Oleh: Rosidah binti Musa
"Aku ada diseberang jalan, ini sangat menyakitkan dan aku tahu dia telah menyakitiku. Tapi aku percaya pada diriku sendiri, untuk menampikkan perasaan buruk ini. Tapi ini terlalu bodoh, dia telah membuatku gila seperti semuanya itu adalah kesalahanku dan sekarang aku menanggung rasa sakit darimu ...."
****
Too hurt, tak pernah terbayangkan sebelumnya yang dia tahu adalah, ia lelaki penyayang dan lelaki sejati menemani hidupnya. Tapi itu semua terlalu manis seperti cerita di negeri dongeng yang selalu berakhir dengan happy ending, ini adalah dunia nyata dan tak akan pernah sama dengan negeri hayalan. Dipikiran hanya satu, setia dan terus mencoba setia sampai ia akan merasa lelah atau tak ada rasa lelah pun. Hatinya penuh luka tapi ia mencoba menambal lukanya dengan senyuman ikhlas, meskipun dia terkadang tidak kuat menanggung semuanya.
"Jangan lupa pulang untuk makan malam, Mas," lirih Nissa membantu memasangkan dasi pada suaminya.
"Sepertinya aku tidak bisa sayang, ada rapat di kantor. Kau makan saja, tak perlu menungguku. Ok?"
Nissa hanya tersenyum tipis menunduk, agar Reza tak melihat mendung diwajahnya. Dia terdiam setelah mengantar suaminya diujung gerbang istana kecil yang dibangun dengan jeri payah mereka berdua, Tuhan belum menganugrahkan malaikat kecil di tengah-tengah mereka. Bukan karena mereka ada masalah yang membuat tak bisa mempunyai keturunan, tapi mungkin jarangnya mereka bersama-sama. Melihat Reza yang selalu sibuk di kantor dan teman bisnisnya sedangkan Nissa hanya seorang wanita yang biasa saja, ia hanyalah penulis blog dan disgner gamis muslimah.
Dia mencoba menyibukkan dengan segala pekerjaan yang membuatnya lupa akan kejadian minggu lalu, Nissa tak ingin terpancing pikiran yang negatif terhadap suaminya, mencoba menjadi pribada yang tidak tahu apa-apa dan menyimpan semuanya sendiri.
Lamunannya tembus menerawang setiap kenangan ketika ia berjumpa dengan lelaki itu, kadang tersenyum dan kadang ia hanya terdiam membisu. Tak terasa buliran air jernih berjatu perlahan membasahi setiap sudut diwajahnya, Nissa baru paham ternyata dia tidak bisa melupakan apa yang sudah dia lihat kemarin.
"Aku tahu ini terlalu menyakitkan, tapi aku harus bisa menahan ini semua," lirihnya menutup pintu gerbang.
Andai saja Nissa wanita yang egois, mungkin ia sudah meminta suaminya untuk menceraikan dirinya. Namun dia tidak mau melakukan hal seperti itu, karena yang ada akan membuat sebelah pihak tersakiti termasuk ibunya jika ia mengetahui apa yang terjadi pada anaknya. Maka dari itu Nissa membungkam dirinya sendiri dan membiarkan belati tajam mencabik-cabik perasaan dan hatinya, entah berapa banyak stok kesabaran yang dia simpan dalam jati dirinya.
Di wajahnya tak nampak ada kesedihan ketika ia bersama orang-orang yang dia cintai, Nissa tahu bahwa mereka tak perlu mengerti apa yang dirasakannya sekarang atau nanti cukup hanya Allah saja yang tahu apa yang terjadi ketika ia terpuruk menangis di tengah heningnya malam, beralas sajadah ia tumpahkan semua rasa beban yang menindih hatinya. Dia hanya mampu memohon pada-Nya agar suaminya diberi kesadaran dan dirinya diberkan kesabaran, hampir setiap hari menangis di atas sajadah hingga tertidur bersama doa dan dzikir yang dilantunkan dari lisannya.
