begitu pula anakku yang berbeda dengan anak-anak sebayanya. Keinginan hanyalah sebuah hayalan, namun aku mempunyai niat. Setidaknya aku harus bisa meneruskan kuliahku, dengan begitu ilmu yang aku dapat bisa dibagikan.
"Jangan memaksakan diri, Ratih. Jika memang tidak bisa, anak dan keluargamu membutuhkan biaya," saran Sri teman seperjuanganku."Mending, kau kirim saja uang itu untuk perobatan anakmu. Dari pada uangmu, dihambur-hambur buat sekolah lagi. Toh, umurmu sudah tidak muda lagi."
Aku tidak bisa melawan kata-katanya, walaupun dia tak memberi semangat untukku. Tapi dia teman baikku, meskipun pada akhirnya aku lebih memilih jalanku sendiri. Ia pasti memberi dukungan.
"Tak pikir-pikir dululah."
Benar memang katanya, umurku sudah tak lagi muda. Bahkan mungkin semangatku kurang bergairah seperti anak-anak muda yang berada di sampingku, cekikikan sambil menikmati semangkuk bakso. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin. Jika aku benar-benar dalam menjalaninya, pasti anak muda pun kalah dengan semangatku. Aku tersenyum melirik anak-anak itu.
"Dirimu ini sudah cape kerja, masa mau ditambah beban untuk memikirkan pelajaran. Apa yo ndak mumet, Rat?"
"Yo mbuh, tapi yo nek kita niat pasti iso toh Sri?"
Sri menatapku lekat cukup lama, lalu perlahan ia menghembuskan napas yang sedikit kesal. Namun aku tahu, kekesalannya tak akan lama. Mungkin ia sedikit syok dengan pertanyaanku tadi.
"Bagaimana dengan suamimu?"
"Entah. Semoga saja dia mendukungku."
"Semoga."
*****
Aku tak mengikuti saran yang diberikan oleh Sri, dan diam-diam mendaftarkan diri di Universitas Terbuka atau biasa disebut UT. Ya, aku paham, mungkin jika dia tahu aku mendaftarkan diam-diam akan memarahiku atau entahlah. Kuharap dia memahami apa yang menjadi cita-citaku, dan suamiku kemungkinan akan sedikit rumit atau bahkan susah untuk mendapatkan restu darinya. Namun aku tahu dalam segala hal kebaikkan pasti akan ada jalan keluarnya dan Allah tidak akan menyusahkan hamba-Nya yang ingin menuntut ilmu.
Panas terik mata hari begitu sangat merongrong di atas kepala, dengan lihainya tanganku menekan nama dalam urutan kontak ponselku. Dengan hati yang bergetar, sungguh sebenarnya aku takut jika diharuskan jujur padanya. Namun aku butuh doa restu darinya, suamiku Slamet. Sebenarnya dia adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab, bahkan dia sangat perhatian padaku dan putraku Bilal.
"Assalamualaikum, Mas?"
"Waalaikumsalam."
Suaranya terdengar keheranan, mungkin ia bertanya-tanya mengapa aku menghubunginya. Karena biasanya aku sangat sibuk, bahkan tak ada waktu untuk sekedar bermanja padanya. Entahlah, apakah aku istri yang baik baginya atau, aku tidak tahu isi hatinya.
"Ada apa, Dik? Tumben telepon, mas?"
"Begini, Mas ...."
 Suaraku sedikit bergetar, menahan rasa takut yang tak mampu disembunyikan lagi. Kubuang napasku dengan rasa kesal dan sedikil pasrah apa yang akan di dengar nanti.
"Kenapa toh, Dik? Kok malah diam begitu, sayang pulsane."
"Aku daftar kuliah, Mas."
Seketika senyap tak ada suara atau jawaban Mas Slamet, ingin rasanya bertanya bagaimana? Tapi aku tak berani untuk mengutarakan, dan hanya kebisuan yang ada di antara aku dan suamiku.
"Apakah tak kau pikirkan dulu, Dik? Bahwa Bilal pun butuh banyak biaya? Mas tahu ini tanggungan mas seorang suami dan mas sangat malu jika mas melarangmu untuk melanjutkan kuliahmu. Tapi mas minta pengertianmu, Dik. Cuma itu." Aku tak mampu berbicara, bahkan bibir terasa tertahan oleh gigiku.
"Dik? Kalau kau sibuk, lanjutkanlah kerjamu dulu. Gampang nanti telepon mas lagi. Waalaikumsalam."
Entah apa yang ada dibenakku, terasa goyah pertahanan diri untuk kukuh melanjutkan kuliah. Sedangkan anakku membutuhkan, dan aku egois ingin melanjutkan apa yang telah tertanam dalam hati. Lirih suaraku membalas salamnya, ponsel diseberang sudah mati. Namu aku masih menempelkan ponselku di telinga dan beraharap mendapat restunya dengan tiba-tiba. Bayangan mataku sedikit buyar, tak mampu melihat dengan jelasnya dunia. Kutatap wajahku, ternyata orang yang di dalam cermin itu menangis. Iya, dia adalah aku yang sedang menangisi sebuah kebingungan.
"Sepurane Mas, kalau aku tidak mendengarkan nasihatmu. Izinkanlah aku untuk menimbah ilmu, aku berjanji tak akan lupa apa yang sudah menjadi kewajibanku. Sepurane Mas."
Kata-kata itu terkirim dalam pesen singkat yang kutulis dengan air mata berderai, sungguh tak kuasa menahan apa yang menjadi sebuah tanggung jawab. Namun, Allah tak akan membiarkan menghalangi sebuah niat yang tulus ikhlas pada semua hamba-Nya.
"Doa restuku bersamamu, Dik. Semoga kau sehat selalu."
Terkejut rasanya melihat pesan singkat yang dikirimkan oleh Mas Slamet, aku tahu dia adalah suami yang sangat baik dan ia sangat menyayangiku. Aku sangat terharu oleh ucapannya, dan tak ada keraguan lagi dalam hatiku untuk terus menimbah ilmu. Meskipun umurku tak lagi muda, tidak menjadi halangan untukku terus berjuang demi keluarga dan kampung halamnku. Ilmuku untuk kampung halamanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H