"Mas kau selalu sibuk, apakah tidak bisa makan di rumah barang sehari? Atau aku membawa makanan untukmu?" tanya Nissa memegang lembut tangan suaminya. Namun seperti biasanya, Reza menolak permintaan istrinya dengan berbagai alasan yang terkadang membuat Nissa sendiri bosan untuk mendengar bahwa ia sibuk dan tak sempat untuk makan. Perasaan seorang istri begitu dalam ketika ia merasa mulai ada sesuatu keganjian pada sang suami, tapi dia selalu menepis perasangka seperti itu karena Nissa tak mau berpikir yang tidak-tidak pada suaminya.
Bagaimana bisa, seorang wanita diharuskan untuk terus menahan apa yang telah dia lihat mata kepalanya sendiri. Sekuat apa pun untuk menghilangkan bayangan di matanya, ia tak akan mampu untuk menepis pedihnya kenyataan yang telah dia lihat. Nissa terlalu lembut dan dia selalu untuk mengambil diam atas perasaannya padahal ia boleh saja berontak bahkan protes karena itu sewajarnya dan dia pun menyaksikannya sendiri.
*****
Entah apa yang membuatnya tetap kuat dan tegar, senyum dibibirnya tersenyum ikhlas ketika menyambut sang suami yang kini sudah rapi untuk berangkat kerja. Meskipun perangi sang suami sedikit dingin terhadapnya, tapi ia mencoba untuk terus tersenyum walaupun adakalahnya dia harus menangis diam-diam disetiap malam.
"Aku berangkat."
"Biarku bantu membawa tasmu, Mas."
"Tidak peralu."
Langkah Nissa terhenti dan melihat sang suami bringsut dari meja makan, ia pun melihat Reza yang tengah menelepon seseorang. Namun entah siap yang tengah dia telepon, dari mimik wajah Reza ia sangat bahagia bahkan tersenyum girang seakan-akan mendapat sesuatu yang spesial. Wajah Reza sesekali melirik Nissa yang terdiam membisu merapikan meja makan, lelaki itu langsung beranjat tanpa memberi salam pada istrinya yang tengah berharap dia memanggil untuk berpamitan.
Air mata itu tak sengaja menitik di atas meja makan, dan ia pun tersadar bahwa dirinya menangis. Nissa menatap wajahnya dalam kaca meja, ia melihat matanya yang memerah merona menahan segala sebak di dada.
"Kau tidak apa-apa, kau tak boleh menangis," Dia mencoba menghibur dirinya sendiri namun rasa sebak semakin menjadi-jadi, Allah dia hanyalah wanita biasa yang mencoba menguatkan batinya dari segalah cabaran. Jatuh bangunnya rasa yang ia pikul, semakin berat untuknya adakalah rasa tak sanggup untuk memjalani semuanya.
Dia lelah akan semua yang disembunyikan oleh suaminya, mengapa ia tak jujur saja bila dia sudah bosan dengan Nissa. Ia pun akan sanggup menanggung jika memang harus dimadu oleh sang suami, bahkan ia rela berbagi apa pun jika memang itu yang diinginkannya. Bukan seperti ini menyembunyikannya bahkan ia menutupi apa yang dilakukan dibelakang Nissa itu sangat menyakitkan, wanita mana yang sanggup bersikap seperti dia. Di dunia ini mungkim bisa terhitung seribu satu mencari wanita yang sabarnya seperti Nissa, disakiti dari belakang tak pernah membalas namun ia mendoakan suaminya agar selalu berjaya di pekerjaannya.
Sungguh lelaki yang tak pernah mengenal pengorbanan sang istri, entah sudah berapa air mata membasahi wajah wanita berhijab itu menahan segala cabikan belati yang ditorehkan oleh Reza. Ia tahu tak berdarah, namun rasa sakitnya melebihi luka yang berdarah dan seperti awet di dalamnya.
*****
"Bisa bertemu dengan Pak Reza?"
"Maaf Bu, Pak Reza tengah ada meeting dengan Bu Liza."
"Saya istrinya, apakah harus menunggu?" tanya Nissa sedikit penasaran."Bukankah ini jam makan siang?"
Nissa tetap memaksa masuk dan tak memperdulikan sang pegawai yang ingin menghentilan langkahnya. Tangan Nissa menampik tangan pegaiwai itu lalu membuka pintu kantor suaminya, dan yang dilihat adalah pemandangan sangat menyayat hatinya. Bekal yang ada di tangannya terjatuh seketika bersamaan dengan buliran bening yang tak mampu ia bendung lagi. Apakah itu balasan kesetiaan seorang istri oleh suaminya, sungguh tak adil rasanya jika sang suami ternyata benar-benar mempunyai wanita lain selain dirinya. Tapi mengapa dia harus menyembunyikannya dari Nissa, jika ia ingin mempunyai istri lagi dia rela dimadu meskipun ia tak menginginkan. Tapi jika Reza menginginkannya, Nissa ikhlas pada segala ketentuannya.
Langkah Nissa tertati seperti tak ada tenaga lagi untuk berlari, ia melihat kebelakang tak nampak sang suami mengejarnya meski tadi terdengar dia memanggil nama Nissa. Lagi-lagi Nissa mencoba menguatkan hatinya, dan tak ingin membenci suaminya.
"Maafkan aku atas kelancangan tadi siang, Mas."
"Niss ...." Reza mencoba mengatakan sesuatu, namun sepertinya tertahan dan hanya terlihat wajah yang kebingungan untuk menjelaskannya."Maafkan aku, kau adalah wanita istimewah untukku. Namun ...."
"Katakan saja, Mas. Aku siapa apa pun yang akan kau ucapkan Mas."
"Kita cerai."
"Apa? Kenapa Mas? Salahku apa, dan mengapa kau menceraikanku?"
Reza mencoba menjelaskan namun dia merasa gugup,"Ambilah ini, Niss. Ini adalah kunci rumah dan kunci mobil untukmu. Aku tak bisa mengatakan kenapa harus menceraikanmu."
Rasanya tak habis pikir, Nissa menatap lekat suaminya ia mencari apa yang salah pada dirinya hingga sampai hati ingin menceraikannya. Tapi dia tak menemukan apa pun di mata Reza, dengan lembut Nissa mengambil kunci rumah dan mobil yang diletakan oleh suaminya di atas meja.
"Ambillah, Mas. Ini adalah uang hasilmu, hasil keringatmu. Saya tidak ada hak mengambilnya darimu, Mas. Jika itu yang Mas minta, Insya Allah aku mampu melalui Mas. Terima kasih." Wanita muda itu angkat kaki tampa membawa satu barang dari rumah itu, karena ia tahu semua barang yang ada di dalam adalah hasil keringat suaminya. Meskipun ada barang Nissa, tapi ia tak mengambilnya.
*****
Luka tinggallah luka, dan itu sudah seperti mimpi buruk yang tak diinginkan. Namun sesakit apa pun luka itu kini telah menjadi kenangan bahkan tak patut dirutuki dimasa depan, kenangan itu sudah terkubur bersama kepedihan dan tinggallah kebahagiaan yang tak terduga. Janji Allah itu selalu tepat, setelah kepedihan pasti datanglah kebahagiaan dan Nissa sangat beruntung mendapatkan seorang yang mampu menuntunnya untuk bangkit dalam keterpurukan.
"Salamat ya Nissa atas peluncuran Butik Manisku." Ucapan selamat dari tamu undangan hingga teman, kerabat, saudara dan keluarga termasuk suami tercinta yang telah membawa Nissa melewati segala keterpurukkan.
"Terima kasih, ini pun berkat dukungan kalian dan Mas Azam terima kasih atas segala yang diberikan untukku." Nissa memeluk erat suaminya yang memberi bunga diatas stage, mata Nissa menyapu disegala ruangan itu dan terhenti pada lelaki yang berdiri diujung pintu masuk matanya menatap lurus kearah lelaki yang tengah mengangkut barang-barang berisi busana manisku.
Kaki Nissa yang tiba-tiba melangkah menuju lelaki itu, sepontan membuat semua orang terheran dan memanggil namanya. Namun Nissa terus berjalan tanpa memperdulikan panggilan orang, Azam hanya terdiam dan membiarkan Nissa berjalan dia hanya mengikutinya dari belakang. Namun lelaki yang diujung pintu masuk itu bergegas masuk dalam mobil Van dan perlaham mobil itu bringsut meninggalkan gedung mewah itu. Nissa terdiam dan terduduk lemas air matanya membasahi pipinya, mengapa kenangan yang terkubur terbuyar lagi dan mengapa harus dipertemukan dengannya dalam keadaan dia begitu. Apa yang terjadi pada Reza, dia adalah suaminya tapi itu dulu.
"Mas Reza," lirih Nissa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H